Berjualan sayur dan lauk pauk di lapak yang permanen itu ternyata seru dinamika nya. Bukan hanya tentang bagaimana mengemas lapak dan menata barang dagangannya. Bukan hanya tentang cara menarik pembeli di tengah persaingan usaha sesama penjual sayur.
Tetapi juga tentang tingkah polah pembeli. Sebab, pembeli yang belanja sayur itu ternyata banyak jenisnya. Ada yang senang belanja dalam jumlah besar. Ada yang belanja "receh".
Malah ada yang senang datang ke tukang sayur bukan untuk belanja, tapi untuk mengambil barang belanjaan orang lain. Termasuk datang untuk mengambil barang dagangan tanpa perlu membayar alias mencuri. Ada yang seperti itu?
Rutin mengantar istri belanja untuk "kebutuhan meja makan" di penjual sayur setiap pagi, membuat saya bisa melihat langsung beragam karakter pembeli. Ada pembeli yang royal. Sampai pembeli yang oportunis.
Lantas, saya sampai pada kesimpulan. Bahwa, lapak tukang sayur itu bukan hanya tentang transaksi perputaran uang. Tapi juga tempat untuk menguji kejujuran sebagai pembeli. Â Kok begitu?
Bayangkan, seandainya sampean (Anda) berbelanja ke minimarket yang berbeda dari tampilan minimarket selama ini. Dengan banyak jenis barang yang ditata sedemikian rupa. Sementara di sebelah pintu keluarnya, tidak ada tempat kasir untuk membayar seperti yang terlihat di minimarket kebanyakan.
Artinya, pembeli yang membeli kebutuhannya, transaksinya dilayani secara manual. Dihitung manual dengan kalkulator oleh pemilik tokonya yang merupakan pasangans uami istri,
Bayangkan bila pembelinya puluhan orang. Dan mereka berbarengan ingin segera dilayani untuk membayar. Tentunya, fokus si pemilik toko hanya melayani pembeli yang akan membayar. Selebihnya, untuk barang dagangan lainnya, dia percaya pada pembelinya.
Sementara untuk pembeli lainnya yang masih berada di tokonya dan membeli barang, tidak terpantau. Sehingga, sangat mungkin terjadi praktek nyolong alias mencuri dengan membawa pulang barang yang dicari tanpa harus membeli.
Gambaran seperti itu pula yang terjadi di tukang sayur langganan istri. Setiap pagi, toko/bangunan yang ditempati untuk berdagang sayur mayur yang berada di seberang jalan itu, diserbu pembeli.
Meski tidak sampai berdesak-desakan. Pembelinya pun memakai masker. Penjual sayur juga menyediakan air dan sabun untuk cuci tangan.
Bagi yang belum pernah berbelanja di sana, cara menata barang dagangannya yang rapi, memang menarik orang untuk belanja. Semisal penempatan sayur-sayuran, ikan, tempe tahu, jamur, bumbu, ditata rapi dan enak dilihat.
Sayuran yang dijual pun masih terlihat segar. Tidak layu. Apalagi, harganya juga standar. Bahkan ada yang bilang lebih murah. Penjualnya dalam melayani pembeli juga ramah.
Karenanya, tidak mengherankan, meski di sebelah-sebelahnya juga ada pesaing yang berjualan dagangan serupa, toko sayur mereka lebih diminati orang. Pembelinya pun bukan hanya mereka yang tinggal di dekat situ. Dari seberang desa pun ada.
Mari belajar jujur di lapak tukang sayur
Namun, terlepas dari keramahan suami istri penjual sayur itu dan juga segala usahanya mengatur lapak sayurnya dikunjungi banyak orang, ada saja orang yang 'hatinya busuk'. Busuk karena tega memanfaatkan keriuhan aktivitas di lapak sayur itu demi keuntungan sendiri.
Entah bagaimana ceritanya, sebelum dagingnya diambil, dia malah menaruhnya di lapak. Tidak menaruh di mesin pendingin sembari menunggu orangnya datang. Mungkin karena orangnya yang mengambil segera datang. Mungkin juga tidak menyangka bila ada kejadian seperti itu.
Lain waktu, dulu pernah ada orang yang membayar dengan menggunakan uang kertas palsu. Karena memang melayani banyak pembeli di waktu bersamaan, dia jadi abai memeriksa uang yang didapatnya.
Tetapi memang, dengan kondisi lapaknya yang ramai dan berada di seberang jalan, itu menjadi kesempatan bagi mereka yang punya niat buruk untuk melancarkan aksinya.
Semisal mengambil barang yang diinginkan lantas mendadak kabur tanpa membayar, mungkin tidak ketahuan. Karena penjualnya memang tidak bisa mengamati satu demi satu pembelinya.
Tapi ya, kok tega, tidak jujur di tempat jualan sayur. Kok tega mencuri barang yang akan dikonsumsi untuk makan sehari-hari.
Maksud saya, barang-barang yang dijual di tukang sayur itu kan untuk dimakan dan masuk ke perut. Apa iya 'berani' makan dari makanan hasil curian. Kalau memang berani berarti level kebusukan hatinya memang sudah akut.
Padahal, bila belanja secukupnya, itu palingan setara dengan harga bensin pertalite dua liter. Semisal belanja untuk membuat sayur bayam, atau sayur sop, atau tumis kangkung. Lalu jagung dan sayuran untuk dadar jagung plus tempe, itu palingan tidak sampai Rp 20 ribu.
Sementara orang yang membawa lari daging 2 kilo dan membayar dengan uang palsu tersebut, kok rasanya tidak mungkin tidak memiliki uang 20 ribu. Pencuri 'barang besar' biasanya karena seleranya memang itu. Artinya, dia terbiasa mampu membeli barang itu.
Pada akhirnya, dengan berbelanja di tukang sayur, itu tidak hanya membuat kita bisa lebih berhemat daripada makan di warung yang untuk seporsinya saja bisa setara berbagai macam sayuran. Pun, makanan sayur-sayuran ala rumahan, pastinya lebih sehat.
Dengan berbelanja di tukang sayur, kita juga belajar untuk jujur. Mau beli sayur-sayuran berapapun, ya harus dilaporkan ke penjualnya. Tidak ada yang disembunyikan. Termasuk bila menambah cabai dan tomat 3 ribu.
Apa iya, kita mau, bila makanan yang kita makan ternyata diolah dari bahan-bahan hasil mencuri. Hayuuk berlatih bersikap jujur dari hal paling sederhana. Salam.