Mohon tunggu...
Hadi Santoso
Hadi Santoso Mohon Tunggu... Penulis - Penulis. Jurnalis.

Pernah sewindu bekerja di 'pabrik koran'. The Headliners Kompasiana 2019, 2020, dan 2021. Nominee 'Best in Specific Interest' Kompasianival 2018. Saya bisa dihubungi di email : omahdarjo@gmail.com.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Para Orangtua, Setop Menganggap Anak Sendiri Selalu Benar dan Anak Orang Lain Selalu Salah

11 Februari 2020   09:57 Diperbarui: 15 Februari 2020   19:34 4073
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi anak berantem (thinkstock/vesmil)

Terkadang itu tidak mudah. Sebab, namanya orangtua pasti ingin bersikap tegas membela anaknya. Ingin anaknya sayang sama orangtuanya karena merasa telah dibela.

Namun, orangtua juga harus berpikir bahwa mereka perlu mendidik anaknya untuk melakukan evaluasi diri. Bahkan mau meminta maaf bila memang salah. Sehingga, mereka akan terbiasa untuk kalem menghadapi masalah maupun mengatasi masalah tersebut.

Pengalaman pribadi sebagai orangtua
Sebagai orangtua, saya pun pernah mengalami kejadian seperti itu. Kejadian yang mengharuskan saya bersikap tegas melindungi anak.

Pernah ketika usai bermain bola di kompleks perumahan, anak saya yang usianya kala itu baru 7 tahun, disikut temannya yang usianya lebih tua. Dia menceritakan kronologis kejadiannya. Dan memang, pelipisnya menghitam. Tanda dia memang kena sikut.

Saya lantas meminta keterangan dari teman lainnya yang juga ikut bermain bola. Dan ia mengiyakan memang ada kejadian itu. Barulah, anak yang memang terkenal nakal tersebut saya datangi.

Awalnya sekadar menanyakan kebenaran ulahnya. Karena dia berdalih dan berbohong, saya baru tegaskan ada saksinya. Dia lalu mengakui meski masih membela diri bila dirinya emosi karena dihalangi pergerakannya. Saya katakan "main bola ya main bola saja, nggak usah pakai menyikut wajah. Bagaimana bila kamu yang kena sikut. Mau?"

Kejadiannya lainnya, pernah, ketika menuju rumah sepulang dari sholat maghrib di masjid, anak saya cerita bila dirinya dipukul temannya. Dia lalu menjelaskan kejadiannya yang sebenarnya salah paham.

Agar masalahnya tidak awet, saya lantas menghampiri anak yang katanya memukul tadi. Saya tanya bagaimana kejadian sebenarnya. Dia lantas bercerita. Setelah itu, anak saya dan dia saya suruh bersalaman. Bermaafan. Urusan selesai.

Andai ketika itu saya hanya bisa memarahi anak itu karena geram dengan laporan anak saya bahwa dirinya dipukul, tentu masalahnya tidak akan pernah selesai. Malah bisa menyimpan dendam yang tentunya merugikan buat anak saya juga. Lha wong mereka hampir tiap hari ketemu karena memang tetangga di satu kompleks perumahan.

Pendek kata, sebagai orangtua, membela anak dalam rangka melindungi mereka, itu sudah seharusnya. Itu memang salah satu kewajiban orangtua. Yang keliru adalah ketika menganggap anak selalu benar sementara orang lain salah tanpa pernah mendalami masalah yang sebenarnya terjadi. Padahal, bila seperti itu, anak tidak akan pernah belajar menjadi lebih baik.

Ada baiknya orangtua membuka ruang diskusi dua arah dengan anak tentang apa yang dialaminya. Bahkan mendalami masalah dengan mencari tahu informasi dari anak/orang lainnya. Bila dia memang dalam posisi benar, sebagai orangtua kita harus mendukung dan menguatkan mentalnya. Jangan malah memunculkan kesan bahwa dia selalu disalahkan. Itu juga tidak bagus. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun