Mohon tunggu...
Hadi Santoso
Hadi Santoso Mohon Tunggu... Penulis - Penulis. Jurnalis.

Pernah sewindu bekerja di 'pabrik koran'. The Headliners Kompasiana 2019, 2020, dan 2021. Nominee 'Best in Specific Interest' Kompasianival 2018. Saya bisa dihubungi di email : omahdarjo@gmail.com.

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

"Bumil", Waspada Dampak Mengerikan Gangguan Kesehatan Mental!

10 Oktober 2019   13:05 Diperbarui: 10 Oktober 2019   13:11 322
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ibu hamil (Bumil) harus terbebas dari gangguan kesehatan mental. Sebab, gangguankesehatan mental bisa berdampak parah bagi ibu hamil/Fptp: Kabar Tangsel

Entah sudah berapa kali, saya ditanya---lebih tepatnya 'ditantang'-- banyak orang dengan pertanyaan dan tantangan yang sama. Bunyinya begini: "kapan program anak ketiga mas?". Atau juga begini: "anak pertama dan kedua laki-laki, kurang anak ketiga perempuan, mas". 

Pertanyaan dan tantangan yang menurut saya cukup dibalas dengan senyuman. Ataupun guyonan. Tak perlu ditanggapi terlalu serius. Apalagi sampai sebal. Anggap saja itu bentuk perhatian orang lain pada kita.

Tetapi memang, urusan hamil itu tidak bisa dadakan. Perlu rencana matang. Sebab, hamil itu urusannya bukan sekadar punya anak ataupun tambah anak. Lebih dari itu, hamil itu merupakan proses bahwa kita sedang menyiapkan generasi masa depan.

Karenanya, persiapan untuk hamil tidak bisa sembarangan. Istri harus siap mental dan sehat. Sementara suami harus siap meluangkan lebih punya waktu untuk mendampingi istri. Minimal mengantar periksa ke dokter kandungan.

Terpenting, harus menyiapkan dana cukup. Sebab, sekalipun berencana melahirkan dengan program BPJS, toh juga masih butuh dana untuk kebutuhan bayi. 

Perihal persiapan kehamilan ini, kebetulan beberapa hari lalu saya mewawancara seorang dokter spesialis kedokteran jiwa. Mewawancara untuk keperluan tulisan di majalah sebuah rumah sakit.

Lho, tulisan terkait kehamilan tapi kok wawancara dokter jiwa, bukan dokter kandungan? 

Sebab, tema yang diangkat memang berkorelasi antara kesehatan mental ibu hamil (bumil) dengan janin yang dikandung. Jadi bukan hanya tentang kehamilan. 

Dari wawancara kurang lebih 30 menit tersebut, saya diceritani banyak hal perihal korelasi kesehatan mental ibu dan kehamilan. Bahwa, bagi ibu hamil, bukan hanya menjaga kesehatan fisik selama masa kehamilan yang harus diperhatikan. Di antaranya memenuhi kebutuhan nutrisi yang diperlukan untuk perkembangan janin. Atau berolahraga demi menjaga kebugaran agar fisik siap untuk mempersiapkan kehamilan.

Namun, selain menjaga kondisi fisik, menjaga kesehatan mental (psikis), juga menjadi kebutuhan yang tidak kalah penting. Sebab, seperti kondisi fisik, kondisi mental ibu hamil (bumil) juga akan memberikan pengaruh terhadap janin dalam kandungan.

Dampak gangguan kesehatan mental bagi Bumil
Menurut dokter Spesialis Kedokteran Jiwa tersebut, kehamilan yang dialami wanita, menimbulkan berbagai perubahan. Baik perubahan fisik karena adanya perubahan hormon yang menyebabkan ketidaknyamanan pada tubuh seperti mual dan lemas. Hingga perubahan psikologis dan psikososial.

Nah, pada pribadi yang matang, perubahan ini dapat disikapi dengan baik. Ibu hamil dengan pribadi matang, bisa menyesuaikan diri. Mereka bisa mengelola stressor (segala sesuatu yang membuat munculnya kondisi stress). Mereka juga akan tetap produktif dan dapat mulai mendidik anak dalam kandungannya.

Sebaliknya, bila perubahan fisik, perubahan emosional itu tidak dapat dikelola dengan baik, maka akan berpotensi muncul gangguan psikis pada ibu hamil. Semisal depresi, rentan cemas, dan mudah panik.

Ternyata, gangguan emosional pada ibu hamil ini sebenarnya bisa dilihat dari gejala yang tampak. Seperti mood yang mudah berubah dan mudah tersinggung. Adanya perasaan sedih yang persistent. Hingga perasaan tidak berharga dan merasa tidak punya harapan. 

Lalu, mengalami gangguan tidur. Bisa sulit tidur atau banyak tidur. Termasuk perubahan nafsu makan. Sulit konsentrasi. Mudah lelah, dan munculnya kegelisahan. Hingga, gangguan emosional berupa adanya ide untuk mengakhiri hidup atau obsesi berlebih mengenai keadaan bayinya.

Dan yang mengerikan, depresi pada bumil ini dampaknya luar biasa. Mulai penambahan berat badan kurang dan asupan bayi kurang, perawatan diri kurang sehingga risiko infeksi meningkat, dan kemungkinan bayi lahir prematur meningkat. Hingga, bisa meningkatkan terjadinya preeklampsia (hipertensi pada kehamilan) yang acapkali berujung kematian,

Bahkan, tidak hanya saat hamil, dampak depresi yang dialami ibu hamil, juga akan sangat berpengaruh terhadap perkembangan anak. Pasalnya, ikatan antara ibu dan bayi kurang sehingga bisa menyebabkan gangguan tumbuh kembang anak.

Perhatian dan motivasi ibu untuk mengasuh dan mendidik anak juga kurang. Sehingga, anak tidak mendapatkan role model yang baik untuk tumbuh kembang dan kurang mendapatkan stimulasi yang optimal. Ibu juga tidak dapat menerapkan pola asuh yang sehat karena perasaan bersalah, tidak berharga, dan kelelahan mentalnya.

Nah, merujuk pada dampak buruk depresi baik ketika hamil maupun setelah melahirkan, kehamilan harus disiapkan. Seperti merencanakan kehamilan pada umur yang matang, memiliki pengetahuan yang cukup mengenai kehamilan, paham perubahan fisik dan konsekuensinya. Serta, sadar perlunya menjaga kesehatan fisik dan menjaga asupan makanan. Juga penting mendidik anak sejak dalam kandungan.

Agar Bumil terhindar dari gangguan kesehatan mental
Pendek kata, kehamilan yang diinginkan (wanted) dan tidak diinginkan (unwanted), itu sangat berpengaruh pada emosi wanita hamil. Bila emosinya positif, akan dapat membuat orang menjalankan kehamilan dengan baik.

Karenanya, ibu hamil perlu menjaga kestabilan emosi dan bebas stres. Serta, melakukan pemeriksaan berkala. Termasuk skrining rutin sehingga bila ada gejala depresi, dapat segera terdiagnosis dan ditangani sedini mungkin. Bila mengetahui hal-hal tersebut, maka ibu hamil akan mampu beradaptasi dengan kehamilan dan mempersiapkan kelahiran bayi dengan sehat fisik dan mental.

Nah, yang tidak kalah penting, selain dalam kondisi sehat fisik dan mental, ibu hamil juga memerlukan dukungan emosi yang positif dari suami dan keluarga.

Dulu, ketika rajin mengantar istri ke dokter untuk pemeriksaan rutin, saya acapkali heran dengan kelakuan beberapa suami. Bagaimana tidak mengherankan, mereka mengantar istrinya periksa kehamilan ke dokter, tapi malah tidak ikut masuk ke tempat pemeriksaan. Ada yang sekadar menunggu dengan duduk santai di atas motornya di tempat parkir, sembari melihat gawainya.

Lha, ini ketika 'bikin anaknya' bareng-bareng. Tapi giliran memeriksakan kehamilan ke dokter, malah istri dibiarkan sendirian. Seolah hanya istri yang bertanggung jawab pada kehamilan tersebut.

Padahal, tidak ada larangan bagi suami untuk masuk menemani istri ke ruangan dokter. Malah, itu menjadi kesempatan bagus untuk bertanya-tanya kepada dokter. Minimal, istri akan merasa lebih kuat mentalnya karena ada yang mendampingi.

Selain itu, peran pemerintah juga sangat diperlukan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat tentang kemungkinan adanya gangguan mental pada kehamilan. Termasuk kita yang setiap hari memproduksi tulisan di rumah ini (baca Kompasiana), juga bisa berperan untuk meningkatkan kesadaran perihal gangguan mental pada kehamilan ini.

Jadi, bila sampean (Anda) kini istrinya sedang hamil, atau ada saudara sedang hamil, penting untuk membuat mereka happy. Penting untuk menjauhkan mereka dari depresi, stress dan gangguan kesehatan mental. Sebab, dampaknya bisa sangat mengerikan bagi ibu dan bayinya. Salam.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun