Mohon tunggu...
Hadi Santoso
Hadi Santoso Mohon Tunggu... Penulis - Penulis. Jurnalis.

Pernah sewindu bekerja di 'pabrik koran'. The Headliners Kompasiana 2019, 2020, dan 2021. Nominee 'Best in Specific Interest' Kompasianival 2018. Saya bisa dihubungi di email : omahdarjo@gmail.com.

Selanjutnya

Tutup

Raket Artikel Utama

Rusia Rasa Istora, Tim Indonesia Akhirnya Juara Dunia untuk Kali Pertama

6 Oktober 2019   06:01 Diperbarui: 6 Oktober 2019   13:46 1720
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Membanggakan. Tim bulutangkis junior Indonesia akhirnya jadi juara dunia di Rusia. Tadi malam, Indonesia mengalahkan Tiongkok 3-1 di final yang bikin jantung dag dig dug/Foto: badmintonindonesia.org


Kabar menggembirakan akhirnya datang dari Kota Kazan di Rusia. Lewat perjuangan pantang menyerah, tim bulu tangkis junior Indonesia akhirnya tampil sebagai juara di Kejuaraan Dunia Bulu Tangkis Beregu Junior (BWF World Junior Championship Team) 2019.

Tim bulu tangkis junior Indonesia jadi juara dunia setelah mengalahkan juara bertahan Tiongkok dengan skor 3-1 di final yang membuat jantung dag dig dug, Sabtu (5/10) tadi malam.

Sejak digelar tahun 2000 silam, ini merupakan gelar perdana bagi tim junior Indonesia di kejuaraan bulu tangkis yang juga dikenal dengan nama Suhandinata Cup ini. Ya, piala yang memakai nama tokoh Indonesia ini akhirnya "pulang kampung" ke negara asalnya.

Tentu saja, mendengar kabar tim bulutangkis junior Indonesia jadi juara dunia, sangat melegakan. Bikin bangga. Apalagi, kita mengalahkan Tiongkok. Kita yang selama ini nyaris selalu kalah dari tim Tiongkok di kejuaraan beregu, ternyata bisa menang. 

Sebelumnya, dalam 10 pertemuan melawan Tiongkok di Kejuaraan Dunia Junior, tim Indonesia kalah 9 kali. Termasuk kekalahan di final 2014 dan 2015 dengan skor telak, 0-3.

Dan memang, bila melihat dan mengikuti langsung bagaimana menit demi menit perjuangan anak-anak muda Indonesia di final tadi malam melalui tayangan live streaming, kita bisa merasakan nuansa pertandingan yang sangat mendebarkan.

Pertandingan yang dimulai pukul 17.00 waktu Indonesia dan baru berakhir sekitar pukul 22.00 tersebut sungguh 'tidak baik' bagi kesehatan jantung. Bagaimana tidak, sepanjang pertandingan, jantung kita dibikin dag dig dug demi melihat perjuangan pemain-pemain Indonesia.

Dengan komposisi final yang memainkan lima pertandingan, diawali ganda campuran, lalu tunggal putri, tunggal putra, ganda putri, dan diakhiri ganda putra, bisa dikatakan final tersebut sangat berimbang.

Sebab, kekuatan Indonesia maupun Tiongkok, kali ini memang nyaris sama di hampir semua nomor. Itu memberikan gambaran bahwa pertandingan akan berjalan ketat. Faktanya memang begitu. Dari empat pertandingan yang digelar di final tadi malam, semuanya berakhir dengan rubber game.

Indonesia sempat unggul 2-0

Di pertandingan pertama, Indonesia memainkan pasangan Daniel Marthin dan Indah Cahya Sari Jamil yang sebelumnya menjadi penentu kemenangan Indonesia 3-2 atas Thailand di semifinal (4/10). Keduanya kembali tampil tokcer.

Daniel/Indah mengawali pertandingan dengan sempurna. Mereka menang 21-18 di game pertama atas pasangan Feng Yanzhe/Lin Fangling. Sayangnya, mereka kalah 18-21 di game kedua. Laga pun harus ditentukan lewat rubber game.

Di game ketiga, Daniel/Indah mampu tampil dominan. Pasangan Tiongkok kewalahan. Penempatan bola-bola ke tempat sulit dijangkau dam smash-smash keras oleh Daniel, serta permainan sigap Indah di depan net, membuat mereka memenangi laga dengan skor cukup jauh, 21-11. Indonesia unggul 1-0 atas Tiongkok.

Di pertandingan kedua, laga ketat dan dramatis juga tersaji saat tunggal putri Indonesia, Putri Kusuma Wardani, menghadapi tunggal putri Tiongok, Zhou Meng. 

Termotivasi kemenangan Daniel/Indah, Putri juga tampil apik. Dia menang 21-18 di game pertama. Namun, apa mau dikata, di game kedua, dia malah kalah tipis 20-22. Laga pun berlanjut di game ketiga.

Di game ketiga, kedua pemain saling kejar-mengejar dalam perolehan poin. Namun, di interval kedua, Putri melesat. Dia mau capek dengan terus bergerak mengejar shuttlecock. Defencenya juga keren. 

Beberapa kali smash Zhou Meng bisa ia kembalikan. Dia juga tampil lepas dengan beberapa kali berteriak di lapangan ketika mendapatkan poin. Pada akhirnya, Putri menang 21-14. Indonesia pun unggul 2-0.

Artinya, tim Indonesia hanya butuh satu kemenangan lagi untuk jadi juara. Meski, tidak ada jaminan Indonesia bakal juara. Pemain-pemain muda Indonesia pastinya belum lupa kejadian pahit di final Kejuaraan Asia Junior 2019 pada Juli lalu. Kala itu, Indonesia juga unggul 2-0 atas Thailand. Siapa sangka, Indonesia akhirnya kalah 2-3 dan gagal jadi juara.

Tinggal satu poin untuk juara, Bobby yang sempat unggul 20-16 malah kalah

Karenanya, tekanan besar dihadapi tunggal putra, Bobby Setiabudi yang tampil di pertandingan ketiga. Bobby menghadapi Liu Liang. Tekanan itupula yang membuat Bobby yang di semifinal mampu mengalahkan juara dunia dan juara Asia, Kunlavut Vitidsarn, tampil kurang lepas di game pertama. Dia kalah 17-21. Namun, Bobby berbalik menang dengan skor sama di game kedua.

Dan, momen paling mendebarkan terjadi di game ketiga. Hingga interval pertama, kedua pemain bergantian merebut poin. Sulit memprediksi siapa yang akan menang. Bobby lantas unggul 11-10.

Di interval kedua, pelan-pelan, Bobby mulai meninggalkan Liu dalam perolehan poin. Hingga akhirnya, Bobby unggul 20-16. Match point. Satu poin lagi, dia akan menang. Satu poin lagi, Indonesia akan juara dunia.

Namun, yang terjadi sungguh pahit. Bobby yang sebelumnya meloncat kegirangan ketika mendapat poin 20, seolah langsung kehilangan ketenangannya. Ia ingin buru-buru menyudahi pertandingan. 

Tak dinyana, Liu justru mendapat empat poin beruntun, 20-20 dan memaksakan setting point. Lantas, Liu kembali mendapat dua poin beruntun. Bobby pun kalah 20-22. Terlihat dia sangat kecewa dan terpukul.

Momen ini sungguh menguras emosi. Saya pun sempat lemas. Seolah tak percaya. Lha wong sudah siap-siap juara karena hanya perlu satu poin dan unggul 4 poin, pun Bobby seolah sudah tahu cara mendapatkan poin, eh ternyata tertikung.  

Tetapi memang, dalam laga final, apalagi ketika kualitas pemain yang nyaris sama, maka ketenangan dan kekuatan mental pemain-lah yang menjadi penentu. Dalam hal ini, Bobby masih harus belajar lagi bagaimana meredam euforia dini. Bahwa, sebelum menang, haram hukumnya merasa menang.

Kemenangan Indonesia ditentukan lewat ganda putri dadakan

Kekalahan Bobby membuat Tiongkok memperkecil skor jadi 1-2. Final berlanjut ke pertandingan keempat yang memainkan ganda putri. Bila Indonesia menang, final akan selesai karena skor sudah 3-1. 

Sebaliknya, bila Tiongkok yang menang, maka final akan memainkan laga penentuan (ganda putra). Sulit membayangkan bila Indonesia akhirnya gagal juara setelah sangat dekat. Lha wong hanya kurang satu poin.

Tetapi memang, tekanan menghampiri Indonesia usai kekalahan Bobby. Apalagi, tim pelatih justru memainkan pasangan ganda putri dadakan. Febriana Dwipuji Kusuma menggantikan Nita Violina untuk berpasangan dengan Putri Syaikah.

Pasangan Nita/Putri sebenarnya berstatus rangking 1 dunia ganda putri junior. Namun, mereka kalah saat bermain melawan ganda putri Thailand di semifinal. Nita dinilai tampil kurang lepas. Maka, Febriana yang pernah jadi juara Asia 2018, diplot mendampingi Putri.

Namun, keputusan pelatih untuk merombak ganda putri di laga final ini sempat memunculkan kekhawatiran. Ketika Febriana/Putri, 'tampil diam' dan kalah di game pertama dari Li Yijing/Tan Ning. Skornya pun cukup jauh, 16-21.

Sampai di sini, ada banyak netizen yang berkomentar live, pesimistis dengan peluang ganda putri Indonesia. Apalagi, di interval pertama game kedua, Febriana/Putri selalu tertinggal dalam perolehan poin.

Namun, mereka enggan menyerah. Terlebih ketika mereka tertinggal 19-20 di game kedua. Febriana/Putri seperti 'terbangun dari tidur'. Mereka lantas menyamakan skor. Laga pun berlanjut ke setting poin. Di momen ini, ketegangan kembali terjadi.

Febriana/Putri sempat unggul 21-20 tetapi bisa disamakan. Saya pun mencoba pasrah ketika Febriana/Putri malah dua kali tertinggal 21-22 dan 22-23. Pasrah bila keduanya memang kalah dan final berlanjut di pertandingan kelima. Sebab, Tiongkok hanya perlu satu poin saja.

Yang terjadi, Febriana/Putri justru memperlihatkan ketenangan luar biasa di poin-poin menegangkan itu. Terutama Febriana yang bisa 'ngemong' Putri. Gesture wajahnya juga sangat tenang. Tidak tergesa-gesa. 

Meski pasangan Tiongkok terus menekan, Febriana/Putri mampu mengembalikan shuttlecocok meski harus jatuh bangun. Mereka akhirnya bisa menyamakan poin 23-23. Lantas, berbalik menang 25-23. Rubber game kembali terjadi seperti tiga pertandingan sebelumnya.

Dan di game ketiga, Febriana/Putri rupanya sudah menang mental atas Li/Tan. Mereka melesat dalam perolehan poin dengan sempat unggul jauh 11-5. Jarak keunggulan enam hingga tujuh poin itu terjaga hingga laga mendekati akhir. 

Akhirnya, sebuah dhrive Febriana, tidak bisa dikembalikan sempurna oleh Tan. Shuttlecock mendarat tipis di luar garis. Febriana/Putri pun menang 21-13. Laga final berakhir.  

Sontak, mereka berteriak histeris di lapangan. Sementara pemain-pemain Indonesia dan tim pelatih, juga berlarian ke lapangan. Mereka berpelukan. Merayakan gelar juara dunia. Gelar yang ditunggu-tunggu selama 18 tahun. Mengharukan sekaligus membanggakan.

Dikutip dari badmintonindonesia.org, Febriana mengaku tidak down dengan kekalahan Bobby yang membuat mereka tampil di laga menegangkan. Menurutnya, itu memang itu belum rezeki. Meski, dia sempat tegang di game pertama. Karenanya, mereka sempat tertinggal 4-11.

"Tapi waktu interval, saya dengar supporter memberi semangat. Saya jadi semangat lagi. Saya mikirnya sayang juga kan sudah sampai final, tanggung sudah sampai di final, harus mati-matian," ujar Febriana kepada Badmintonindonesia.org.

Apresiasi untuk suporter Indonesia yang "meng-Istora-kan" Kazan

Tentu saja, apresiasi layak disampaikan kepada pemain yang telah berjuang luar biasa di lapangan. Di usia muda, mereka mampu mengatasi tekanan mental di laga final yang begitu besar. 

Selain itu, kejelian pelatih dalam memainkan pemain di ganda campuran dan ganda putri, terbukti menjadi faktor yang sangat menentukan kemenangan Indonesia. Dan, jangan dilupakan, keberadaan suporter.

Ya, khusus untuk suporter, tim Indonesia beruntung. Sebab, meski bermain jauh di Rusia, tim Indonesia tidak berjuang sendirian. Justru, ada puluhan suporter Indonesia yang hadir. Mereka sepertinya warga/pelajar asal Indonesia yang tengah berada di Rusia/Eropa. Lantas datang langsung ke Rusia demi mendukung tim Indonesia.

Kehadiran mereka bak menyulap Kazan Gymastic Centre selayaknya Istora Gelora Bung Karno. Istora yang selalu ramai suporter sehingga membuat ciut nyali lawan. Sepanjang pertandingan, mereka tanpa henti meneriakkan yel-yel Indonesia.

Mereka juga bersemangat menyanyikan lagu "Garuda di Dadaku" demi memotivasi pemain-pemain Indonesia. Nyanyian "Ku yakin hari ini pasti menang", beberapa kali terdengar. Termasuk teriakan khas suporter Indonesia: "habisin", "habisin" ketika pemain Indonesia yang tampil hanya butuh satu poin untuk memenangi pertandingan.

Memang, Tiongkok juga punya suporter. Mereka juga acapkali bersuara ketika pemain Tiongkok sedang unggul. Namun, keberadaan mereka seperti tenggelam oleh teriakan berenergi suporter Indonesia.

Meski, semangat besar suporter yang tak sabar melihat tim Indonesia juara, sempat memunculkan 'blunder'. Tepatnya ketika Bobby tinggal butuh satu poin. 

Karena mereka berada di tribun persis di depan area lapangan Bobby (tidak di belakang Boby), jelas terlihat mereka seolah ingin segera merayakan kemenangan. 

Beberapa dari mereka seperti tidak sabar untuk segera turun ke lapangan. Jadinya, Bobby malah tidak sabar ingin buru-buru menuntaskan pertandingan sehingga lantas kalah.

Untungnya, situasi serupa tidak terjadi ketika ganda putri Indonesia mencapai 'poin keramat' di game ketiga. Rupanya sudah ada 'leader' yang menenangkan suporter untuk tidak buru-buru merayakan kemenangan sebelum waktunya.

Namun, terlepas dari itu, keberadaan suporter Indonesia di Kazan tadi malam, layak dipuji. Kehadiran mereka mampu menyemangati pemain-pemain Indonesia. Teriakan dan yel-yel mereka membuat pemain-pemain Indonesia seolah bermain di rumah sendiri.

Pada akhirnya, saya ikut mengucapkan selamat untuk tim bulutangkis junior Indonesia yang menjadi juara dunia 2019. 

Saya yakin, semalam, semua pendukung Indonesia yang menyaksikan final lewat live streaming, akhirnya bisa tidur nyenyak. Saya tidak bisa membayangkan seandainya momen pahit di final Kejuaraan Asia 2019 terulang.

Ah ya, perjuangan pemain-pemain Indonesia di Kejuaraan Dunia belum selesai. Sebab, selain nomor beregu, juga masih ada nomor perorangan. Kita tentu berharap, setelah jadi juara di nomor beregu, pemain-pemain Indonesia juga berjaya di lima nomor yang dipertandingkan.

Apalagi, dalam dua tahun terakhir, Indonesia selalu punya pemain juara dunia. Di tahun 2017, tunggal putri, Gregoria Mariska dan pasangan ganda campuran, Rinov RIvaldy/Pitha Mentari jadi juara dunia junior tahun 2017. 

Dan tahun 2018 lalu, Leo Rolly Carnando/Indah Cahya jadi juara dunia junior di nomor ganda campuran. Bagaimana tahun ini? Ah, semoga pemain-pemain Indonesia terus berjaya di Rusia. Salam bulutangkis.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Raket Selengkapnya
Lihat Raket Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun