Mohon tunggu...
Hadi Santoso
Hadi Santoso Mohon Tunggu... Penulis - Penulis. Jurnalis.

Pernah sewindu bekerja di 'pabrik koran'. The Headliners Kompasiana 2019, 2020, dan 2021. Nominee 'Best in Specific Interest' Kompasianival 2018. Saya bisa dihubungi di email : omahdarjo@gmail.com.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Queen, Bohemian Rhapsody, dan Pentingnya "Siapa Kita" dalam Berkarya

16 September 2019   06:16 Diperbarui: 16 September 2019   07:37 207
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pelajaran dari Queen dan film Bohemian Rhapsody/Foto: Tribun Jateng-Tribunnews

Bagi pengidola grup rock legendaris asal Inggris, Queen, tanggal 5 September lalu bukanlah hari biasa. Setiap 5 September, para pengidola Queen seperti  berkesempatan untuk 'menyapa kembali' sang vokalis legenda, Freddie Mercury. Di tanggal itulah, Mercury berulang tahun.

Memang, pria bernama asli Farrokh Bulsara ini tak berumur panjang. Dia meninggal pada tahun 1991 di usia 45 tahun. Namun, meski sudah 28 tahun berlalu, namanya masih tak lekang oleh waktu. Dia belum terlupakan.

Faktanya, setiap 5 September, ada banyak orang kembali mengenangnya. Tidak sulit menemukan tautan berita yang mengisahkan tentang vokalis dengan suara memukau dan aksi panggung tak tertandingi ini.

Nah, sebuah kebetulan. Selama pekan lalu, channel Fox Movies di televisi berbayar di rumah, bolak-balik menayangkan film Bohemian Rhapsody. Awalnya saya kurang tertarik menonton. 

Penyebabnya, anak-anak terlanjur kritis bertanya itu film apa ketika melihat tayangan 'promonya'. Saya sekadar menjawab normatif. Saya beranggapan film itu belum boleh dilihat anak-anak.

Karenanya, saya merasa butuh waktu khusus untuk melihatnya. Waktu khusus untuk bisa menontonnya tanpa anak-anak. Kesempatan itu datang ketika mereka sudah terlelap. Yang terjadi, setelah menontonnya, saya malah seperti 'ketagihan'. Saya pun kembali menontonnya untuk kedua kalinya.

Tetapi memang, bila ingin 'berkenalan secara utuh' dengan film, kita perlu menontonnya lebih dari sekali. Bila pada kesempatan pertama, kita menonton untuk mengikuti ceritanya dari awal sampai akhir. Pada kesempatan kedua, kita bisa mengamati lebih banyak detail filmnya. Seperti scene adegan memorable dan kutipan dialog yang kuat.

Apalagi, untuk film Bohemian Rhapsody yang mengisahkan kembali kepingan-kepingan masa lalu band rock legendaris asal Inggris, Queen, yang sudah menjadi sejarah. 

Tentunya harus ada kecocokan dengan kejadian aslinya. Saya sampai harus membaca cerita asli perihal perjuangan Queen dan Freddie Mercury di tautan wikipedia.

Dari film Bohemian Rhapsody, dari beberapa scene keren yang ditampilkan, ada salah satu adegan yang menurut saya sarat makna. Yakni ketika mereka akan memproduksi album keempat dengan judul "A Night at The Opera" di tahun 1975. Ternyata, sempat terjadi perdebatan seru antara Freddie dan kawan-kawannya dengan bos EMI, Ray Foster. Penyebabnya, Foster tidak setuju bila lagu Bohemian Rhapsody jadi lead single alias single utama di album itu. 

Foster tidak sreg dengan genre opera rock yang diusung lagu itu. Dia juga menyebut Bohemian Rhapsody penuh dengan lirik kata tidak jelas semisal Scaramouche, Galileo Galilei, Figaro, Beelzebub. Namun, penyebab utama adalah karena Bohemian Rhapsody berdurasi enam menit. 

Menurut Foster, dengan berdurasi 6 menit (tepatnya 5 menit 55 detik), tidak akan ada stasiun radio yang mau memutar lagu itu. Pendek kata, lagu itu 'dikutuk' Foster tidak akan pernah jadi hits.

Foster lebih sreg bila lagu "You're My Best Friend" lah yang menjadi lead single di album tersebut. Namun, personel Queen tidak sepakat. Yang terjadi, hubungan Queen dan Foster pun selesai. "Kau selamanya akan dikenang sebagai orang yang menolak Queen," begitu kurang lebih ucapan Freddie kepada Foster.

Lantas, Foster yang kesal, membalasnya dengan ucapan "dalam waktu dekat, tidak akan ada lagi orang yang mengenal Queen". 

Pada akhirnya, asumsi Foster itu salah. Dengan segala 'nilai minus' Bohemian Rhapsody versinya Foster, lagu itu akhirnya bisa diperdengarkan ke publik. Adalah Dj Kenny Everett yang pertama kali mengudarakan lagu itu di Radio Capital setelah mengobrol dengan Freddie.

Lantas, terjadilah yang terjadi. Bohemian Rhapsody langsung jadi hits. Semua orang ketagihan mendengarnya. Di Inggris, lagu itu menempati posisi selama sembilan pekan. Bohemian Rhapsody membawa Queen merajai belantara musik di Inggris Raya.

Bahkan, lagu itu berumur panjang. Hingga kini, di channel Youtube, lagu Bohemian Rhapsody itu sudah diputar lebih dari 1 miliar ! Ya, sudah lebih 1 miliar orang yang mendengarnya. Termasuk saya dan mungkin juga sampean (Anda).

Pentingnya PeDe dalam mengenalkan karya

Lalu, apa pelajaran yang bisa kita tangkap dari momen tersebut?

Dari momen perdebatan panas Freddie dan Foster tersebut, kita bisa tahu satu hal. Bahwa, tidak semua orang memberikan penilaian terhadap karya kita, sesuai yang kita harapkan. Seberapa bagus tulisan atau karya yang kita ciptakan, tidak semua orang akan menganggapnya bagus. 

Apakah itu masalah? Bisa menjadi masalah bila ternyata kita terpengaruh dan baper (bawa perasaan) dengan penilaian orang. Lantas, kita jadi tidak PeDe (percaya diri) dengan karya kita sendiri. Pada akhirnya, karya itu mungkin hanya 'tersimpan rapi di lemari' tanpa pernah dipamerkan ke publik.

Andai Queen dulu seperti itu, kita tidak akan pernah mendengar lagu Bohemian Rhapsody. Bahkan mungkin, kita tidak akan pernah mendapatkan cerita megah jatuh bangun Queen seperti yang kita lihat di film tersebut.

Toh, Queen tidak seperti itu. Dari mereka, kita bisa belajar perihal pentingnya PeDe terhadap karya sendiri. Bahwa, kita-lah yang paling tahu karya yang kita ciptakan. 

Bila kita yakin karya itu bisa menjadi 'karya besar' dengan segala kelebihannya, silahkan jalan terus. Lha wong lagu Bohemian Rhapsody yang megah begitu ternyata dulunya pernah disepelekan dan diminta 'disembunyikan'.

Tentu saja, kita tidak bisa menganggap penilaian orang lain sekadar angin lalu. Kita perlu membuka telinga lebar-lebar demi mendengar semua penilaian orang lain. Karena tidak semua orang 'asal bicara'.

Namun, pada akhirnya, kita yang memilih. Mana penilaian yang memang konstruktif demi perbaikan karya tersebut sehingga bisa kita pakai. Serta mana omongan yang merusak sehingga tak perlu dibawa ke perasaan.

Makna "siapa kita" itu juga penting

Dari perdebatan Freddie dan Foster dalam scene film itu, kita juga jadi paham, ternyata Bohemian Rhapsody disepelekan hanya karena durasinya yang enam menit. Selain juga semua asumsi Foster tentang lagu itu. Lalu, mengapa pada akhirnya bisa diputar dan 'meledak'? 

Jawabannya karena itu lagunya Queen. Andai itu bukan lagunya Queen, semisal grup band yang baru muncul, rasanya akan sulit untuk meyakinkan banyak orang. Sementara ketika mengenalkan Bohemian Rhapsody, Queen sudah punya tiga album. Orang sudah mengenal dan menyukai mereka.

Sebelumnya, mereka mengenalkan diri lewat album Queen (1973) dengan lagu andalan "Keep Yourself Alive", lalu Queen II (1974) dan album ketiga Sheer Heart Attack (1974) yang hits dengan lagu "Killer Queen".

Maknanya, bahwa 'siapa diri kita' itu penting dalam berkarya. Bahwa diri kita adalah branding paling ampuh bagi karya kita. Ketika orang tahu Bohemian Rhapsody karyanya Queen, orang akan penasaran. Mereka ingin mendengarnya karena brand Queen yang terbukti menghasilkan karya bagus di album sebelumnya.

Makna lainnya, bila sudah sukses mem-branding diri, sampean tak perlu khawatir keluar dari 'zona nyaman' dalam berkarya. Seperti Queen yang berani memasukkan opera dalam rock yang kala itu terdengar janggal. Termasuk juga membuat lagu berdurasi panjang yang secara teori akan ditolak diputar oleh stasiun radio karena dianggap 'buang waktu'. 

Bila dikaitkan dengan menulis, mereka yang tulisannya dikagumi banyak orang, juga berani 'melanggar' kebiasaan yang dilakukan penulis kebanyakan.

Silahkan menyimak tulisan-tulisan 'para orang besar' yang sudah diakui kualitas tulisannya. Mereka tak perlu ribet membuat judul yang eye catching atau apalah. Judul tulisan mereka terkadang hanya terdiri dari satu kata. Tapi, kita tidak ada masalah dengan itu. Sebab, kita sudah membayangkan kualitas tulisannya.

Ketika saya tahu tulisannya pak Dahlan Iskan atau pak Rhenald Kasali, saya tidak akan berpikir dua kali untuk membacanya. Begitu juga dulu ketika tahu tulisan sepak bolanya Sindhunata di Kompas. 

Saya rela menunda sarapan demi membacanya. Sebab, membaca tulisannya Romo Shindunata bak seperti sarapan bergizi mengenyangkan. Itu juga seperti kuliah menulis tanpa perlu datang ke kampus.

Lalu, bagaimana caranya agar menjadi penghasil karya yang karya-karyanya disukai banyak orang seperti halnya Queen, Dahlan Iskan, Rhenald Kasali atau Sindhunata?

Tidak ada cara lain selain memulai berkarya. Untuk bisa menulis seperti Sindhunata, tentu saja harus mulai menulis. Tidak bisa sekadar membayangkan. Dengan sering menulis, dengan sering membaca tulisan orang lain, itu merupakan bagian penting dalam berproses menghasilkan karya bagus.

Toh, terlepas betapa kerennya tulisan orang-orang hebat, toh mereka pernah mengawalinya dari 'titik nol'. Mereka tidak 'ujug-ujug' jadi hebat seperti yang kita lihat sekarang. Pasti ada proses panjang. Mungkin juga diwarnai jatuh bangun.

Seperti Queen dalam mengenalkan Bohemian Rhapsody yang penuh drama. Diragukan dan ditolak. Pada akhirnya, karena kualitas karya dan nama yang sudah dikenal, karya itu akhirnya dikenal publik, 'meledak' dan 'berumur panjang' hingga kini. Salam. Selamat mengawali hari di awal pekan.   

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun