Mohon tunggu...
Hadi Santoso
Hadi Santoso Mohon Tunggu... Penulis - Penulis. Jurnalis.

Pernah sewindu bekerja di 'pabrik koran'. The Headliners Kompasiana 2019, 2020, dan 2021. Nominee 'Best in Specific Interest' Kompasianival 2018. Saya bisa dihubungi di email : omahdarjo@gmail.com.

Selanjutnya

Tutup

Raket Pilihan

KPAI, PBSI, dan Pentingnya "Pembibitan Juara Dunia" Sejak Dini

13 September 2019   09:36 Diperbarui: 13 September 2019   09:49 114
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pembibitan pemain sejak usia dini dengan mendekatkan anak-anak ke lapangan, menjadi tugas penting bagi PBSI. Sebab, menjadi juara dunia tidak bisa tiba-tiba juara/Foto: BBC.

Budi merupakan didikan PB Djarum yang bergabung di klub bulutangkis tersebut sejak tahun 1982. Dia juga menjadi bagian tim Indonesia ketika meraih medali emas Asian Games 1998 dan menjuarai Thomas Cup 2002 di Guangzhou Tiongkok.

Dari keterangan singkat tersebut, kita jadi tahu seperti apa proses yang dijalani Budi untuk menjadi juara dunia di usia muda. Dia sudah menempa diri di lapangan bulutangkis di usia 7 tahun. Butuh waktu 10 tahun baginya untuk kemudian menjadi juara dunia.

Tidak hanya Budi, junior-junornya di masa kini juga menapaki jalur yang sama. Mereka semuanya mengasah kemampuan dengan berpeluh keringat di klub ketika usianya masih bocah. Karena memang, tidak ada juara dunia yang tiba-tiba juara. Semuanya berproses panjang. 

Bila Gregoria menempa dirinya di PB Mutiara Cardinal Bandung, Pitha mengasah bakat bulutangkisnya di klub PB Jaya Raya Jakarta, dan Rinov merupakan alumnus didikan PB Djarum.

Tentu saja, menjadi juara dunia bulutangkis itu tidak mudah. Sebab, bukan hanya Indonesia yang melakukan pembibitan pemain-pemain muda. Negara-negara lain pun melakukannya. 

Sejak dulu, Korea Selatan, Malaysia, apalagi Tiongkok, juga sangat serius menyiapkan bibit pemain muda di bulutangkis. Persaingan di level junior tidak kalah ketat dengan level senior.

Data bicara, sejak memiliki juara dunia 1992 tersebut, Indonesia sempat 'paceklik' anak muda yang bisa menjadi juara dunia junior di bulutangkis yang dulunya digelar dua tahun sekali. Baru pada tahun 2011 atau 19 tahun kemudian, Indonesia kembali punya juara dunia junior. Yakni lewat pasangan ganda campuran, Alfian Eko Prasetya/Gloria Widjaja.

Kala itu, Alfian, anak muda kelahiran Jakarta yang berasal dari PB Jaya Raya, baru berusia 17 tahun 3 bulan. Sementara Gloria, remaja kelahiran Bekasi yang bergabung di PB Djarum, berusia 18 tahun satu bulan.

Lantas, sejak saat itu, Kejuaraan Dunia junior digelar setahun sekali. Setahun kemudian, Indonesia kembali punya juara dunia junior. Kembali lewat ganda campuran, Edi Subaktiar dan Melati Daeva Oktavianti.

Edi, anak muda kelahiran Sidoarjo 13 Januari 1994 ini menjadi juara dunia di usia 18 tahun. Sebelumnya, Edi bergabung dengan PB Djarum pada tahun 2008 atau di usia 14 tahun. Sementara pasanganya, Melati Daeva yang kelahiran Serang, juga didikan PB Djarum.

Sempat empat tahun 'puasa gelar', Indonesia akhirnya kembali punya juara dunia junior pada tahun 2017 lewat Gregoria Mariska dan Rinov/Pitha. Disusul Leo/Indah pada tahun lalu. Keberhasilan menjadi juara dunia dalam dua tahun terakhir itu menjadi bukti, pembinaan usia dini di bulutangkis, sudah berjalan on track. Meski, tantangan kini semakin berat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Raket Selengkapnya
Lihat Raket Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun