Mohon tunggu...
Hadi Santoso
Hadi Santoso Mohon Tunggu... Penulis - Penulis. Jurnalis.

Pernah sewindu bekerja di 'pabrik koran'. The Headliners Kompasiana 2019, 2020, dan 2021. Nominee 'Best in Specific Interest' Kompasianival 2018. Saya bisa dihubungi di email : omahdarjo@gmail.com.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Teladan Pak Habibie dalam Perannya Sebagai Suami

11 September 2019   22:14 Diperbarui: 11 September 2019   22:29 470
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dua buku yang mengisahkan teladan pak Habibie dan Bu Ainun. Kehidupan rumah tangga Pak Habibie dan Bu Ainun, bisa menjadi teladan bagi siapa saja dalam membangun rumah tangga sakinah/Foto: Moh.Ali Mahrus


Pernah sewindu bekerja di media menjadi 'pintu pembuka' bagi saya untuk bisa berkenalan denga banyak tokoh di negeri ini. Saya berkesempatan mewawancara banyak narasumber. Dari 'orang biasa' hingga orang terkenal. Dari tokoh politik, pelatih sepak bola, ekonom, hingga presiden.

Bagi saya, mengenal banyak orang merupakan kesempatan belajar. Saya bisa menangkap berlembar-lembar inspirasi dari perjalanan hidup banyak orang. Betapa mayoritas mereka harus jatuh bangun sebelum bisa sukses dalam karier seperti sekarang. Lantas, dikenal banyak orang.

Namun, terkait figur dengan keberhasilan dalam merintis karier serta sukses membangun rumah tangga, tidak ada tokoh Indonesia yang saya kagumi melebihi sosok presiden ke-3 Indonesia, Bacharuddin Jusuf Habibie. 

Kisah hidup Prof H. BJ Habibie dengan Ibu Dr.Hj.Hasri Ainun Habibie, sungguh menjadi ilham bagi kita yang mencari resep spiritual dalam membangun rumah tangga sakinah. 

Pak Habibie dan Bu Ainun layak dijadikan role model oleh siapa saja dalam membangun rumah tangga yang sukses, adem, menyenangkan, dan menenangkan. 

Saya belajar banyak dari teladan Pak Habibie dalam menjalankan perannya sebagai suami. Saya masih ingat, 25 Mei 2011 silam, ketika menghadiahi istri, buku "Habibie & Ainun". Di tanggal itu, genap enam bulan kami hidup berumah tangga sejak menikah pada 25 November 2010.

Di halaman pertama buku tersebut, saya sengaja menuliskan sebuah pesan manis. Bunyinya begini: "menikah hanyalah tambahan status dari pertalian hati yang sudah terjalin kuat. 

Dalam kaitan ini, sebenarnya tidak ada bedanya setelah menikah. Yang ada, kita lebih saling menyayangi dan ikatan emosional kita semakin kuat" (suamimu). 

Tentu saja, kalimat itu, meski tulus, waktu itu, sejatinya sekadar paduan kata manis. Tidak lebih. Lebih tepatnya, sebuah pengharapan sekaligus memotivasi diri untuk terus belajar menyeleraskan ikatan enosional. Kiranya agak berlebihan bila menyebut baru menikah enam bulan sudah memiliki pertalian hati dan ikatan emosional yang kuat.

Karenanya, demi mewujudkan harapan itu, saya membeli buku itu. Sebab, Pak Habibie dan Bu Ainun adalah contoh nyata dari pasangan suami istri yang memiliki ikatan emosional kuat. Meminjam bahasanya pak Habibie: beliau berdua manunggal jiwa, roh, batin dan hati nurani.

Tentang pertalian hati yang sudah terjalin kuat itu, saya terkesima membaca kalimatnya Bu Ainun di sampul penutup buku tersebut. 

"Kami berdua suami-istri dapat menghayati pikiran dan perasaan masing-masing tanpa bicara. Malah antara kami berdua terbentuk komunikasi tanpa bicara, semacam telepati".

Dari pernyataan bu Ainun, saya juga belajar banyak perihal gambaran menjadi 'suami siaga' di rumah dalam artian sebenarnya. Bukan hanya kiasan suami yang siaga ketika istrinya sedang hamil.

Saya amat kagum membaca kalimatnya Bu Ainun yang ini: "Saya bahagia malam-malam hari berdua di kamar; dia sibuk diantara kertas-kertasnya yang berserakan di tempat tidur, saya menjahit, membaca atau berbuat yang lainnya. Saya terharu melihat ia pun banyak membantu tanpa diminta: mencuci piring, mencuci popok bayi yang ada isinya...".

Itu sungguh kalimat paling romantis yang pernah saya dengar. Tidak lebay, tanpa menye-menye atau apalah. Namun, langsung menghujam tepat sasaran. 

Bahwa seperti itulah gambaran romantis kehidupan suami istri yang punya cinta sejati. Apalagi bila sampean (Anda) sudah melihat film "Habibie & Ainun" dan tahu betapa berat perjuangan beliau di masa-masa awal menikah dan tinggal di Jerman.

Ada banyak kisah inspiratif perihal teladan Pak Habibie di buku itu. Namun, dari sekian banyak kisah hebat di buku itu, saya sungguh kagum dengan ketegaran dan kelembutan Prof Habibie ketika membaca cerita bagaimana beliau mendampingi Bu Ainun yang sakit pada bab-bab akhir.

Beliau rela kurang tidur berhari-hari. Berdialog dengan dokter-dokter yang menangani Bu Ainun. Menenangkan dan mendampingi Bu hingga tertidur. Juga rajin sholat Tahajud di samping Bu Ainun. Beliau juga yang membisikkan kalimat syahadat di telinga Bu Ainun di detik-detik terakhir Bu Ainun pergi ke 'dimensi lain" pada 21 Mei 2010.

Kisah-kisah luar biasa pak Habibie dan Bu Ainun di buku itulah yang sedikit banyak telah memberikan pengaruh postif bagi saya dan istri untuk mengarungi bahtera rumah tangga. Tahun ini merupakan tahun kesembilan bagi kisah kami.

Selama itu, saya mencoba menerapkan teladan pak Habibie dalam kapasitas sebagai suami di rumah. Saya beranggapan, seharusnya tidak ada dikotomi peran antara suami dan istri dalam membereskan pekerjaan rumah tangga. Seperti mencuci piring, mencuci popok bayi dan sebagainya.

Dari berbagi pekerjaan itu, saya bisa merasakan nuansa mengapa diantara Pak Habibie dan Bu Ainun terbentuk komunikasi tanpa bicara tapi saling memahami pikiran dan perasaan seperti yang diungkapkan beliau di buku itu.

Melalui memasak bareng dan mengerjakan pekerjaan rumah bersama, ternyata ada ruang berkomunikasi yang lebih akrab dengan istri. Ada ruang untuk lebih dekat sehingga tidak melulu membicarakan urusan serius.

Dalam skala yang jauh lebih kecil, saya juga bisa merasakan nuansa betapa nikmatnya cerita Bu Ainun ketika beliau berdua menikmati malam dengan sibuk mengerjakan pekerjaan berdua di kamar.

Cukup sering, di tiap malam, ketika saya yang kerjanya menulis, berada di depan laptop untuk menyelesaikan target tulisan. Sementara dia terkadang membaca majalah, menonton televisi, ataupun membuatkan teh hangat atau kopi. Seringkali, dia tertidur karena menunggu saya menyelesaikan pekerjaan.

Saya bersyukur bisa membaca dan belajar dari kisah hebat kehidupan Pak Habibie dan Bu Ainun. Dari buku yang sudah saya baca dan juga referensi lainnya, beliau berdua telah memberikan teladan seperti apa seharusnya kehidupan suami istri.

Dan, hari ini, 11 September 2019, setelah sembilan tahun 'berpisah', Pak Habibie menyusul cinta sejatinya, Bu Ainun. Awalnya saya sempat tidak percaya ketika ada tetangga mengabarkan informasi meninggalnya pak Habibie ketika bertemu di masjid saat Isya tadi.

Lha wong, pagi tadi, saya sempat menyaksikan berita di televisi yang mengabarkan kondisi pak Habibie membaik setelah beberapa hari dirawat di RSPAD Gatot Soebroto. Apalagi, sebelumnya sempat muncul hoaks. Namun, tetangga itu menegaskan bahwa informasi yang dia sampaikan benar.

Lantas, ketika kembali ke rumah, ketika menengok gawai, timeline Facebook dan beberapa grup WhatsApp saya ternyata sudah dipenuhi dengan ungkapan duka cita.

Innalillahi wa inna ilaihi rojiun. Selamat jalan Prof Habibie. Selamat bertemu kembali dengan Bu Ainun di dimensi lain. Seperti pesan bapak di lembar terakhir buku 'Habibie & Ainun' : Jika sampai waktunya, tugas kami di alam dunia dan di alam baru selesai, tempatkanlah kami manunggal di sisiMU".

Aamiin.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun