Mohon tunggu...
Hadi Santoso
Hadi Santoso Mohon Tunggu... Penulis - Penulis. Jurnalis.

Pernah sewindu bekerja di 'pabrik koran'. The Headliners Kompasiana 2019, 2020, dan 2021. Nominee 'Best in Specific Interest' Kompasianival 2018. Saya bisa dihubungi di email : omahdarjo@gmail.com.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Agar Anak-anak Tidak Tumbuh Jadi "Pencipta Bohong"

5 Oktober 2018   17:09 Diperbarui: 8 Oktober 2018   04:51 3358
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber ilustrasi: sohu.com


"Berbohong itu dosa, perbuatan tercela, dilarang oleh agama".

Begitu salah satu penggalan bait lagu yang sering dinyanyikan anak saya ketika masih TK dulu. Syukurlah, di sekolahnya, selain bermain dan bermain serta belajar berbaur dengan kawan sebayanya, dia juga diajari lagu yang menurut saya inspiratif.

Inspiratif. Karena bermula dari lagu, dia jadi bisa belajar untuk tidak suka berbohong. Dan semoga saja, ketidaksukaannya pada bohong itu terus awet hingga besar kelak. Meski, godaan untuk berbohong itu kini jauh lebih menggoda.

Bila dulu, bohong itu hanya bisa dilakukan oleh mulut yang satu ini, kini, bohong bahkan bisa diproduksi oleh 10 jemari tangan. Bedanya, bohong era kekinian itu punya nama baru yang lebih keren, "hoaks".

Pun, bila dulu, orang berbohong kebanyakan karena untuk membela diri supaya tidak disalahkan atau minimal tidak dihukum berat. Semisal karena terlambat datang ke sekolah ataupun lupa tidak mengerjakan pekerjaan rumah lantas merangkai alasan ke guru.

Atau ketika dulu ada janjian bertemu dengan 'mantan pacar' lalu ternyata terlambat beberapa menit dari jam yang ditentukan, lantas mengarang cerita macet lha, ban motor bocor lha atau apa lha. Itu cerita dulu. Dulu sekali.

Kini, bohong urusannya bukan lagi alasan receh seperti itu. Bohong yang bernama hoaks itu levelnya tingkat tinggi. Urusannya bukan lagi pribadi, tetapi bahkan bisa menyangkut kepentingan negara, Ngeri.   

Tentu saja sulit melawan hoaks. Upaya minimal yang bisa kita lakukan adalah dengan tidak ikut menyebarkan berita bohong itu kepada kerabat maupun kawan. Kalau kata orang-orang hebat itu "saring dulu sebelum sharing". Ya, jangan main share-share saja lantas ketika ditanya benar apa tidak, hanya berucap "nggak tahu, saya dapat dari grup sebelah".

Upaya lainnya, jangan biarkan anak-anak kita kelak juga tumbuh menjadi pencipta berita bohong. Ada banyak upaya yang bisa kita lakukan agar anak-anak 'alergi' pada berita bohong. Bahwa mereka harus dibiasakan untuk tidak berbohong.

Jangan sampai berbohong menjadi kebiasaan yang dibiarkan. Sebab, bila dibiarkan, mungkin sekarang levelnya masih remeh temeh. Namun, bila terbiasa, kualitas berbohongnya bisa naik beberapa derajat. Dan itu berbahaya. Ada beberapa cara yang bisa kiat lakukan untuk menciptakan kondisi agar anak tidak suka berbohong.

Menjelaskan kerugian bila berbohong

Bagi anak-anak, perilaku berbohong terkadang dirasa biasa saja. Tidak sedikit yang melakukannya tanpa tahu apa dampaknya. Bahkan, mereka bisa spontan melakukannya sembari tertawa cengegesan.

Dua anak laki-laki saya yang masih bocah pun terkadang begitu. Semisal tentang hal sepele, ada bungkus snack dibuang sembarangan di dalam rumah. Ketika saya bertanya siapa yang membuang bungkus tersebut dan menyarankan dibuang ditempat sampah, terkadang mereka malah saling tunjuk.

Si kakak spontan berujar "adik yang membuangnya". Tak mau kalah, si adik membalas berujar "kakak". Bila begitu, saya langsung berujar ringan "ya mungkin Boni (kucing di rumah saya) yang makan snacknya lantas membuang bungkus nya sembarangan".

Bila sudah begitu, saya lantas menasehati mereka perihal bohong. Tentang kerugian anak yang suka berbohong. Bahwa, tidak hanya mendapat dosa, anak yang suka berbohong juga tidak punya teman. Karena, teman yang baik tidak akan membohongi temannya. Dan, mereka juga tidak mau dibohongi.

Beri "hadiah" bagi yang berani jujur

Nah, bila anak-anak sudah mulai saling tunjuk dengan menyalahkan satu sama lain karena dirinya tidak ingin disalahkan, cara terbaik mengatasinya adalah "memaksa" mereka jujur.

Untuk memaksa jujur ini, tidak perlu pakai kekerasan, ancaman ataupun ucapan kasar. Itu sama sekali tidak membantu. Kalaupun mereka kali ini mengaku, tidak ada jaminan mereka tidak mengulanginya lagi.

Cara terbaik adalah dengan memaafkan kesalahan mereka. Memaafkan di sini bukan berarti menolelir kesalahan sehingga mereka akan berpikir "ternyata kita tidak apa-apa berbuat salah". Bukan begitu. Tetapi, ini lebih semacam "permainan pikiran".

Karena mereka sejatinya takut bila disalahkan apalagi dimarahi, kita perlu menghilangkan ketakutannya itu dulu. Kita bisa sampaikan bahwa bila tidak berbohong dan mau jujur, tidak akan kena marah ataupun disalahkan.

"Ayah justru lebih suka kalian mau jujur mengakui kesalahan daripada berpura-pura benar untuk menutupi kesalahan".

Tidak cukup sampai di situ, kita bisa memotivasi mereka untuk menjauhi bohong dengan memberikan mereka hadiah. Semisal membelikan mereka martabak manis ataupun jalan-jalan ke toko buku favorit mereka. Hadiah bisa menjadi pesan kuat bagi mereka bahwa bersikap jujur jauh lebih menguntungkan bagi mereka daripada berbohong.

Mendongeng sebelum tidur

Bagaimana bisa mendongeng sebelum tidur menjadi cara untuk melawan hoaks? Sangat bisa. Meski tidak setiap hari, saya mencoba membiasakan untuk mendongeng ke anak-anak sebelum mereka tidur. Biasanya mereka yang merengek minta ditemani tidur lantas minta diceritakan cerita.

Nah, ketika mendongeng, jangan sekadar bercerita yang ketika sudah selesai lantas menyuruh mereka tidur. Berceritalah dengan gembira. Berceritalah dengan menyelipkan pesan kebaikan. Bahkan, berceritalah dengan membuat inovasi semisal mengganti tokoh dongeng dengan nama-nama yang lebih akrab di telinga mereka.

Contohnya dongeng tentang penggembala yang mengarang cerita bohong dengan berteriak minta tolong ada serigala yang sempat membuat penduduk kampung heboh. Setelah dua tiga kali diulangi berhasil menipu warga, kali keempatnya ketika serigala benar-benar datang dan dia meminta tolong, tidak ada yang percaya pada dia. Dan, habislah dombanya dimakan kawanan serigala. Sampean pastinya juga pernah mendengar dongeng ini.

Pada akhirnya, sikap jujur itu harus dipupuk agar seperti tanaman yang tumbuh subur. Dan, memupuknya bukan hanya tugas dari guru di sekolah ataupun guru ngaji di TPQ-TPQ. Namun, terpenting adalah dari rumah, dari orang tua.

Sebab, tanpa pernah dilatih jujur, anak-anak tidak akan pernah tahu nilai pentingnya menjadi jujur. Mereka akan terbiasa mengarang cerita karena merasa tidak ada yang dirugikan. 

Sekadar untuk membela diri saja. Pada akhirnya, dari sekadar tukang bohong urusan receh, mereka bisa berubah wujud menjadi pencipta kebohongan yang luar biasa karena terbiasa.

Karenanya, 'kampanye' melawan hoaks untuk saring sebelum sharing itu tidak hanya tepat ditujukan bagi mereka yang sudah 'melek' media sosial. Kita juga perlu membentuk pikiran anak-anak untuk tidak suka berbohong sejak dini. 

Salam

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun