Apa enaknya jadi anak desa?
Kalau pertanyaan itu diajukan pada awal tahun 90-an silam ketika saya masih bocah, saya akan punya berderet jawaban bagus untuk menjawabnya. Bahwa, desa adalah lingkungan terbaik yang bisa ditemui oleh anak-anak seperti saya.
Ada hamparan sawah yang bak menjadi 'taman bermain'. Ada sungai yang menawarkan kegembiraan melebihi wahana permainan manapun. Ada lapangan sepak bola yang meski gawangnya terbuat dari bambu dan tidak ada garis pembatas di pinggir lapangan, hanya sebatas tanah lapang, tetapi dia bak "Stadion Senayan Jakarta" bagi kami kala itu. Juga pohon-pohon teduh yang setiap saat bisa dipanjat.
Belum lagi ragam permainan seru yang bisa dimainkan dengan kawan-kawan sebaya. Ada gobak sodor, benteng-bentengan, main sembunyi-sembunyi an, lompat tali dan banyak lagi yang keseruan memainkannya masih terbayang hingga kini.
Apalagi bila sedang musim layangan. Keseruan beradu layangan, mengejar layangan putus hingga dikekar-kejar pemilik sawah yang tanamannya terinjak-injak, menjadi kenangan paling asyik. Ah.
Pun, ketika sedang musim bulutangkis imbas tayangan Piala Thomas/Uber ataupun SEA Games di TVRI, kami pun keranjingan bermain bulutangkis. Meski dengan net yang sekadar tali rafia dibentangkan. Bahkan, bila tidak punya raket, bisa bikin raket sendiri dari kardus.
Bahkan, dulu, apapun bisa dijadikan mainan. Biji-bijian, tutup botol minuman, karet gelang bahkan bungkus rokok sekalipun, bisa menjadi mainan yang mengalihkan perhatian kami dari apapun. Ah, itu cerita dulu. Sekarang, itu sekadar tinggal kenangan yang hanya diceritakan ke anak-anak zaman now.
Seperti akhir pekan kemarin dan juga akhir-akhir pekan sebelumnya, ketika saya berkunjung ke rumah orang tua di kampung, suasananya tidak sama lagi. Bukan lagi desa yang dulu. Tetapi desa yang wajahnya sudah setengah kota. Sawah-sawah yang separohnya sudah berganti perumahan. Lapangan bola yang entah hilang ke mana.
Bahkan, halaman rumah warga yang dulunya lapang sehingga bisa menjadi arena permainan gobak sodor ataupun benteng-bentengan, kini sudah berganti menjadi bangunan-bangunan toko. Mungkin bagi warga, daripada halaman dibiarkan sekadar menjadi tanah kosong, lebih baik dibangun kost-kostan ataupun toko yang bisa disewakan dan tentu saja menghasilkan duit bulanan atau tahunan.
Namun, yang paling menyedihkan dari semua itu adalah anak-anak yang tidak lagi mengenal permainan anak-anak. Selayaknya rumah orang desa zaman dulu, rumah keluarga besar berkumpul di kanan-kiri rumah orang tua dulu. Sehingga, keponakan-keponakan pun berkumpul. Ada sekitar sembilan hingga sepuluh bocah yang berkumpul dan 'bermain' bareng.
Ya, bermain bareng. Tapi mainannya di gawai masing-masing. Bahkan, tidak jarang mereka yang rata-rata masih kelas 1, 2, 3 SD hingga 1 SMP itu "mencuri-curi" wifi gratis dari warung kopi yang kini berhamburan di kampung sekadar untuk bisa download game ataupun youtube-an.