Tidak sulit menyebut siapa pebulutangkis tunggal putri Indonesia yang paling mampu bersaing di tingkat dunia. Ya, bila rujukannya prestasi di tingkat dunia, rasanya semua orang akan menyebut nama Susy Susanti.
Faktanya, hanya pebulutangkis kelahiran Tasikmalaya ini yang mampu meraih medali emas di Olimpiade 1992 kala bulutangkis untuk kali pertama dipertandingkan di Olimpiade di Barcelona. Kala itu, usia Susy masih 21 tahun. Susy juga melengkapinya dengan gelar juara dunia setahun berikutnya di Birmingham, Inggris. Termasuk lima gelar di Badminton World Cup, turnamen yang digelar selama periode 1981-1997 dan 2005-2006. Serta medali perunggu di Olimpiade 1996.
Masalahnya, membicarakan prestasi hebat Susy Susanti itu kini bak seperti mengagumi sejarah. Kagum pada masa lalu sembari berharap kapan era Susy itu bisa kembali terulang. Sebab, sejak Susy memutuskan gantung raket, Indonesia tak pernah lagi memiliki tunggal putri yang bisa menjadi juara dunia.
Sempat muncul nama Maria Kristin Yulianti yang meraih medali perunggu di Olimpiade Beijing 2008. Pemain kelahiran Tuban itu mampu mengalahkan pemain India, Saina Nehwal di perempat final (Saina merupakan pemain yang sulit dikalahkan tunggal putri Indonesia hingga kini). Sayangnya, cedera membuat Maria Kristin "tidak bertahan lama" di lapangan.
Dan, hingga kini, hingga Susy Susanti sudah berusia 47 tahun dan sudah dipanggil "bu Susy" seiring jabatannya sebagai Kepala Bidang Pembinaan Prestasi PBSI, Indonesia masih merindukan kemunculan tunggal putri yang bisa berprestasi di tingkat dunia. Indonesia rindu pemain tunggal putri yang bisa meng-copy paste semangat juara Susy.
Dalam hal memiliki tunggal putri kelas dunia ini, Indonesia bahkan sudah tertinggal dari beberapa negara yang di era jayanya Susy Susanti dulu, mereka sekadar jadi penonton. Dulu, pesaing utama Susy hanyalah Bang Soo Hyun dari Korea Selatan juga Ye Zhaoying dan Tang Jiuhong dari Tiongkok. Ya, hanya Tiongkok dan Korea.
Kini, beberapa negara memiliki tunggal putri top dunia. Taiwan punya Tai Tzu-ying yang merupakan tunggal putri rangking 1 dunia. Spanyol punya Carolina Marin yang merupakan peraih medali emas Olimpiade 2016 dan juara dunia 2018 dan 2016. Jepang punya Akane Yamaguchi (rangking 2 Â dunia) dan Nozomi Okuhara (juara dunia 2017). Lalu, India punya Pusarla Venkata Sindhu, peraih medali perak Olimpiade 2016. Dan, Thaland punya Ratchanok Intanon yang merupakan juara dunia 2013. Di luar itu masih ada nama Chen Yufei (Tiongkok) dan Sung Ji-hyun (Korea) yang juga masuk rangking 10 besar dunia.
Bagaimana Indonesia?
Dalam beberapa tahun terakhir, harus diakui bahwa Indonesia tertinggal di sektor tunggal putri. Dua pemain andalan tunggal putri Indonesia saat ini, Gregoria Mariska Tunjung (19 tahun) dan Fitriani (19 tahun), masih belum masuk dalam jajaran tunggal putri top dunia. Meski, keduanya sejatinya punya potensi untuk bisa 'meledak' dan bersaing dengan nama-nama top tersebut di atas.
Di Asian Games 2018 lalu, Gregoria bahkan mampu mengalahkan Sung Ji-hyun dan Akane Yamaguchi di perempat final dan semifinal beregu putri. Fitriani juga memperlihatkan kemajuan dari sisi mentalitas bermain. Dia sempat menang di game pertama atas Nozomi Okuhara meski kemudian kalah rubber game.
Dikutip dari Badmintalk_com, Susy Susanti menyebut bahwa untuk bisa bersaing di tingkat dunia, secara garis besar, fisik tunggal putri harus ditingkatkan. Menurutnya, untuk Gregoria, mental tandingnya sudah oke. Namun, fisik dan kekuatan kaki harus ditingkatkan. Sementara untuk Fitriani, teknis dan mental yang mesti diperbaiki agar bisa konsisten di lapangan. "Mereka harus belajar. Seperti tunggal putra yang mentalnya bagus-bagus. Saya ingin anak-anak belajar dari merea," ujar Susy.
Tunggal Putri Indonesia "sold out" cepat di Hyderabad Open 2018
Apakah tunggal putri Indonesia hanya dua pemain itu saja?
Sebenarnya tidak. Indonesia masih punya beberapa tunggal putri yang sering tampil di turnamen-turnamen. Seperti Dinar Dya Ayustine dan Ruselli Hartawan yang masuk tim Piala Uber 2018 (nama terakhir juga masuk tim beregu putri Asian Games 2018). Juga ada nama Choirunnisa, Aurum Oktavia dan Lyanny Alessandra Mainaky. Sayangnya, prestasi mereka masih naik turun untuk tidak menyebut penampilan mereka masih labil.
Terbaru, sejak awal pekan ini, mereka tampil di turnamen bulutangkis Hyderabad Open 2018 di India (inilah yang sebenarnya menjadi ide utama dari tulisan ini). Tunggal putri sebenarnya diharapkan bisa membawa pulang gelar. Sebab, Dinar menjadi unggulan 1, Lyanny jadi unggulan 2 dan Ruselli jadi unggulan 6.
Namun, yang terjadi, mereka "sold out" cepat. Tidak satupun tunggal putri Indonesia yang bisa lolos ke perempat final. Mereka berguguran di babak 16 besar. Dinar takluk dari pemain Singapura, Yeo Jia Min 15-21, 15-21. Sementara Ruselli kalah dari pemain Korea Selatan, Kim Ga-eun 12-21, 14-21. Dan Choirunnisa kalah rubber game dari pemain Hongkong, Joy Xuan Deng 21-19, 11-21, 13-21 seperti dikutip dari bwf.tournamentsoftware.com.
Selain masalah fisik dan mental, konsistensi penampilan masih menjadi masalah akut. Ruselli, pemain kelahiran Jakarta berusia 20 tahun yang di tahun 2017 lalu berhasil meraih tiga gelar (Kejurnas, Malaysia International dan Singapore International) tahun ini belum meraih gelar. Prestasi terbaiknya di tahun ini adalah menjadi finalis Finnish Open 2018 (dikalahkan Gregoria Mariska di final). Sementara Dinar yang sempat mencuri perhatian dengan menjadi ,juara Vietnam International di awal tahun ini, tidak mampu lagi membuat kejutan. Meski diunggulkan di beberapa turnamen, pebulutangkis kelahiran Karangnyar, Jawa Tengah berusia 24 tahun ini tak mampu meraih gelar lagi.
Ah, semoga kerinduan melihat kembali tunggal putri Indonesia yang memiliki prestasi di tingkat dunia sehebat Bu Susy, bukan sekadar rindu tak berbalas. Semoga bukan seperti kerinduan fans klub sepak bola yang lebih senang melihat kejayaan klubnya di masa lalu sebagai pelipur lara karena di era sekarang klubnya masih tampil labil. Salam bulutangkis. Â