Mohon tunggu...
Hadi Santoso
Hadi Santoso Mohon Tunggu... Penulis - Penulis. Jurnalis.

Pernah sewindu bekerja di 'pabrik koran'. The Headliners Kompasiana 2019, 2020, dan 2021. Nominee 'Best in Specific Interest' Kompasianival 2018. Saya bisa dihubungi di email : omahdarjo@gmail.com.

Selanjutnya

Tutup

Raket Pilihan

Jojo dan Ginting Tampil Hebat di Asian Games 2018, Masih Ada yang Mau "Bully"?

26 Agustus 2018   13:37 Diperbarui: 27 Agustus 2018   12:57 1508
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Anthony Ginting (kiri), tampil hebat saat mengalahkan juara dunia 2018 asal Jepang, Kento Momota di babak 16 besar Asian Games 2018/Foto: Twitter InaBadminton

Tidak mudah menjadi atlet Indonesia. Utamanya atlet di cabang olahraga yang memiliki sejuta penggemar seperti halnya bulutangkis. Sebab, tidak semua pecinta bulutangkis yang populer dengan sebutan badminton lover itu "ori". Ada juga yang musiman.

Mereka yang musiman ini adalah suporter dadakan yang hanya menonton pemain Indonesia bertanding ketika ada pertandingan yang disiarkan langsung oleh televisi. Mereka menuntut pemain-pemain Indonesia harus selalu menang tanpa mau tahu bahwa di bulutangkis hanya ada 2 kemungkinan, menang atau kalah. 

Dan, berbeda dengan yang ori, mereka juga jarang mengikuti perkembangan bulutangkis kekinian sehingga tidak mau tahu siapa lawan yang dihadapi pemain Indonesia, apalagi soal data statistik pertemuan pemain di lapangan.

Pendek kata, mereka ini adalah jenis suporter yang mudah menyanjung ketika pemain Indonesia menang. Sebaliknya, mereka bisa begitu kejam mencaci dan membully pemain-pemain Indonesia ketika kalah melalui komentar-komentar mereka di media sosial.  

Tengok saja, sumpah serapah berupa kata-kata kasar semisal t***l, g****k, s****h bisa dengan mudah kita temukan di kolom-kolom komentar akun media sosial yang memberitakan perjuangan pebulutangkis Indonesia di ajang Asian Games 2018.

Perlakuan seperti itu yang dialami 2 tunggal putra Indonesia, Anthony Sinisuka Ginting dan Jonatan Christie ketika gagal membawa Indonesia juara usai dikalahkan Tiongkok di final beregu putra pada 22 Agustus 2018 lalu.

Ketika Ginting mengalami kram di kaki kanannya di penghujung game ketiga di pertandingan pertama sehingga terpaksa kalah dari Shi Yuqi, terlepas dari banyaknya respek dan pujian untuk semangat juangnya, ternyata masih ada orang-orang (entah kata apa yang tepat untuk menyebut mereka) yang kurang menghargai perjuangannya. Malah, dari pantauan di media sosial, ada warganet yang berkomentar bahwa cedera nya itu hanya pura-pura, atau juga mencibirnya tidak profesional. Astaga.

Lha bagaimana bisa pura-pura cedera? lha wong saat itu skornya kritis dan dia masih berpeluang menang. Bahkan, ketika dia memaksakan untuk tetap tampil dengan kaki terpincang-pincang, skor masih 20-19 untuk Ginting sebelum akhirnya menyerah di angka 20-21. Kalau tidak cedera, saya yakin Ginting bisa menyelesaikan game ketiga itu dengan kemenangan. Bebas berkomentar boleh, asal jangan asal bunyi atau nulis.

Bahkan, Shi Yuqi saja mengapresisasi perjuangan hebat Ginting. Termasuk juga respons positif dari badminton lover Tiongkok. Lah ini suporter sendiri malah untuk mengapresiasi saja sulit.

Tidak hanya Ginting, Jonatan Christie yang tampil sebagai tunggal kedua di pertandingan ketiga, juga jadi sasaran cemoohan di media sosial. Ada yang mencibir kurang semangat mainnya atau mentalnya nggak kuat karena kalah dari Chen Long 18-21 di game ketiga ketika sempat unggul 7 poin. Malah ada cibiran yang mengarah ke fisik dengan menyebut Jojo hanya bermodal tampang ganteng. Lha apa hubungannya main bulutangkis sama wajah ganteng. Ckkk Ckkk. 

Sungguh itu menyakitkan. Berjuang habis-habisan demi negara menghadapi pemain yang secara pengalaman lebih matang, tetapi dibully oleh pendukung sendiri.

Para pembully ini sepertinya perlu untuk merasakan langsung arena pertandingan. Tidak perlu muluk-muluk tampil di level Asia, andai mereka tampil membela RT/RW mereka dalam perlombaan balap karung. Lantas, mereka merasakan kerasnya perlombaan, sempat terjatuh, berdarah lututnya, dan kemudian gagal memenangi lomba. Jika sudah seperti itu, mereka lantas di-bully orang-orang se-RT nya karena kalah. Bagaimana rasanya coba?

Ginting Taklukkan Juara Dunia 2018
Para suporter jenis ini bukan hanya tidak tahu cara mengapresiasi perjuangan pemain di lapangan--terlepas bagaimana hasil akhirnya--mereka juga tidak tahu bahwa dalam olahraga, selalu ada peluang untuk bangkit di kesempatan berikutnya.

Bangkit di kesempatan berikutnya itulah yang ditunjukkan Ginting dan Jonatan Christie. Gagal juara di nomor beregu, Ginting dan Jojo--panggilan Jonatan Christie--lantas "meledak" di nomor perorangan.

Anthony Ginting, berhasil kalahkan juara dunia 2018/Foto: Twitter InaBadminton
Anthony Ginting, berhasil kalahkan juara dunia 2018/Foto: Twitter InaBadminton
Tadi malam, Sabtu (25/8/2018), keduanya tampil hebat di babak 16 besar untuk lolos ke perempat final. Terutama Anthony Ginting. Ginting yang tidak diunggulkan, berhasil mengalahkan pemain Jepang unggulan 2, Kento Momota dua game langsung 21-18, 21-18.

Ini kemenangan hebat. Momota (23 tahun) adalah juara Asia 2018 dan juga juara dunia 2018 pada awal Agustus lalu. Di tahun 2018 ini, Momota memang tampil on fire. Dia juga juara Indonesia Open 2018 dengan mengalahkan juara dunia 2017, Viktor Axelsen di final. Hanya pemain top malaysia, Lee Chong Wei yang bisa mengalahkan dia di final Malaysia Open 2018.

Terlebih, dalam 3 pertemuan sebelumnya di tahun 2018 ini, Ginting selalu kalah dari Momota. Dua di laga BWF World Tour dan juag di semifinal beregu Asian Games 2018.

Namun, tadi malam, Ginting benar-benar tampil sempurna. Menurut saya, kunci kemenangan Ginting terletak pada ketenangannya dan kecerdasannya dalam meladeni permainan cepat ala Momota. Plus, Ginting minim kesalahan yang berujung pada poin gratis untuk Momota. Akurasi dan penempatan/pengembalian bola juga smash nya nyaris sempurna. Baru kali ini Momota terlihat kebingungan.

"Saya tidak menyangka bisa menang dua game langsung. Rasanya plong, saya kalah di beregu. Mainnya di Istora, senang bisa revans. Sebenarnya performa Momota cukup bagus, di awal game dia memegang kendali," ujar Ginting dikutip dari badmintonindonesia.org. 

"Tapi ada peribahasa, hasil tidak akan mengkhianati usaha. Tadi walaupun sudah ketinggalan jauh, tidak ada pikiran menyerah dan mainkan game ketiga, tapi tetap coba jalankan strategi," sambung pebulutangkis berusia 21 tahun ini. 

Bagi saya, pertandingan melawan Momota itu adalah salah satu pertandingan terbaik Ginting dalam kariernya. Bahkan melebihi penampilannya ketika juara Korea Open 2017 yang merupakan gelar BWF Super Series pertamanya. 

Penampilan Ginting tadi malam juga lebih oke ketimbang ketika juara Indonesia Masters 2018 pada Januari lalu saat menang atas pemain Jepang, Kazumasa Sakai di final. Ginting kini tidak hanya mengandalkan reli dan penempatan bola yang menyulitkan. Pukulan drive dan smash nya juga sudah semakin matang. 

Jonatan Belajar dari Kesalahan

Penampilan hebat juga ditunjukkan Jojo. Setelah menyingkirkan Shi Yuqi, sang unggulan pertama di babak 32 besar lewat rubber game, Jojo kembali menang dalam pertarungan tiga game saat melawan pemain Thailand, Khosit Phetpradab di babak 16 besar tadi malam.

Satu hal yang menarik dari kemenangan Jojo atas Shi Yuqi dan Khosit, dia sudah belajar dari kekalahan atas Chen Long di final beregu. Jojo sudah belajar bagaimana caranya mengakhiri pertandingan dengan kemenangan ketika dalam posisi unggul.

Jonatan Christie, kini tahu caranya
Jonatan Christie, kini tahu caranya
Jonatan memang sempat dibayangi trauma kekalahan di final nomor beregu. Di game ketika melawan Shi Yuqi, Jonatan sempat unggul 16-12. Lima poin lagi dia bisa menyudahi permainan. Namun, Shi Yuqi lantas mendapatkan tiga poin beruntun sehingga menjadi 16-15. Tetapi, Jonatan rupanya sudah belajar dari kesalahan.

"Itu yang saya takutkan kejadian lagi, poinnya hampir mirip 16-12, sudah terkejar sampai 15. Tapi saya berusaha tetap fokus. Saya nggak mau kejadian kemarin terulang," ujar Jonatan dikutip dari badmintonindonesia.org. 

Ketenangan serupa juga diperlihatkan Jojo ketika melawan Khosit. Kalah 17-21 di game pertama, dia bangkit di game kedua dan menang 21-18. Di game ketiga, Jojo yang sempat tertinggal dalam perolehan poin, akhirnya menang 21-18.

Nah, hari ini, Minggu (26/8/2018), Ginting dan Jojo akan tampil di perempat final. Jojo akan menghadapi pemain Hongkong, Vincent Wong Wi Ki. Sementara Ginting akan menghadapi Chen Long yang pernah ia taklukkan di semifinal Indonesia Masters 2018 lalu.

Kabar bagusnya lagi, Jojo dan Ginting berada di pool berbeda. Jojo di pool atas dan Ginting di pool bawah. Artinya, bila keduanya berhasil lolos ke semifinal, mereka tidak akan saling berhadapan. Jadi, bukan tidak mungkin akan tercipta final sesama pemain Indonesia di nomor tunggal putra bulutangkis perseorangan Asian Games 2018.

Ah, saya jadi kepo alias pengen tahu, mereka yang kapan hari mem-bully Jojo dan Ginting, apakah tadi malam terdiam atau malah ikut bersorak. Atau mungkin mereka terkaget-kaget Ginting bisa mengalahkan Momota dan Jojo menaklukkkan Shi Yuqi.  

Meminjam kutipan terkenal di sepak bola, kalau kalian tidak bisa mengapresiasi perjuangan pemain ketika kalah, jangan pernah ikut bersorak ketika pemain kita meraih kemenangan. Sebab, esensi mendukung pemain-pemain Indonesia itu seharusnya tidak mengenal kalah atau menang. Sebab, pertandingan bulutangkis hanya mengenal menang dan kalah itu.

Semangat Ginting dan Jojo. Lawan-lawan terberat sudah ditaklukkan. Tetaplah membumi dan bermain konsisten. Semoga bisa bablas ke final. Salam bulutangkis.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Raket Selengkapnya
Lihat Raket Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun