Mohon tunggu...
Aprilian Sumodiningrat
Aprilian Sumodiningrat Mohon Tunggu... Pengacara - Penulis, Pemerhati

Menyelesaikan Studi S1 Ilmu Hukum, Kekhususan Hukum Tata Negara Universitas Jember, S2 pada Magister Hukum Bisnis dan Kenegaraan, Kluster Kenegaraan pada Universitas Gadjah Mada. Saat ini berprofesi sebagai Pengacara pada Tarigan Law Office, dan berdomisili di Jember.

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Pasal Karet dalam UU no 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan

30 April 2019   22:29 Diperbarui: 2 Mei 2019   18:33 2313
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto Peringatan Hari Buruh, sumber : goodnewsfromindonesia.id

 Dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia, pekerjaan adalah hak asasi yang dapat dimiliki setiap warga negara. Tentunya pekerjaan yang dimaksud adalah pekerjaan yang layak, dengan upah yang layak serta tidak mengesampingkan aspek -- aspek kemanusiaan. Hal itu telah dijamin, dan tertuang dalam pasal 27 ayat (2) Undang - Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 pada amandemen ke dua; "Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja". 

Dengan demikian, pembahasan mengenai hukum ketenagakerjaan merupakan pembahasan yang erat kaitannya dengan perut seseorang (kelangsungan hidup seseorang). Pembahasan hukum ketenagakerjaan akan bersentuhan langsung dengan sistem ketenagakerjaan, sistem pengupahan, sistem hubungan kerja antara pengusaha dan pekerja / buruh serta kesejahteraan pekerja / buruh.

Permasalahan yang banyak terjadi dalam hukum ketenagakerjaan adalah Mengenai permasalahan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). Dalam Pasal 1 ayat (25) Undang -- Undang nomor 13 tahun 2003 tentang Ketengakerjaan, Pengakhiran hubungan kerja karena suatu hal tertentu yang mengakibatkan berakhirnya hak dan kewajiban antara pekerja/buruh dan pengusaha.[1] Selain itu, Menurut Keputusan Menteri dan  Transmigrasi Republik Indonesia Nomor: Kep/78/Men/2001, menyatakan bahwa Pengakhiran hubungan kerja antara  pengusaha dengan[2] pekerja/buruh berdasarkan ijin Panitia Daerah atau Panitia Pusat. Adapun menurut Menurut Asri Wijayanti, definisi Pemutusan Hubungan Kerja adalah Suatu keadaan dimana si buruh berhenti bekerja dari majikannya.[3]

            Pengaturan mengenai PHK merupakan wujud perlindungan terhadap tenaga kerja. Hal tersebut dimaksudkan untuk menjamin hak-hak dasar pekerja/buruh dan  menjamin kesamaan kesempatan serta perlakuan tanpa diskriminasi atas dasar apapun untuk  mewujudkan kesejahteraan pekerja/buruh dan keluarganya dengan tetap memperhatikan perkembangan kemajuan dunia usaha sertaDalam rangka melindungi tenaga kerja dan  keluarganya sesuai dengan harkat dan martabat  kemanusiaan diperlukan adanya.[4] Ketentuan Hukum mengenai Pemutusan Hubungan Kerja, merupakan bagian yang rumit, karena bersifat Perdata dan Publik atau bivalent.[5]

            Adapun salah satu jenis Pemutusan Hubungan Kerja diantaranya adalah dikarenakan alasan mangkir. Hal ini dimungkinkan, karena diatur dalam undang undang ketenagakerjaan, dalam pasal 168 ayat (1) yang berbunyi "Pekerja/buruh yang mangkir selama 5 (lima) hari kerja atau lebih berturut-turut tanpa keterangan secara tertulis yang dilengkapi dengan bukti yang sah dan telah dipanggil oleh pengusaha 2 (dua) kali secara patut dan tertulis dapat diputus hubungan kerjanya karena dikualifikasikan mengundurkan diri." Telah jelas, keterangan yang dimaksud haruslah bersifat tertulis supaya buruh memiliki alasan yang dapat diterima supaya tidak dikategorikan mangkir. Namun, hal ini dapat berpotensi menimbulkan polemik dalam penerapannya. Penyalahgunaan oleh pihak perusahaan dapat saja terjadi, dikarenakan tidak ada ketentuan lebih lanjut yang dapat mendefiniskan frasa "mangkir" dalam pasal tersebut secara jelas.

            Dalam kasus Permohonan Judicial Review  atas pengujian pasal 168 ayat (1) dan 156 ayat (2) Undang -- Undang nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, dengan nomor registrasi 101/PUU/XVI/2018 atas nama Ester Fransisca, yang merupakan karyawan PT. Asih Eka Abadi (AEA). Dimana dalam kasus ini, Ester Fransisca dimintai untuk menandatangani Surat Peringatan 1 (SP-1), dikarenakan telah terlambat masuk kerja dan mangkir selama 3 hari pada bulan Agustus 2018. Namun permintaan tersebut ditolak oleh Ester Fransisca. Hal itu dikarenakan, dirinya telah terlebih dahulu meminta izin langsung dari atasan langsung. Karena penolakan penandatanganan SP-1 tersebut, maka sesuai dengan peraturan perusahaan pasal 68 ayat (1), Ester Fransisca dikenai sanksi skorsing. Sedangkan dalam peraturan perusahaan itu, tidak dijelaskan, skorsing yang dimaksud adalah dalam bentuk tertulis, atau secara tidak tertulis (lisan). Sehingga, apabila diberikan skorsing lisan, Ester tidak dapat membuktikan ketidakhadirannya selama skorsing lisan tersebut. Dan skorsing lisan tersebut, dapat menjadi celah untuk Ester supaya dianggap mangkir dari perusahaan selam lima hari berturut -- turut. Lalu terbukalah kesempatan bagi perusahaan untuk menerbitkan surat pemanggilan pertama, dan kedua secara patut dan tertulis sesuai ketentuan pasal 168 ayat (1) undang -- undang nomor 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan.

            Hal serupa juga dialami oleh Supriyadi dan Achmad Yanuar, yang mengalami kekalahan dalam putusan kasasi nomor 1278 K /Pdt.Sus-PHI/2017, tanggal 02 November 2017 antara PT Daya Mitra Serasi melawan Achmad Yanura dan Supriyadi. Supriyadi dan Yanuar mendapatkan skorsing lisan dari perusahaan tempat mereka bekerja, dengan tetap menerima upah selama skorsing tersebut. Skorsing keduanya berlaku dari tanggal 22 maret 2014 hingga 25 november 2015. Setelah mereka selesai menjalani skorsing tersebut, pada tanggal 27 November 2015 perusahaan melayangkan surat pemanggilan kepada keduanya. Namun, setelah Achmad Yanuar dan Supriyadi memenuhi panggilan pertama tersebut, pimpinan perusahaan PT Daya Mitra Serasi malah tidak dapat ditemui. Akan tetapi, kemudian PT Daya Mitra Serasi kembali menerbitkan surat panggilan untuk keduanya, yang kemudian dipakai sebagai dasar perusahaan untuk mem-PHK keduanya, dengan alasan keduanya telah mangkir lima hari berturut -- turut selama lebih dari lima hari dan telah dipanggil perusahaan 2 kali berturut -- turut.

            Dari kedua kasus diatas, dapat disimpulkan bahwa terdapat kelemahan yang dapat berpotensi serius terhadap kelangsungan hak -- hak pekerja untuk tetap dapat bekerja. Ketentuan pasal 168 ayat (1) undang -- undang nomor 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan tidak menjelaskan secara komperehensif mengenai klausula "mangkir" , sehingga akan menimbulkan banyak penafsiran mengenai kata "mangkir"  dan rawan akan penyalahgunaan oleh pengusaha. Selain itu, hak -- hak pekerja yang dilindungi oleh konstitusi, akan mudah diinjak injak. Berangkat daripada politik hukum ketenagakerjaan yang terdapat dalam konsideran undang undang nomor 13 tahun 2003 tentang ketengakerjaan, huruf b yang berbunyi; "bahwa perlindungan terhadap tenaga kerja dimaksudkan untuk menjamin hak hak dasar pekerja/buruh dan menjamin kesamaan kesempatan serta perlakuan tanpa diskriminasi atas dasar apapun untuk mewujudkan kesejahteraan pekerja/buruh dan keluarganya dengan tetap memperhatikan perkembangan kemajuan dunia usaha" Melihat beberapa hal tersebut, maka seyogyanya perlu adanya pengkajian ulang terkait kualifikasi mangkir kerja dalam undang -- undang nomor 13 tahun 2003. Memang, tidak ada yang sempurna dalam pembentukan sebuah peraturan perundangan-undangan, termasuk dalam perumusan klausa dalam pasal 168 undang -- undang ketenagakerjaan, utamanya terkait kualifikasi mangkir kerja ini. Namun, apabila dibiarkan seperti ini, maka tidak akan menutup kemungkinan dimasa depan akan banyak kasus-kasus serupa, seperti yang telah disebutkan dalam beberapa contoh kasus diatas. Mengingat, hari ini Indonesia telah memasuki era Masyarakat Ekonomi Asia, dan terlebih kedepannya, arah kebijakan ekonomi akan terpusat kepada proses industrialisasi, yang kemudian akan membuka lapangan-lapangan kerja baru. Hak hak pekerja akan sangat rentan kedepannya untuk diselewengkan pengusaha, bila perbaikan tidak segera dilakukan.

[1] Pasal 1 ayat (25) Undang -- Undang nomor 13 tahun 2003 tentang Ketengakerjaan

[2] Keputusan Menteri dan  Transmigrasi Republik Indonesia Nomor: Kep/78/Men/2001

[3] Asri Wijayanti, Hukum Ketenagakerjaan Pasca Reformasi (Jakarta: Sinar Grafika, 2009)., hlm. 159

[4] Wijayanti., hlm 6

[5] Darwan Prinst, Hukum Ketenagakerjaan Indonesia (Bandung: Alumni, 2000).

Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun