Mohon tunggu...
Habib Noor
Habib Noor Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Merayakan 65 Tahun Cak Nun

26 Mei 2018   17:55 Diperbarui: 26 Mei 2018   20:17 3166
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto: Tribunnews.com

Bagi makhluk hidup yang berteman atau berguru pada saidina Emha Ainun Najib, tanggal 27 Mei adalah hari yang spesial. Yap bertepatan dengan 12 tahun gempa Jogja, Cak Nun juga memperingati hari ulang tahunnya (yang baru0 ke 65. 

Mungkin juga maksud Allah mengizinkan gempa di Yogykarta 27 Mei 2006 silam supaya kita mengerti, bahwa pada 27 Mei 1953, Allah telah menciptakan manusia yang akan membuat guncangan-guncangan pada perimpitan pemikiran tentang agama, nasionalisme, ideologi, dan seluruh kebenaran yang terus diperdebatkan di zaman milenial ini.

Tapi saya sangat yakin, pasti Cak nun sendiri tidak begitu mempedulikan hari ulang tahunnya ini. Saya mencoba menebak, kalimat pertama yang diucapkan Cak Nun pada acara menyorong rembulan yang digelar pada tanggal 27 dan 28 di Menturo, Jombang, Jawa timur adalah "Kok kober-kober e arek-arek gawe acara koyo ngene". 

Memang sedikit akan mengundang gelak tawa, tapi di balik itu pasti Cak nun memberi apresiasi yang tinggi dan menghormati acara yang berlangsung dua malam itu.

Memang sulit menebak bagaimana cara berpikir manusia yang harga dirinya lebih baik dari ayam ini. Sebelumnya maaf, saya bukan bermaksud membandingakan Cak Nun dengan seekor ayam, saya hanya mengutip dari tulisan beliau yang berjudul Harga Diri Ayam. Yang nukilannya ialah sebagai berikut: 

"Segala prilaku ayam, langkahnya, makan minumnya, mati hidupnya, seratus persen menaati sunnah Tuhan atau tradisi penciptaan yang di-set up oleh Tuhan, sementara manusia dikasih peluang demokrasi berpikir sendiri, menentukan sendiri keputusan-keputusan hidupnya. Maka manusia bergerak ke berbagai kemungkinan arah, ada yang menjadi lebih baik dari ayam, ada yang lebih hina dari ayam."

Tulisan ini ada di buku karangan beliau yang berjudul "Jejak Tinju Pak Kiai". Saya menangkap dari kalimat itu, Cak Nun benar -benar memanfaatkan dan mengolah hak yang di berikan langsung Tuhan kepadanya. 

Diibaratkan ada anak kecil yang bermain layangan, terkena masalah benang layangannya ruwet tidak karu-karuan,yang disebabkan banyak faktor, Cak Nun dengan ikhlasnya, sabarnya, dan tilitnya ndandani alon -alon benang ruwet itu.

Kita juga sudah tau lebih dari 3.000 kali keliling Indonesia dari desa ke desa, dan Cak Nun selalu dimintai solusi berbagai masalah hidup di dunia dari masalah ekonomi, masalah agama, politik, bahkan sampai masalah suporter sepakbola juga harus ditimpakan pada beliau.

Kita memang tidak bisa melihat sosok Cak Nun dari satu sudut pandang. Beliau bisa disebut seorang satrawan, tapi juga tidak salah tidak juga disebut kiai. 

Mungkin lebih mudahnya kita menyebutnya manusia ruang, karena beliau selalu bisa menempatkan dirinya di dalam setiap lingkungan dan situasi. Beliau menjadi mimbar di lingkungan agama, menjadi partai di situasi berpolitik, dan menjadi tribun stadion di lingkungan suporter sepak bola. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun