Mohon tunggu...
Leonardi Gunawan
Leonardi Gunawan Mohon Tunggu... Freelancer - Karyawan

Warga Negara Biasa Yang Ingin Indonesia Ke Piala Dunia

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Prabowo di Antara Insting Politik, Hilangnya Momentum, dan Menjadi "King Maker"

17 April 2018   21:02 Diperbarui: 18 April 2018   13:28 2781
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: Kompas.com/Wawan H Prabowo

Insting politik seorang Prabowo Subianto boleh dibilang di atas rata-rata, tetapi hal ini berlaku dalam hal dimana Prabowo melihat potensi yang ada di diri orang lain.

Bukti sudah tidak terbantahkan bahwa penilaian Prabowo tidak salah adalah bahwa Prabowo punya andil cukup besar dalam "naik kelasnya" seorang Jokowi, Ahok, Ridwan Kamil bahkan seorang Anies Basewedan tidak boleh dipungkiri bisa berdiri menjadi orang nomor satu di Jakarta karena ada campur tangan seorang Prabowo.

Prabowo bisa melihat "kebutuhan" masyarakat akan hadirnya pemimpin yang disenangi masyarakat. Dibutuhkan disini dalam arti rakyat memang ingin model pemimpin seperti itu. Dan dia dengan berani memberi kesempatan tersebut. lewat partai "miliknya" yakni Gerindra.

Tetapi yang agak disayangkan adalah bahwa insting seorang Prabowo tidak sebaik di saat dia sendiri maju sebagai penantang. Untuk kelas seorang Prabowo memang tidak mungkin bertarung lagi di kelas Bupati atau Gubernur. Menjadi seorang menteri pun rasa-rasanya Prabowo masih mikir-mikir mau menerima. Kelas Prabowo memang bertarung di Pemilihan Presiden.

Namun sejarah mencatat dari dua kali ikut kompetisi pemilihan Presiden dan Wakil Presiden rupanya kharisma dan ketampanan seorang Prabowo belum mampu memenangkan mayoritas hati rakyat Indonesia.

Pada Pemilu 2009 Prabowo maju bersama Megawati, saat itu Prabowo maju sebagai wakil Presiden. Apa hendak dikata pasangan ini akhirnya kalah dan tampuk kekuasaan kembali berada di tangan SBY untuk memerintah dua periode.

Pemilu 2014 sebenarnya adalah momentum paling tepat untuk seorang Prabowo mencalonkan menjadi Presiden. Dan tentunya banyak faktor yang mendukung hal tersebut. SBY sudah tidak lagi mencalonkan karena sudah dua periode. Sampai satu setengah tahun menjelang pemilihan umum, sebenarnya tidak ada lawan yang benar-benar ditakuti Prabowo.

Bahkan "perjanjian batu tulis pada 2004 " seakan sudah mengesahakan bahwa suara PDI P akan mendukung dirinya. Tetapi arah angin politik memang tidak bisa ditebak. Munculnya Jokowi yang notabene gubernur pilihannya sendiri membuat Prabowo harus berjuang keras.

Belum lagi PDIP yang berbalik badan tidak mengakui perjanjian batu tulis. Apa hendak dikata lewat pertarungan keras sampi ke MK, Prabowo sekali lagi gagal menjadi orang nomor satu  di negeri ini.

Lima tahun berselang tepatnya 2019 nanti, pesta demokrasi pemilihan presiden akan digelar kembali. KMP (Koalisi Merah Putih) yang mendukung total Prabowo pada 2014 sudah terpecah-pecah dengan segala kepentingan politiknya masing-masing. Tinggalah Gerindra dan PKS yang masih bersatu hati sampai sekarang ini.

Prabowo tentunya masih memiliki ambisi pribadi sampai saat ini untuk menjadi orang nomor satu Indonesia.  Secara realitas suara apabila dua partai ini bersatu jelas bahwa mereka bisa mengusung Prabowo menjadi salah satu kontestan. Tetapi ada hal lain yang rupanya masih menjadi ganjalan seorang Prabowo untuk maju kembali.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun