Mohon tunggu...
Leonardi Gunawan
Leonardi Gunawan Mohon Tunggu... Freelancer - Karyawan

Warga Negara Biasa Yang Ingin Indonesia Ke Piala Dunia

Selanjutnya

Tutup

Politik

Utak-atik Peta Koalisi Pilpres 2019

4 Maret 2018   01:39 Diperbarui: 4 Maret 2018   12:31 1899
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Pilpres 2019 memang masih setahun lagi, akan tetapi hawa panas persaingan menuju pucuk pimpinan negeri ini mulai mamanas. Partai -- partai politik yang merupakan perwakilan dari rakyat dalam mencalonkan presiden mulai memanaskan mesin partainya. Sebagian besar bahkan sudah mendeklarasikan siapa yang bakal mereka usung tahun depan. Walaupun sejauh ini nama Joko Widodo dan Prabowo Subianto masih diurutan terdepan dalam berbagai survey.

Hal yang menjadi perhatian bersama dan harus diikuti semua partai terkait aturan pencalonan pilpres2019. Bbahwa pengusungan calon presiden dan wakilnya harus minimal mendapatkan dukungan suara 20 persen suara di DPR RI pada pemilu sebelumnya, berarti yang menjadi patokan adalah pemilu 2014. Berikut ini adalah peroleh suara pada 2014 :

1. PDI Perjuangan 109 kursi dari 23.681.471 (18,95%) suara;
2. Golkar 91 kursi dari 18.432.312 (14,75%) suara;
3. Gerindra 73 kursi 14.760.371 (11,81%) suara;
4. Demokrat 61 kursi 12.728.913 (10,19%) suara;
5. Partai Amanat Nasional 49 kursi dari 9.481.621 (7,59%) suara;
6. Partai Kebangkitan Bangsa 47 kursi dari 11.298.957 (9,04%)suara;
7. Partai Keadilan Sejahtera 40 kursi dari 8.480.204 (6,79%) suara;
8. Partai Persatuan Pembangunan 39 kursi dari 8.157.488 (6,53%) suara;
9. NasDem 35 kursi dari 8.402.812 (6,72%) suara;
10. Hanura 16 kursi dari 6.579.498 (5,26%) suara.

Dari peroleh yang ada maka terlihat bahwa tidak ada satupun partai yang bisa mengusung calonnya sendiri, minimal mereka harus berkoalisi dengan satu partai lainnya, tak terkecuali PDI-P sebagai pemenang pemilu. Yang menjadi menarik adalah bagaimana menyambut pilpres 2019 ini. Aturan main sudah jelas, sekarang tinggal bagaimana strategi partai untuk merebut kekuasaan, atau paling tidak mendekati tampuk kekuasaan. Hal ini dimulai dengan membentuk koalisi yang berpeluang memenangkan pilpres.

Melihat komposisi di DPR dan melihat situasi yang berkembang saat ini maka menurut penulis nantinya akan 3 koalisi besar dalam mendukung calon presiden. Koalisi ini tentunya bergabung atas berbagai macam dasar, sejarah, kepentingan, kedekatan ideologis, serta masukan dari suara kadernya sendiri.

Sebelum jauh terkait koalisi yang bakal tersebut ada baiknya kita melihat bagaimana pola kepemimpinan partai -- partai di Indonesia. Saat ini mau tidak mau peta politik di Indonesia masih dikuasai oleh 3 orang yang menjabat sebagai ketua umum partainya masing - masing. Megawati Soekarno Putri dengan PDIP-nya, Prabowo Subianto dengan Gerindra dan Susilo Bambang Yudhoyono dengan Partai Demokrat. Maka tidak heran untuk kedepannya poros koalisi akan bermuara pada ketiga figur dan partai mereka masing -- masing. Mari kita sedikit mengutak ngatik bagaimana koalisi ini nantinya.

  • Poros PDIP. Poros ini boleh dibilang adalah representasi dari pemerintahan Jokowi saat ini. PDIP dengan Megawati sebagi Ketua Umumnya telah mendeklarasikan Jokowi kembali dicalonkan partai untuk menjadi presiden. Konsekuensinya adalah siapapun yang bergabung dengan PDIP maka maksimal yang didapat adalah kursi wakil presiden.
    Melihat persamaan ideologi dan rekam jejaknya maka yang paling berpotensial merapat adalah Partai Golkar dan juga Nasdem serta Hanura, 3 partai yang sebanarnya adalah pecahan Golongan Karya.  Partai Golkar tentunya masih sangat membutuhkan dukungan pemerintah karena saat ini kondisi partai belum sepenuhnya stabil pasca ketua umumnya bermasalah dengan hukum. Dengan jaringan dan kader tersebar di seluruh Indonesia Jokowi tentunya sangat terbantu apabila Partai Golkar berada di dalam pemerintahannya. Begitu juga Nasdem dengan Surya Paloh sebagai lokomotifnya.
    Tidak bisa membayangkan kalau pemilik Metro TV ini harus mendukung calon presiden lain selain Jokowi. Karena dari awal Surya Paloh lah yang begitu genjar mempromosikan Jokowi lewat stasiun TV miliknya. Dan yang ketiga adalah Hanura dengan Wiranto serta Oesman Sapta sebagi figurnya. Yang menjadi kendala tentunya siapa yang akan dipilih menjadi wakilnya nanti karena pastinya ketiganya akan saling ngotot. Perhitungan suara kalau mereka berempat bergabung adalah 45.68 % (18.95 +14.75 + 6.72+5.26).
  • Poros Gerindra. Prabowo Subianto tetap menjadi symbol perjuangan dan perlawanan bagi para pendukungnya, terutama bagi mereka yang kurang sreg dengan jalannya pemerintahan saat ini. Gerindra telah berhasil sukses pada pilkada 2017 di Jakarta lalu dengan memunculkan Anies Bawesdan mengalahkan petahana Basuki Cahaya Purnama (Ahok). Kemenangan ini pastinya akan berusaha kembali mereka ulang di pilpres. Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP) adalah dua partai yang paling dekat mendukung mereka.
    Kalau PKS jelas karena memang sudah rekan sejati, nah kalau PPP adalah kawan dimana mereka bahu membahu di pilpres 2014 lalu, saat Surya Dharma Ali masih menjadi Ketua Umum Partai. Hanya saja kesulitan Prabowo adalah mencari figur cawapres dari kedua partai tersebut. Para ketua umum partai baik PKS maupun PPP nampaknya belum mampu bersaing ditingkat nasional. Mencari alternatif di luar partai nampaknya akan menjadi pilihan logis apabila mereka pada akhirnya bergabung. Perhitungan suara mereka adalah 25.13 % (11.81 + 6.79 +6.53)
  • Poros Demokrat. Walaupun Susilo Bambang Yudhotono (SBY) sudah tidak menjabat lagi sebagi presiden tetapi pengaruhnya sampai sekarang masih tetap dapat dirasakan. Apalagi ditambah dengan adanya Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) disisinya sekarang, maka SBY lebih mudah memainkan strategi politiknya. AHY seakan menjadi daya taik baru bagi para pemilih, terutama bagi pemilih muda. Partai Amanat Nasional (PAN) dan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) boleh jadi masuk pertimbangan utama sebagai mitra koalisi.
    PAN dengan melihat kekerabatan antara bekas ketua umum sebelumnya yakni Hatta Rajasa dan SBY maka tidaklah sulit mencari kecocokan diantara mereka. Termasuk juga PKB yang saat ini begitu ngotot ingin mencalonkan sang ketua umum yakni Muhaimin Iskandar ( Cak Imin) menjadi Cawapres. Nah kalau pada akhirnya PKB bisa bergabung dengan Demokrat maka ada harapan bagi Cak Imim bukan saja tidak lagi diusung menjadi cawapres tapi bisa menjadi capres. Mengingat suara PKB lebih tinggi dari Demokrat.
    Duet Cak Imin dan AHY adalah bukan sesuatu yang buruk. Dua -- duanya mempunyai basis massa yang lumayan signifikan. Kalau ketiga partai ini bergabung maka suara yang didapatkan 26.82 % (10.19+7.59+9.04).

Selain itu kalau ada tiga poros yang terbentuk, maka benturan keras di dalam masyarakat seperti pilpres 2014 lalu setidaknya bisa diminimalkan, ada benturan tetapi rakyat tidak menjadi terbelah. Mungkin dalam waktu yang tidak lama lagi kita akanmelihat kemana arah partai -- paratai politik ini menentukan sikap.

Kita sebagai masyarakat juga diharapkan bisa menilai dengan lebih dewasa terkait sikap dan tindak tanduk partai politk ini. Dari apa yang mereka perbuat sebenarnya sudah terlihat apakah mereka benar -- benar memikirkan rakyat dan para pemilihnya atau kah hanya berfikir untuk bagaimana caranya merebut kekuasaan.

Kalau ternyata sikap partai tersebut jauh dari harapan dan terkesan meninggalkan rakyat maka hukumlah mereka dengan tidak memilih mereka pada pemilu 2019 nanti. Alihkan dukungan kepada partai yang benar -- benar memperjuangkan kepentingan rakyat dan serta tetap tegar mempertahankan ideologi partai.

Salam.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun