Mohon tunggu...
Haditya Endrakusuma
Haditya Endrakusuma Mohon Tunggu... Karyawan Swasta -

Equilibrium

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Kritik atas Kesimpulan Artikel “Inilah Perbedaan Qur’an Syiah dalam Foto”

3 Mei 2013   16:33 Diperbarui: 24 Juni 2015   14:11 1130
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Tulisan ini adalah merupakan rangkuman tanggapan kritis atas artikel “Inilah Perbedaan Qur’an Syiah Dalam Foto” yang ditulis oleh Bapak Harja Saputra yang dimuat di Kompasiana pada tanggal 31 Agustus 2012 (http://sosbud.kompasiana.com/2012/08/31/inilah-perbedaan-quran-syiah-dalam-foto-489868.html#4797389).

Dalam artikelnya, Bapak Harja Saputra menyatakan bahwa artikel tersebut ditujukan untuk mengcounter tulisan-tulisan di Kompasiana yang dianggap memojokkan kelompok yang dianggap sesat (syiah). Dalam hal ini, Bapak Harja Saputra menyoroti artikel Bapak Akang Jaya (http://politik.kompasiana.com/2012/08/31/akar-permasalahan-kerusuhan-sampang-3-al-qur%E2%80%99an-sekarang-ini-tidak-orisinil-telah-dirubah-usman-bin-affan/).

Dalam kritik-nya, Bapak Harja Saputra menyimpulkan bahwa tuduhan artikel Bapak Akang Jaya tersebut yang secara jelas menyatakan bahwa orang syiah menganggap al-Quran yang kini beredar di kalangan umat Islam adalah tidak lengkap,  attau dalam terminologinya “tahrif al-Qur’an” merupakan sebuah tuduhan yang salah alamat alias keliru. Bapak  Harja Saputra lantas kemudian menyodorkan dan mengkomparasikan foto-foto dokumentasi mushaf al-Qur’an syiah dan mushaf al-Qur’an Ahlul Sunnah dan menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan antara Qur’an versi Syiah dan Qur’an versi Ahlul Sunnah. Dengan Modal inilah kemudian beliau (Bapak Harja Saputra) menilai tuduhan dalam artikel Bapak Akang Jaya adalah tuduhan yang tidak mendasar.

Kami (penulis), setelah membaca dengan seksama Artikel Bapak Akang Jaya dan Artikel tanggapan dari Bapak Harja Saputra menemukan bahwa ternyata ada ke-tidak sinkronan-an (misleading) antara yang isi artikel Bapak Akang Jaya dengan tanggapan yang ditulis oleh Bapak Harja Saputra. Konsern tulisan Bapak Akang Jaya menitik beratkan pada masalah “Pandangan” atau “Pemahaman” kalangan Syiah atas konstruk Qur’an yang sekarang (Ahlul Sunnah) yang dianggap oleh kalangan Syiah tidak otentis lagi dikarenakan menurut Syiah, Qur’an yang ada (Ahlul Sunnah) tersebut telah banyak di-tahrif. Jadi permasalahannya adalah bukan pada cetakan Mushafnya. Naif-nya, dengan mengatasnamakan semangat “taqrib” Bapak Harja Saputra mensimplikasikan permasalahan dengan mengalihkan permasalahan pada masalah cetakan Mushaf, dimana dalam analogi Bapak Harja Saputra jika ada perbedaan “pemahaman”, “pandangan”, “worldview” tentu akan terjadi perbedaan cetakan Mushaf.

Padahal menurut hemat Penulis, perbedaan “pemahaman” tersebut tidaklah bisa disimplikasikan hanya dengan ada-nya persamaan Mushaf. Hal ini dapat dibuktikan dengan ada-nya realitas banyak-nya ragam perbedaan “pemahaman” yang ada dalam memandang al-Qur’an tersebut. Ada-nya “pemahaman” sekte-sekte Kalam, Filsafat, Bathiniyyah dan seterusnya semakin meneguhkan realitas tersebut, padahal semua memakai cetakan Mushaf yang sama.

Semangat “taqrib” memang syah-syah saja namun bukan lantas kemudian “buta mata” dan menafikan fakta perbedaan prinsipil yang ada. Sebab, prinsip dasar “taqrib” adalah “persamaan” dimana prinsip ini berjalan diatas semangat prinsip-prinsip keadilan, proporsionalitas dan rasional. Menyamakan hal-hal yang jelas berbeda adalah jelas melanggar semua prinsip diatas, dimana sama halnya telah menanggalkan fitrah dari kemanusiaan itu sendiri yang telah diberi keistimewaan akal yang sehat.

Berikut rangkuman-rangkuman diskusi tanggapan antara Penulis (HE) dengan Bapak Harja Saputra (HS)  mengenai permasalahan tersebut, semoga dapat bermanfaat:

HE:

Saya fikir ada kesalahfahaman disini, bukan Al Quran nya yang berbeda tapi adanya pandangan yang menjadi aksioma teologis dikalangan Syiah bahwa Mushaf al Quran itu sudah tidak asli lagi, yakni sudah banyak dirubah dan dikurangi.

HS:

Kalau syiah menganggap seperti itu, pastinya al-Qurannya beda krn secara teologis tak mengakui, buktinya al-Qurannya sama, berarti anggapan itu dgn sendirinya tertepis.

HE:

Justru itu yang menjadi absurd, aksioma keyakinan terhadap ketidak orisinilnya mushaf al Quran (mushaf utsmani) itu banyak terekam dalam kitab kitab primer kalangan Syiah sendiri. Absurdnya, nyatanya kaum Syiah masih memakai mushaf al Quran ini namun sembari menyatakan bahwa kaum Syiah tidak wajib mengimani maupun mensakralkan mushaf al Quran itu (mushaf utsmani).

HS:

Terlepas dari itu. Buktinya alQurannya sama. Masalah anggapan, kajian, buku, wacana itu sah-sah saja.

HE:

ustru itu saya nyatakan anda salah faham. Disini para Aimmah Ahlul Sunnah baik dari kalangan Mutaqoddimin sampai Muta’akhirin tidak ada yang menyatakan seperti yang anda tuduhkan. Sebab, permasalahannya bukanlah pada versi mushaf quran yang berbeda namun permasalahannya adalah pada pandangan yang menjadi aksioma teologis yang berbeda, dimana Ahlul Sunnah memandang Mushaf Quran (mushaf utsmani) itu otentis sementara Syiah memandang Mushaf tersebut tidak otentis lagi

HS:

Saya mngerti arah pembicaraan mas Haditya bukan tak mengerti.
Justru untuk menepis anggapan bahwa syiah menganggap alQuran itu tidak otentis maka lihat saja alQurannya benar atau tidak? Ini bukti riil bukan anggapan. Mau yang riil atau yang anggapan/wacana?

Kalau anggapan/wacana, kata siapa di sunni tidak ada anggapan/wacana dan hadis bahwa alquran tetap/tidak berkurang atau bertambah? Apakah harus disajikan di sini, menurut saya tidak perlu. Karena buktinya bahwa al-Quran keduanya sama dan ini yg penting.
Thx

HE:

Pak Harja,

Justru perbedaan aksioma teologis inilah yang jadi permasalahan, adalah menjadi salah kaprah untuk kemudian melarikan masalah ini dengan pembuktian bahwa tenyata al Quran nya tetap sama versinya. Seharusnya, komparasi yang tepat adalah membandingkan antar turots primer banyak bicara mengenai aksioma teologis yang kemudian menjadi basis epistema baik dikalangan Syiah dan Ahlul Sunnah, sebab hal ini ujungnya adalah permasalahan “pemahaman” dimana “pemahaman” atas otentitas Mushaf Quran itu berbeda diantara tradisi epistemologi syiah dan tradisi epistemologi sunnah.

Keotentitasan Mushaf Quran di kalangan Ahlul Sunnah itu sendiri adalah sudah ma’lum minnaddiin. Justru akan menjadi kontraproduktif jika anda menganggap bahwa dikalangan Ahlul Sunnah ada yang berpendapat bahwa mushaf Quran itu tidak otentis dengan mengandalkan kajian yang dibangun dari asumsi prematur maupun pemanipulasian atas beberapa turots ‘ulumul qur’an dikalangan Aimmah, seperti contohnya kajiannya Arthur Jeffery yang mendekonstruksi Quran lewat al Itqon nya Imam Suyuti dimana justru dalam al Itqon tersebut Imam Suyuti banyak memberikan analisa terhadap riwayat riwayat palsu mengenai ketidak otentisannya mushaf utsmani, lucunya oleh Jeffery data data mentah riwayat palsu itu malah di elaborasi dalam kajiannya sebagai sumber terpercaya. Model kajian seperti inikah yang anda jadikan sandaran untuk menyatakan bahwa di kalangan Ahlul Sunnah itu sendiri belum final menyatakan bahwa mushaf Quran itu otentis?

HS:

Mohon dibaca tulisan dari Kompasianer yang saya sanggah dalam tulisan ini. Karena bukan kesitu arah tulisan itu.

HE:

Pak Harja,

Alhamdulillaah saya sudah membacanya sejak sebelum saya menulis komen pertama kalinya pada tread ini. Justru tanggapan anda dalam tulisan anda atas pernyataan dari beberapa kompasianer yang menyatakan bahwa syiah menganggap mushaf Quran itu tidak lengkap alias tidak orisinil itu yang gak nyambung.

Jelas jelas dalam tulisan anda itu, tidak ada yang menyebut Mushaf Quran versi Syiah itu Berbeda dengan Mushaf Quran versi Ahlul Sunnah. Justru yang ada malah adanya tulisan pemahaman yang berbeda dari Syiah atas keotentisan mushaf Quran. Lucunya, anda malah menjawab tuduhan itu dengan menyodorkan perbandingan mushaf versi syiah dan sunnah. Yang dipermasalahkan kan jelas disitu yakni soal pemahaman, aksioma teologis atas mushaf Quran bukan soal versi mushaf.

HS:

Apa judul tulisan yg Mas baca klo benar sdh baca? Siapa yg menulis?
Apa maksud aksioma teologis yg dimaksud? Kalo itu aksioma teologis, teologis lho ya, berarti mensyaratkan adanya aksi. Karena teologis itu dasar. Tp liat saja outputnya, kan tdk sprti itu. Tak usah diputar2, lihat riilnya. Ini yg lucu justru. Mencari celah beda pdhl sama.

HE:

Pak Harja,

Saya ingin meremind, dalam tulisan anda diatas, jelas jelas anda menulis :

“Dalam tulisannya dengan judul yang terus terang mengatakan bahwa orang syiah menganggap al-Quran yang kini beredar di kalangan umat Islam adalah tidak lengkap. ”

Pertanyaan saya, dimana dalam tulisan itu ada kalimat yang menyatakan Mushaf Quran antara Syiah dan Ahlul Sunnah itu Berbeda?. Jelas dalam tulisan itu menyatakan adanya ANGGAPAN /PANDANGAN di kalangan Syiah bahwa mushaf Al Quran itu tidak lengkap.

Lucunya anda malah menanggapi pernyataan itu dengan menulis:

“Saya menanyakan kepada penulis artikel: apakah sudah membaca atau melihat sendiri al-Qur’an orang syiah belum? Sajikan foto-fotonya kalau benar al-Quran orang syiah beda.”

Pertanyaan saya lagi, apakah kalimat diatas ada yang menyatakan kalau al Quran orang Syiah itu Beda? Jelas jelas yang ditulis disitu yang Beda itu adalah Pandangan/anggapan orang Syiah terhadap mushaf Quran.

Seharusnya jika anda ingin menanggapi pernyataan diatas maka pertanyaan yang tepat kira kira seperti ini, “atas dasar apakah menyatakan orang Syiah itu berpandangan seperti yang dituduhkan itu, adakah buktinya?”

HS:

Mas Haditya mengerti bahasa Indonesia kan? Jawab dulu pertanyaan saya.

Mengenai yg mas ungkapkan, org syiah tdk prnah anggap al-Quran beda, makanya al-Qurannya sama. Klo disebut aksioma teologis, maka org syiah tak mgkin baca dan cetak alquran krn itu teologis. Tp buktinya ada. Itu pembuktian empiris. Tak bolehkah anggapan dijwb dgn empiris?

Karena empirisnya sama maka otomatis aksiomanya trjawab.

HE:

Kalau anda menuntut bukti empiris maka seharusnya tidak hanya menyajikan bukti versi mushafnya sendiri, sepatutnya pula menyajikan turots turots primer nya pula yang menjadi representasi pandangan teologisnya pada tradisi epistemologinya. Kerja seperti inilah yang saya kira lebih inshaf, obyektif, kaffah dalam menelisik suatu konstruk pemahaman, dibanding hanya dengan sekedar menyodorkan pernyataan simplikasi…nooh mushafnye nyatanye tetap same.

Kerja simplikasi seperti itulah jelas tidak dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah dan cenderung mengaburkan akar permasalahan utamanya. Apakah kalau ternyata mushafnya sama lantas bisa dijustifikasi bahwa ternyata pandangan syiah dan ahlul sunnah terhadap keotentisan mushaf Quran itu adalah SAMA?.

Kalau analogi ini yang anda pakai, maka pertanyaan saya adalah sejauh mana anda mempertanggungjawabkan kesimpulan itu secara ilmiah adalah benar benar valid merupakan basis aksioma teologisnya Syiah? Apa bukti anda yang mendukung kesimpulan anda itu adalah sama dengan pemahaman representatif dari Syiah sendiri ?. Kalau ini tidak dapat anda buktikan maka kesimpulan anda itu jelas termasuk kesimpulan opini asumtif belaka.

HS:

Anda ini mengejar terus statemen orang tapi tak mau jwb pertanyaan orang. Bukan cari titik temu tp cari titik beda. Ya gpp.
Thx..salam

KLARIFIKASI DARI BAPAK AKANG JAYA :

Setuju dg pak Haditya! Ini link tulisan saya yg disanggah bung Harja:

http://politik.kompasiana.com/2012/08/31/akar-permasalahan-kerusuhan-sampang-3-al-qur%E2%80%99an-sekarang-ini-tidak-orisinil-telah-dirubah-usman-bin-affan/

Sebenarnya saya malas mampir ke lapak ini, krn kalo cuma sekadar foto, saya juga bisa memperlihatkan Al-Qur’annya Islam Liberal, Islam Progresif, dan Islam2 lain sama…haha.

Namun saya tergelitik utk mengomentari tulisan ini, krn perlu ada klarifikasi. Bahwa yg mengatakan Al-Qur’an Syiah dan Sunni itu beda itu justru dari Syiah sendiri. Kitab al-Kafi, kitab rujukan Syiah paling otoritatif tertulis:

“Dari Abi Abdillah as, beliau berkata: “Sesungguhnya ayat-ayat al-Qur’an yg dibawa oleh Jibril as kepada Nabi Muhammad Shallallahu’alaihi wa sallam adalah sebanyak 17000 ayat” (al-Kafi, Juz II halaman 634).

Lalu Husein Muhammad Taqi An Nuri At Thabarsi (wafat 1320 H) menulis sebuah buku yang memaparkan, bhw Al-Qur’an telah mengalami perubahan, dan para sahabat Nabi telah menyembunyikan (tidak membukukan) sebagai dari Al-Qur’an yg diturunkan (dari Allah kepada Nabi-Nya), di antaranya adalah surat Al Wialayah.

Orang2 Syiah Rafidhah sangat memuliakan At Thabarsi ini, dg memakamkan nya di pemakaman Najaf. Bukunya ini dicetak di Iran pd 1298 H. Mereka hendak menanamkan doktrin dan keraguan tentang keabsahan Al-Qur’an yg sekarang dipercayai oleh mayoritas muslim dunia.

Buku berjudul Fashlul Khithob fi Itsbati Tahrif Kitab Rabbil Arbab ini di dlmnya disebutkan ayat2 dan surat2 yg tdk dibukukan, dihapus, dan dikurangi oleh para sahabat Nabi. Salah satu ayatnya ini:

“Wahai orang2 beriman, berimanlah kalian kepada Nabi dan kepada seorang wali yg Kami telah mengutus keduanya (Nabi Muhammad dan Ali). Keduanya akan menunjuki kalian kepada jalan yg lurus…”

Jadi, salah kalo yg dipersalahkan Sunni yg mengatakan al-Qur’an Syiah beda. Wong, pemimpinan2 Syiah sendiri yg bilang beda, piiyee??? *foto dulu ah, jepreeetttt!

HS:

Kalo malas ya jgn pak.
Itu kitab justru mengkritisi adanya tahrif al-Quran bukan membenarkan tahrif. Di dalamnya jg disebutkan bnyk hadits bukan hnya dr syiah tp jg dr sunni. Jadi jangan dipelintir sesuka hati. Pernah baca buku aslinya tidak? Tlng jwb…

HE:

Kitab yang mana yang anda maksud itu? al Kaafi nya al Kulayni atau Fashlul Khithob nya ath Thabarsi?.

Kalau yang anda maksud itu al Kaafi jelas anda salah alamat menganggap al Kaafi itu mengkritisi adanya tahrif. Begitu pula dengan Fashlul Khithob.

Justru saya sepakat dengan pak Akang, bahwa kedua kitab syiah itu tidak bicara tentang kritik terhadap tahrif itu sendiri melainkan justru banyak bicara tentang ketidak otentisan mushaf Quran riwayat para Sahabat itu sendiri menurut para proponen Syiah.

Justru pada dataran realitas, klaim adanya tahrif tersebut dapat menemukan justifikasinya karena ia memang tertulis dalam kitab-kitab tersebut. Salah satu bentuk pengurangan Al Quran, menurut Syi’ah adalah penghapusan nama ‘Ali k.w. dalam Al Quran. Misalnya adalah dalam QS. Al Ahzab: 71. Menurut riwayat al Kulayni dalam kitabnya al Kaafi, seharusnya tertulis: Wa man yuthi’i Allah wa rasuulahu (fii wilaayati ‘Aly wa al aimmah ba’dahu) faqad faaza. Oleh sebab itulah kemudian proponen Syiah menilai mushaf Quran itu tidak orisinil lagi.

Pak Harja :

Di dalamnya jg disebutkan bnyk hadits bukan hnya dr syiah tp jg dr sunni.

HE:

Permasalahannya bagaimana kualifikasi Haditsnya?. Belum kita bicara masalah kualifikasi sedang konsep-konsep ilmu hadits Syi’ah ternyata berlainan atau malah, dalam beberapa segi, berseberangan dengan konsep hadits dalam wacana keilmuan Ahlu Sunnah.

Pak Harja :

Jadi jangan dipelintir sesuka hati. Pernah baca buku aslinya tidak? Tlng jwb…

HE:

Justru pertanyaan itu selayaknya ditujukan pada anda sendiri. Sebab, kesimpulan simplikasi anda itu justru banyak berkontradiksi dengan sumber sumber primer yang reliable dengan Syiah itu sendiri. Oleh sebab itu dikomentar saya yang sebelumnya, saya banyak mengkritisi simplikasi simplakasi dan justifikasi yang anda lakukan itu.

HS:

Mengenai buku itu, sy berani berkata sprti itu karena punya bukunya. Skrg sy tanya Anda, prnah baca buku aslinya??

HE:

Alhamdulillaah jika pengakuan anda benar punya buku al Kaafi dan pernah membacanya. Sehingga sekarang semakin mudah untuk mengklarifikasikan, di Juz berapa pada Bab apa dalam buku al Kaafi tersebut yang dapat dijadikan justifikasi bagi klaim opini anda itu yang mengklaim bahwa syiah dalam hal ini memandang mushaf Quran (mushaf Utsmani) itu otentis sama seperti pemahaman Ahlul Sunnah?.

HS:

Dan, kitab al-kaafi karya al-kulayni posisinya bukan seperti shahih bukhari muslim di suni. Kitab al-Kaafi banyak hadits dhaifnya dan bnyk jg ulama syiah yg mengkritisi, jadi bkn sumber primer stlh Quran. Imam Khomeini dan Ali Khamenei sndiri sdh menfatwakan: tidak ada tahrif alQuran, makanya alQuran dicetak sama dgn yg ada d dunia sunni. Ini wali faqih yg berbicara. Bukan lg wacana.

HE:

Itu kesimpulan opini asumtif anda pribadi ataukah dari pembacaan anda atas sumber sumber primer Syiah? Kalau dari hasil pembacaan atas sumber sumber yang realiable tolong sebutkan satu nama saja dari salah satu syaikh terkemuka Syiah berikut karyanya yang menyatakan bahwa al Kaafi itu bukanlah sumber yang reliable dikalangan Syiah, seperti klaim anda diatas.

Adalah menjadi absurd bila ternyata fatwa (Khumaini, -Red)  itu sekedar menjadi kamuflase taqiyah sebab ternyata fatwa itu tidak berlaku dan berkontradiksi dengan apa yang Khumaini sendiri nyatakan dalam buku bukunya seperti dalam Kasyful Asrar maupun dalam al Hukumatul-Islamiyah.

Kerja semacam ini jelas akan menjadi kontraproduktif bagi usaha usaha taqrib itu sendiri. Kata pepatah Jawa “esok tempe sore dele” alias mencla mencle. Amat disayangkan pula kerja macam itu ditiru oleh afiliasinya di Indonesia seperti naifnya klaim bantahan IJABI yang mengaku mengharamkan segala bentuk penghinaan terhadap para Sahabat dan termasuk 3 khalifah awal serta terhadap para Istri Nabi sementara disisi lain, banyak dalam karya karya kerja mereka para aktivis IJABI tersebut yang bertentangan dengan klaim bantahan tersebut.

Apakah kerja macam ini patut di apresiasi sebagai jalan penyatuan dan kedamaian bagi kedua belah pihak secara adil?

HS:

Jawab dulu pertanyaan saya…

HE:

Alhamdulillaah saya ada 4 jilid acak buku al Kaafi ini (yakni jilid 1 Kitab al aql wal jahl, jilid 4 Kitab al-hujja, jilid 7 Kitab al-fadl al-Qur’an, dan jilid 2 Kitab fadl al-’ilm). Saya juga sedikit mencoba memahami lewat komentar telaah kritis nya dari kalangan Syiah sendiri juga yakni dari Abdul Hasan al Ghifari yang berjudul al-Kulaini wa al-Kafi.

HS:

Dan kitab Thabrasi?

HE:

Untuk ath Thabarsi, saya hanya punya an Najmuts tsaqib nya. Sedang Fashlul Khithob, saya hanya membacanya dari resensi dan komentar penjelasannya di forum Multaqo Ahlal Hadith maupun di situs al shia dan shiabooks.

HS:

Mengenai al-Kafi: Syekh Muhammad Baqir al-Majlisy yg melakukan kajian trhadap kitab al-Kafy dalam kitabnya, Mir’at al-‘Uqul. Menurutnya trdapat banyak hadits shahih dan juga dhaif di dalamnya. Setiap yg dhoif tentu tdk bs dipakai. Makanya kitab al-kaafi tdk disebut kitab shahih sprti kitab bukhari. Kulayni sendiri tdk menyebutkan bhw smw hadits di dlmnya shahih.

Kitab hadis dlm syiah tdk hanya al-kaafi tapi ada Man La Yahdhurul Faqih dan ada Al-Istibshar karya ath-Thusi.

Ttg tahrif al-Quran bnyak ulama Syiah baik yg terdahulu maupun kontemporer yg tidak meyakini tahrif  Al Quran, misalnya : Ibnu Babawaih al-Qummy, al-Syarif al-Murtadha, al-Thusy, dan termasuk Imam Khomeini.

Ulama dan pemikir Syiah Imamiyah kontemporer pun telah meyakini ‘sterilitas’ al-Qur’an dari berbagai tahrif dan bahwa ia adalah sumber tasyri’ pertama. Salah satunya misalnya yang ditunjukkan oleh Sayyid Murtadha al-Radhawy dalam bukunya al-Burhan ‘ala ‘Adam Tahrif al-Qur’an. Di sini dibahas lengkap.

HE:

Pak Harja,

Menyambung dengan pertanyaan saya di atas, memang al Kulayni sendiri pun jelas jelas dalam bukunya membagi Haditsnya menjadi beberapa tingkatan mulai dari Shahih, Hasan, Mussawaq, Qawiy sampai Dhoif (sesuai dengan konsep Hadits Syiah, dimana konsep itu berlainan dengan ahlul Sunnah). Jadi anda tidak perlu repot repot menyodorkan kajian kajian telaah dari para proponen Syiah setelahnya tentang adanya Hadits Dhoif itu.

Jadi tidak aneh jika kemudian dalam kajian Hadits di kalangan Syiah kemudian ditemukan adanya kesimpulan bahwa dalam al Kaafi, haditsnya tidak Shahih semua. Absurdnya, al Kaafi ini tetap dikategorikan sebagai salah satu Kutub al-Arba’ah bersama Man La Yahdhuruhul Faqih, At Tahdzib dan Al Istibshar. Jadi syiah memang menyatakan Kutub al Arba’ah itu tidak Shahih semua namun tidak lantas membuat reliabilitasnya turun, malah dengan kekurangannya itu dianggap sebagai kelebihan dan menjadikannya sumber paling otoratif dalam epistemologi Syiah sendiri. Semakin absurd lagi jika kita mau melongok apa yang dimaksud dengan hadits Dhoif oleh Syiah itu ternyata juga plin plan alias mencla mencle.

Realiabilitas al Kaafi sendiri juga tetap diakui oleh Muhammad Baqir al-Majlisy, Ibnu Babawaih al-Qummy, al-Syarif al-Murtadha, al-Thusy, maupun Khomeini dalam karya karya mereka yang anda sebutkan itu.

Tentu ini akan menjadi kontradiksi pula bila kita kembali melongok apa sesungguhnya pandangan syiah terhadap mushaf Quran dimana disatu sisi mereka berkampanye bahwa mushaf utsmani itu tidak ada tahrif sementara disisi lain banyak produk produk primer dan juga pandangan bagi internal mereka sendiri yang jelas tidak mengakui otentitas mushaf utsmani tersebut.

Sekali lagi, esok dele sore tempe alias mencla mencle. Apakah sikap seperti ini yang anda anjurkan untuk ditiru dan merupakan jalan kedamaian bagi syiah dan ahlul sunnah?

Giliran saya lagi sekarang, mengulang pertanyaan saya sebelumnya. jika pengakuan anda benar punya buku al Kaafi dan pernah membacanya. Sehingga sekarang semakin mudah untuk mengklarifikasikan, di Juz / jilid berapa pada Bab apa dalam buku al Kaafi tersebut yang dapat dijadikan justifikasi bagi klaim opini anda itu yang mengklaim bahwa syiah dalam hal ini memandang mushaf Quran (mushaf Utsmani) itu otentis sama seperti pemahaman Ahlul Sunnah?

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun