Mohon tunggu...
Henki Kwee
Henki Kwee Mohon Tunggu... -

Belajar memahami apa yang terjadi di sekitar dan menulis untuk berbagi pendapat.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Calon Pemimpin ala Nasakom

25 Juli 2010   03:25 Diperbarui: 26 Juni 2015   14:37 357
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

[caption id="attachment_203847" align="alignleft" width="300" caption="sumber: boncherry.com"][/caption] Hasil selancar di malam minggu menghasilkan satu cerita lagi untuk dibagikan ke kompasianer. Cerita ini tentang generasi muda yang sedang menempah diri menjadi calon pemimpin. Alkisah di salah satu universitas negri di pulau Jawa rektornya belum melantik ketua Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) yang terpilih secara demokratis mesti dengan tingkat partisipasi pemilih yang hanya 10%. Usut punya usut, salah satu alasan penundaan tersebut karena sang calon ketua BEM memiliki Indeks Prestasi dibawah 2 (dua) alias hanya satu koma sekian. Dalam bahasa mahasiswa, ini disebut dengan NaSaKom, NAsib SAtu KOMa. Yang mencerminkan adanya kesulitan akademik yang dihadapi yang bersangkutan. Tanpa bermaksud menghakimi yang bersangkutan karena bukan tidak mungkin hal ini juga banyak dijumpai pada banyak penggiat (aktifis) mahasiswa. Hal ini merupakan suatu ironi karena secara ideal ia akan mengorbankan tenaga, waktu dan pikirannya bagi teman-teman di kampusnya. Yang menjadi pertanyaan adalah mungkinkah ia dapat berbuat yang terbaik bagi orang lain apabila untuk masa depan dan kewajiban pada orang tuanya sendiri ia belum berhasil membuktikannya? Dari hasil yang ada, ia lalai memenuhi kewajiban akademik yg dapat berpengaruh pada masa depannya karena suka atau tidak pada saat pertama kali melamar kerja, perusahaan tidak punya banyak hal untuk menentukan kriteria seleksi utama selain Indeks Prestasi akademik. Sampai saat ini IP masih dianggap mewakili intelegensi dan kerja keras selama menempuh pendidikan. Terhadap orang tua yang membiayai, ia lalai memenuhi tanggung jawabnya karena dengan IP yang demikian sudah dipastikan masa studinya akan lebih lama dari kebanyakan rekan-rekannya. Bisa dikatakan ia tidak menghargai pengorban orang tuanya sendiri. Saya hanya  berharap hal ini hanyalah satu kasus kecil saja, bukan suatu fenomena. Jika ini merupakan suatu fenomena, sungguh memprihatinkan bila negri ini akan mendapat pemimpin seperti itu. Menjadi seorang aktifis sunggu suatu keputusan mulia dibandingkan dengan rekan-rekan lain yg datang ke kampus hanya untuk kuliah dan ujian tanpa pernah merasakan kehidupan kampus yang sesungguhnya. Tetapi cita-cita menjadi pemimpin tidak cukup hanya bermodal kemampuan orasi dan menggalang masa, perlu juga menjaga kualitas intelektual agar menjadi pemimpin yang selalu memiliki niat untuk belajar. Untuk hal ini, kita perlu membaca biografi pemimpin dari negara maju. Umumnya mereka adalah mahasiswa terbaik dan aktif dalam kegiatan di kampus masing-masing. Popularitas secara akademik digabung dengan kemampuan berorganisasi dan ditempah dengan pengalaman panjang di dunia politik dapat menghantarkan mereka menjadi pemimpin kelas dunia. Memang kita bisa mendebat bahwa Indonesia berbeda dengan negara lain tapi kita juga tidak boleh lupa bahwa ada nilai-nilai universal dalam menentukan kriteria pemimpin. Memang sulit menjadi yang ideal jika sudah menjadi tuntutan jaman maka tidak ada yang bisa dilakukan selain berusaha secara maksimal menuju yang ideal. Semoga mereka dapat lebih bijak dalam mempersiapkan diri dan menentukan peran yang akan diambil dalam kehidupan di masyarakat. Salam,

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun