Karya: Gutamining Saida
Hari Selasa tanggal 24 Desember adalah hari libur kedua dalam minggu ini.  Uut  memulai pagi dengan sibuk mempersiapkan sarapan untuk suami, anak dan cucu. Sejak subuh, dapur sudah ramai oleh suara wajan dan panci. Uut memasak menu sederhana tapi penuh cinta nasi goreng.
Pukul 08.15 WIB sarapan sudah selesai disiapkan. Suami, anak serta cucu  mulai menikmatinya. Setelah memastikan mereka sudah makan. Uut baru teringat pada ponsel yang sejak pagi diletakkan begitu saja di meja. Uut meraihnya dengan santai, membayangkan tidak ada pesan masuk. Hari Minggu biasanya sepi.
Begitu membuka layar, pandangan Uut langsung tertuju pesan dari Bu Endang. Dia teman mengajar satu sekolah. Pesan itu pendek satu kalimat, tapi sukses membuat hati uut berdebar.
"Jam berapa takziah?" tulisnya.
Pikiran Uut langsung berputar. Takziah? Siapa yang meninggal? Uut tidak mendengar kabar apa pun sebelumnya. Perasaan penasaran bercampur khawatir membuatnya tak bisa menunggu lama untuk mendapatkan jawaban. Tanpa pikir Panjang ia langsung menekan ikon panggilan dan menelepon Bu Endang.
Begitu panggilan tersambung, suara Bu Endang terdengar sedih. "Suaminya Bu Sur meninggal tadi pagi." katanya dengan nada berat.
Uut terdiam mencoba mencerna informasi yang baru saja didengar. Bu Sur adalah rekan mengajar Uut. Hari sebelumnya kami baru saja menjalani piket bersama di hari pertama libur. Bu Sur tampak biasa saja. Ia tidak ada tanda-tanda kesedihan atau cerita tentang masalah kesehatan suaminya.
"Sakit apa?" tanya Uut.
"Kesetrum listrik, Bu." jelas Bu Endang.
Perasaan Uut bercampur aduk antara kaget, sedih, dan merenung. Betapa hidup ini begitu rapuh dan tidak terduga. Bu Sur yang kemarin masih tersenyum dan berbincang dengan teman-teman. Â Hari ini harus menghadapi kenyataan pahit ditinggalkan oleh suami tercinta.