Karya : Gutamining Saida
Usia 55 tahun adalah sebuah fase kehidupan yang penuh perenungan. Fase di mana saya menyadari betapa waktu berlalu begitu cepat. Anak-anak kini telah dewasa, beranjak meniti jalan hidup mereka sendiri. Suami, partner hidup saya tetap setia, menjadi tempat berbagi suka dan duka. Namun, pada usia ini pula, saya dihadapkan pada ujian yang tak pernah terbayangkan sebelumnya yaitu sakit tulang yang membuat hari-hari penuh keterbatasan.
Sebenarnya, sakit ini bukanlah sesuatu yang tiba-tiba muncul. Puluhan tahun yang lalu, saya sudah merasakan gejala-gejala kecil yang seharusnya menjadi peringatan. Ada rasa nyeri yang datang sesekali di punggung atau lutut setelah hari yang panjang. Namun, saya abaikan semuanya. Bukan karena tidak peduli, melainkan karena sibuknya rutinitas sehari-hari.
Saat itu, hidup saya penuh dengan perjuangan. Bangun pagi-pagi sekali, menyiapkan anak-anak untuk sekolah, kemudian bekerja keras siang malam demi memenuhi kebutuhan keluarga. Ada saat-saat di mana saya hampir tidak punya waktu untuk beristirahat. Waktu itu, tugas saya adalah memastikan semua kebutuhan anak-anak terpenuhi meliputi biaya sekolah, buku-buku pelajaran, seragam, dan segala hal lain yang diperlukan.
Namun di tengah kesibukan saya mengabaikan diri sendiri. Ibadah hanya saya lakukan sekadar untuk menggugurkan kewajiban. Shalat sering saya lakukan dengan terburu-buru, tanpa benar-benar khusyuk. Membaca Al-Qur'an hanya sempat saya lakukan ketika ada waktu luang waktu yang hampir tidak pernah ada.
Kini di usia saya yang ke-55, sakit itu akhirnya datang menghampiri dengan lebih jelas. Tulang-tulang terasa rapuh, seakan-akan memprotes atas perlakuan saya selama ini. Rasa nyeri itu semakin sering muncul, membuat sulit untuk bergerak bebas. Pergi ke dokter, menjalani pemeriksaan, dan mendengar diagnosis dokter menjadi sebuah momen yang membuka mata.
Dokter menjelaskan bahwa sakit tulang yang saya alami adalah akibat dari akumulasi kebiasaan buruk selama bertahun-tahun. Kurangnya istirahat, pola makan yang tidak sehat, dan kurangnya perhatian pada kesehatan tubuh saya sendiri adalah penyebab utamanya. Namun, saya tidak melihat ini sebagai sebuah musibah semata. Sebaliknya, saya melihatnya sebagai teguran dari Allah Subhanahu Wata'ala.
Allah Subhanahu Wata'ala memberikan ujian ini di waktu yang tepat. Allah Subhanahu Wata'ala tahu bahwa saya kini tidak lagi disibukkan oleh perjuangan mencari rezeki untuk anak-anak. Anak-anak sudah mandiri, dan kebutuhan keluarga kini bisa terpenuhi dari gaji suami yang cukup untuk kebutuhan sehari-hari. Allah Subhanahu Wata'ala ingin saya berhenti sejenak, merenung, dan mendekat kepada-Nya.
Ujian ini membawa saya pada sebuah kesadaran mendalam bahwa selama ini saya terlalu sibuk mengejar dunia dan melupakan akhirat. Allah Subhanahu Wata'ala ingin saya kembali kepada-Nya, bukan hanya sekadar menjalankan ibadah sebagai rutinitas, tetapi dengan sepenuh hati.
Kini saya tidak perlu lagi berjuang siang malam seperti dulu. Tidak ada lagi jadwal yang penuh sesak dengan pekerjaan. Sebaliknya hari-hari saya kini lebih banyak diisi dengan kegiatan ibadah. Saya lebih banyak menghabiskan waktu membaca buku, berdzikir, dan merenungkan kebesaran Allah.