Mohon tunggu...
Gustika Jusuf-Hatta
Gustika Jusuf-Hatta Mohon Tunggu... Mahasiswi -

22 tahun. Mahasiswi S1 jurusan Studi Perang di King's College London, Inggris. Tertarik pada isu gender dan peran wanita dalam perang, juga hukum perlindungan seni budaya dalam konflik bersenjata.

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Menjadi Duta Besar di Negara Kecil

31 Juli 2016   11:44 Diperbarui: 4 April 2017   17:51 38005
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Headline berita The Fiji Times tanggal 5 Mei 2016

Beberapa hari yang lalu terjadi perombakan dalam Kabinet Kerja Presiden Joko Widodo yang menyingkirkan beberapa nama dari pemerintahan, termasuk nama Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (MenPAN RB), Prof. Dr. Yuddy Chrisnandi yang akhirnya melontarkan pernyataan yang argumentatif. Katanya, setelah ini ia tidak menginginkan jabatan, melainkan ingin menjadi Duta Besar di negara kecil saja, agar bisa mengajar dan memiliki waktu untuk menulis. 

Terlahir dalam sebuah keluarga diplomat, sejak kecil saya sudah mengamati cara kerja dunia diplomasi yang berseluk-beluk. Pernyataan konyol yang datang dari seseorang yang harusnya terpelajar membuat saya merasa risih untuk tinggal diam. Bagi saya, pernyataan tersebut adalah sebuah penghinaan kepada institusi kita, yaitu Negara Kesatuan Republik Indonesia. Menjadi diplomat sama sekali bukan hal yang mudah, dan bukan pula sebuah pekerjaan yang isinya hanya bersantai. Mempertahankan kehormatan dan kehadiran Indonesia di luar negeri adalah hal yang membutuhkan strategi matang, perencanaan, dan visi yang kuat.

Yang tidak disadari oleh banyak orang adalah, mengemban tugas duta besar di negara kecil terkadang lebih berat dibanding mengemban tugas duta besar di negara besar. Di negara-negara besar dalam artian ‘negara maju’, rata-rata sistem kerja unilateral, bilateral, maupun multilateral negara tersebut biasanya sudah tertata dengan baik. Namun, di negara-negara kecil, sering kali sistem ini belum tertata, sehingga membuat pekerjaan duta besar kita menjadi lebih rumit. Memang, pendapat banyak orang adalah jika ditempatkan di negara kecil, tugasnya harusnya tidak banyak. Akan tetapi, asumsi tersebut sering kali sangat jauh dari kenyataan.

Kebetulan, saat ini ayah saya, Gary Rachman Makmun Jusuf, seorang diplomat karir, sedang menjalankan tugas sebagai Duta Besar Republik Indonesia untuk Republik Kepulauan Fiji, sebuah negara kecil berukuran 18.274 Km persegi di kawasan Pasifik yang hanya memiliki sekitar 900.000 penduduk. Sebelumnya, saya belum pernah merasa sebangga ini terhadap Ayah, walaupun dulunya beliau pernah menjalankan tugas di negara-negara yang notabene besar seperti Jepang, Korea Selatan dan Australia, dan juga menjalankan tugas multilateral di Perwakilan Tetap Republik Indonesia kepada Perserikatan Bangsa-Bangsa (PTRI) di New York, Amerika Serikat. Bukan karena jabatannya, melainkan karena tanggung jawab yang ia pegang menurut saya sangat keren. Mengapa?

Dalam tugas ini, mau tidak mau, Ayah menjadi salah satu yang terdepan dalam menjaga kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia di kancah internasional. Bulan Juni lalu di Honiara, Kepulauan Solomon, Delegasi Republik Indonesia berperan dalam menggagalkan usaha dari United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) menjadi anggota penuh dari Melanesian Spearhead Group (MSG) dalam 20th Melanesian Separhead Group Leaders’ Summit.

Untuk memudahkan pengertian, MSG adalah “ASEAN-nya” kawasan Pasifik. Tanpa dukungan dari negara-negara sahabat seperti Fiji yang sebenarnya hanya berukuran kecil, kemungkinan kini Papua telah menjadi satu langkah lebih maju untuk berpisah dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. 

Atas usaha para diplomat kita dalam Delri, yakni diantara lain Duta Besar Desra Percaya yang menjadi ketua Delri, dan juga Ayah, malah Indonesia berhasil menajadi associate member dari MSG, di mana Indonesia secara resmi mewakili Papua dan 4 provinsi berpenduduk Melanesia lainnya dalam aliansi tersebut. 

Walaupun secara geografis Indonesia terletak di benua Asia, sering kali orang Indonesia sendiri lupa bahwa negaranya terdiri dari begitu banyak suku, termasuk suku Melanesia. Maka dari itu menjadi anggota dari MSG adalah sebuah milestone yang sangatlah penting untuk memperjuangkan hak asasi dari setiap warga negara Indonesia secara merata. Jadi, ibaratnya, memiliki kantor perwakilan RI di negara kecil seperti Fiji, salah satu tugasnya adalah untuk menjaga “pagar belakang rumah” kita.

Dengan usaha Ayah pula, kini hadir 100 anggota Korps Zeni Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat di Fiji yang bertugas untuk membantu pembangunan pasca Topan Winston, angin topan berkecepatan 285 Km/jam yang dampaknya mencapai kerugian hingga US$ 1,4 triliun, termahal sepanjang sejarah. Indonesia memiliki empati yang besar apabila negara sahabat yang serumpun dan dekat dengan wilayah negara kita mengalami bencana nasional. 

Kehadiran Indonesia di Kepulauan Fiji disambut dengan sangat baik oleh penduduknya. Bahkan, dari beberapa negara yang menawarkan bantuannya, Indonesia satu-satunya yang diberikan kepercayaan membangun kembali Queen Victoria School, sebuah sekolah unggulan yang sejak dulu mencetak pemimpin-pemimpin Fiji. Selain dari pemerintah, upaya bantuan Indonesia sangat dihargai oleh penduduk Fiji, sehingga menjadi headline di beberapa media utama di Fiji, antara lain The Fiji Times dan Fiji Sun. Opini positif di satu negara kecil dapat mempengaruhi kehadiran Indonesia di seluruh kawasan.

Ayah bersama anggota Korps Zeni TNI AD, Juni 2016
Ayah bersama anggota Korps Zeni TNI AD, Juni 2016

Hal-hal kecil yang mungkin dianggap sepele dan nyaris tidak terdengar di telinga kita seperti misalnya upaya mengajari penduduk negara kecil ini cara memanjat pohon kelapa (ya, betul, ternyata mereka tidak tahu caranya), disambut dengan penuh gembira oleh rakyat Fiji, sehingga Indonesia selalu dipandang dengan penuh hormat. Ditambah lagi, sudah beberapa tahun silam, Kepolisian Fiji memilih menggunakan rompi polisi buatan Indonesia dibanding buatan negara lain termasuk Australia, dikarenakan kualitasnya yang dipercaya dan harganya yang terjangkau.

Sebelumnya pada tahun 2014, Indonesia juga menjadi 1 dari 4 negara yang mengulurkan tangan kepada Republik Kepulauan Fiji dalam membantu proses demokratisasi, yaitu dengan menjadi penasehat dari negara tersebut untuk kelancaran dan transparansi pelaksanaan pemilu pertama dalam sejarahnya setelah terjadinya kudeta pada tahun 2006. 

Tentunya, dibutuhkan seorang duta besar untuk menjembatani dan memperbarui jalinan komunikasi dan kerjasama yang baik antara dua negara yang lebih dari sekedar di atas kertas saja. Tanpa kreatifitas seorang duta besar yang memiliki niat bekerja dalam memimpin perwakilan, Indonesia tidak bisa melangkah maju sebagai negara yang berpengaruh.

Hasilnya, saat ini kehadiran Indonesia di Fiji bisa dibilang lebih unggul dibandingkan Australia dan Selandia Baru. Selain itu, atas usaha dan perjuangan keras para diplomat di negara kecil ini, kehadiran grup separatis Organisasi Papua Merdeka juga menjadi teredam. Oleh karena itu, bukan rahasia lagi bahwa negara besar seperti Australia dan Selandia Baru jadi agak merasa terintimidasi dengan kekuatan Indonesia di Pasifik, sehingga selain menjadi perbincangan antara para diplomat asing di kawasan Pasifik, juga dibahas dalam jurnal akademik (lihat tautan ini).

Duta besar bukan sekedar hadiah semata yang diberikan kepada seorang mantan pejabat negara yang sudah tidak lagi memiliki peran dalam struktur pemerintahan agar mereka bisa mendapatkan pengalaman bermukim di luar negeri. Duta besar adalah pejabat negara yang diamanatkan langsung oleh presiden untuk membawa misi Indonesia ke luar negeri, di mana ada obyektif tertentu yang harus dicapai sesuai target, di mana taruhannya adalah kehormatan dan martabat Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai negara yang berdaulat penuh. 

Seorang duta besar baru akan mewariskan 'tongkat estafet' dari perjuangan duta besar yang sebelumnya, di mana harus dikembangkan terus sebelum nantinya diteruskan lagi kepada duta besar yang berikutnya. Indonesia tidak akan membuka perwakilan di negara besar maupun kecil jika tidak memiliki sebuah misi.

Pernyataan dari seorang Guru Besar seperti Prof. Dr. Yuddy Chrisnandi yang secara keliru menggampangkan tugas duta besar, menandakan bahwa ia sama sekali belum siap mengemban amanat dan tanggung jawab dari tugas seorang duta besar. Secara pribadi, saya pun jadi mempertanyakan etika kerja dan integritas yang ia miliki. 

Seorang duta besar yang berkomitmen penuh tidak akan mungkin memiliki waktu mengajar, melainkan hanya sesekali menulis artikel-artikel pendek dalam jurnal atau media. Sesekali, seorang duta besar dapat hadir sebagai narasumber di universitas dalam acara-acara tertentu, namun selaku duta besar, opini yang diberikan tidak boleh mewakili dirinya sendiri, melainkan mewakili sikap yang dimiliki Indonesia dalam hal tersebut.

Duta besar tidak bisa disamakan seperti partai politik di mana salah satu dari banyak fungsinya adalah sebagai kendaraan untuk memenuhi ambisi segelintir orang. Intinya, dunia diplomasi jauh berbeda dari ekspektasi kebanyakan orang yang menurutnya seperti apa yang terjadi pada serial TV Gossip Girl, misalnya. Yang terpenting, seorang duta besar tidak memiliki ruang untuk membuat polemik dari kesalahan kata seperti contohnya pernyataan Prof. Dr. Yuddy Chrisnandi tersebut, karena selain bisa berujung fatal, di situ-lah letak dari seni diplomasi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun