Mohon tunggu...
Gustaaf Kusno
Gustaaf Kusno Mohon Tunggu... profesional -

A language lover, but not a linguist; a music lover, but not a musician; a beauty lover, but not a beautician; a joke lover, but not a joker ! Married with two children, currently reside in Palembang.

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Usulan kepada Kompasiana yang Tak Mungkin Diluluskan

1 Desember 2013   13:23 Diperbarui: 24 Juni 2015   04:27 207
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saya punya usulan kepada Kompasiana, tapi saya yakin usul ini tidak akan diluluskan, bahkan dipertimbangkan juga tidak. To the point saja, saya mengusulkan agar predikat HL (Headline), Highlight, Trending Articles, Featured Article, dan segala “Ter” lain (Teraktual, Inspiratif, Bermanfaat, Menarik) dihapuskan. Bukan cuma itu, saya juga menyarankan agar counter (penghitung) kunjungan pada postingan atau jumlah readership (orang yang membaca postingan) dihilangkan saja.

Alasan saya, semua yang disebutkan di atas menjadi sumber (untuk tidak mengatakan ’biang’) kegaduhan, kegalauan, kedengkian, kemurkaan banyak pihak. Ambil contoh, masalah HL, selalu ada komplain tentang postingan yang tidak layak diberi kehormatan bertengger di HL, ada gerutu orang yang itu-itu saja yang di-HL-kan, jadi ada pilih kasih atau peng-anakemas-an. Tetapi above all, HL itu sendiri membuat orang menjadi ’iri’, terlepas dari objektivitas atau subjektivitas dari kritikan yang terlontar. Jadi, orang yang tidak bersuara (silent majority) bukan berarti tidak kecewa dengan privilege HL yang diberikan kepada seseorang.

Bukan hanya fitur HL yang menjadi sumber ketidakpuasan, tetapi juga Trending Article yang konon didasarkan secara empiris atas banyaknya klik pada postingan dalam jam pertama diunggah. Tuduhan adanya akal licik menggunakan kloningan sehingga otomatis masuk Trending Article, sering terlontar meskipun memang tanpa bukti. Ini menyiratkan bahwa ada perasaan iri pada ’arus bawah’ baik oleh pihak yang bersuara maupun yang diam. Singkatnya, semua orang ingin tulisannya masuk HL, Trending Article, Highlight, yang mana jelas tak mungkin dapat diakomodir oleh admin.

Hal lain yang barangkali kurang dianggap penting oleh admin adalah jumlah visitor yang membuka tulisan yang sudah di-publish. Buat penulis, jumlah orang yang membaca tulisannya, diakui atau (malu-malu) tidak diakui, sangat mempengaruhi ego dan spirit untuk terus menulis. Bayangkan kalau seseorang mem-publish sebuah tulisan dan ternyata cuma dibaca oleh 6 orang misalnya. It will break his/her heart alias bikin dia patah semangat dan patah arang. Ini yang terjadi belum lama ini, pada saat terjadi upgrading versi mobile yang baru, ternyata terjadi penurunan yang amat drastis dari catatan readership. Penulis frustasi dengan ‘ngamuk’ tanpa jelas harus marah kepada siapa.

Atas pertimbangan inilah, saya mengusulkan agar segala fitur ‘unggulan’ ini dihapuskan saja. Semua kompasianer mendapat perlakuan sama rata dan sama rasa. Juga kompasianer tak perlu galau bila cuma dibaca oleh segelintir orang, karena tidak ada catatan jumlah pembaca di situ. Seperti yang saya katakan di awal tulisan, usul ini pasti tidak akan dikabulkan oleh manajemen Kompasiana. Saya merasa seperti John Lennon yang menyanyikan lagu “Imagine”. Dia berkata seandainya tidak ada agama di dunia ini, tidak ada negara di dunia ini, pastilah manusia hidup damai dan tenteram. Inilah kutipannya Imagine there's no countries. It isn't hard to do. Nothing to kill or die for. And no religion too. Imagine all the people. Living life in peace.

Pada bait berikutnya dia berkata “Kau boleh katakan aku seorang pemimpi di siang hari bolong. Tapi aku tidak sendiri. Aku berharap engkau juga bergabung pada suatu saat kelak. Aslinya adalah You may say I'm a dreamer. But I'm not the only one. I hope someday you'll join us. Hei, apa relevansi usulan saya dengan impian besar John Lennon, saya tiba-tiba tersadar dari ngelindur. Lagian ‘sembrono’ dan ‘takabur’ sekali menyamakan diri sendiri dengan tokoh John Lennon, dengan analogi ini. Ora nggrayangi jitok kata pepatah Jawa, yang maknanya ‘tidak tahu diri’. Yah, betapa pun absurdnya tulisan ini, saya anggap sebagai buah pikiran yang mudah-mudahan membawa kebaikan bagi kita semua. Komen dan saran sahabat kompasianers sangat saya harapkan.

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun