Mohon tunggu...
Gustaaf Kusno
Gustaaf Kusno Mohon Tunggu... profesional -

A language lover, but not a linguist; a music lover, but not a musician; a beauty lover, but not a beautician; a joke lover, but not a joker ! Married with two children, currently reside in Palembang.

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup Artikel Utama

Keresek Berbayar Akan Mengalami Nasib "Cobra Effect"

23 Januari 2016   14:52 Diperbarui: 25 Januari 2016   08:30 2089
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hari-hari belakangan ini, kita membaca berita tentang rencana pemerintah untuk memberlakukan “kantong keresek berbayar” di tempat-tempat pembelanjaan ritel. Artinya, kalau selama ini kita mendapat kantong keresek gratis untuk barang belanjaan kita, maka selanjutnya untuk kantung keresek ini kita dikenakan beaya 500 rupiah. Tujuannya adalah untuk mengurangi timbunan sampah plastik yang merupakan ancaman serius lingkungan hidup.

Dengan diharuskannya pembelanja membayar ongkos kantong keresek ini, diharapkan mereka membawa kantong berbahan kain dari rumah sebagai wadah belanjaan mereka. Dan dengan kampanye ini maka diharapkan ke depan, polusi kantong plastik ini akan berkurang banyak. Nominal 500 rupiah ini oleh Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) dianggap kurang gregetnya dan diusulkan untuk dinaikkan menjadi 5.000 rupiah.

Apakah kampanye keresek berbayar ini akan sukses sesuai dengan tujuannya? Saya terus terang sangat skeptis berkaca pada “ciri khas” orang Indonesia yang banyak akalnya. Waktu di DKI Jakarta diberlakukan kawasan jalan “3 in 1” (hanya kendaraan yang berpenumpang sekurangnya 3 orang yang boleh melewati jalan tersebut), maka tak lama kemudian muncullah “joki 3 in 1” yaitu orang-orang yang berbaris di tepi jalan menawarkan jasanya menjadi penumpang dadakan guna melengkapi jumlah penumpang tiga orang. Jadi tujuan semula untuk mengurangi kepadatan kendaraan yang menyebabkan kemacetan kronis tidak tercapai.

Di negara-negara maju, ini dinamakan dengan “carpool” artinya tetangga atau rekan kerja yang sejurusan dengan rute mobil kita ajak bersama-sama dalam satu mobil. Dengan demikian, maka jumlah mobil yang turun ke jalan dalam kurun waktu bersamaan akan jauh berkurang. Namun, apa yang terjadi dengan kebijakan “3 in 1” di Indonesia ini adalah contoh dari fenomena yang dinamakan dengan “Cobra effect”. Singkat makna, kebijakan yang berniat bagus ini malah kontra-produktif.

Sebutan “cobra effect” ini bermula dari anekdot zaman pemerintahan kolonial Inggris di India. Saat itu, pemerintah prihatin akan banyaknya ular kobra berbisa yang berkeliaran di kota Delhi. Untuk itu, pemerintah memberikan insentif uang kepada setiap orang yang menyerahkan bangkai ular. Mula-mula, kebijakan ini menampakkan hasil yang cukup menggembirakan.

Namun selanjutnya, orang-orang yang panjang akalnya, mulai menangkar dan menernakkan ular kobra ini dengan harapan akan lebih banyak memperoleh insentif uang dari pemerintah. Setelah pemerintah kolonial menyadari tipu muslihat ini, maka kebijakan insentif uang ini dihentikan. Para penangkar ular begitu mengetahui bahwa ularnya tidak ada nilainya lagi, maka ular yang begitu banyaknya dilepasliarkan di seantero kota.

Akhirnya, tujuan untuk mengurangi jumlah populasi ular berbisa, malah berbalik arah justru menambah jumlah ular di kota. Inilah yang disebut dengan “cobra effect”.

Contoh yang lebih nyata dari cobra effect adalah kampanye pemberantasan tikus di kota Hanoi, Vietnam di zaman penjajahan Perancis. Untuk itu pemerintah menjanjikan insentif uang untuk setiap orang yang menyerahkan ekor tikus yang sudah dipotong. Tak begitu lama, penguasa kolonial memperhatikan banyak sekali tikus-tikus yang berkeliaran tanpa ekor.

Rupanya para pemburu tikus, hanya memotong ekor si tikus, dan kemudian melepaskannya kembali ke habitatnya di dalam got untuk beranak-pinak dan diharapkan akan menambah jumlah populasi tikus yang bisa ditangkap dan menghasilkan uang. Singkat cerita, bukannya berkurang jumlah tikusnya, malah bertambah banyak dengan kebijakan ini.

Inilah yang saya khawatirkan dengan kebijakan keresek berbayar ini. Karena pembelanja harus mengeluarkan uang 500 perak dari koceknya di mal-mal, maka nanti akan banyak pengasong yang berjualan kantong keresek di pintu masuk mal dengan harga melawan misalnya hanya 50 atau 100 perak per keresek. Kalau ini yang terjadi, pemakaian kantong plastik bukannya akan menurun, malah jangan-jangan akan meningkat.

Belum lagi ada usulan dari Kementerian LHK, bahwa dari nominal 500 rupiah ini, maka 200 rupiah akan dikembalikan kepada konsumen apabila dia bersedia mengembalikan keresek tersebut kepada toko ybs. Ini saya anggap loophole (celah) orang untuk menangguk ikan di air keruh dengan menjual keresek yang dibelinya dengan harga satuan 50 rupiah misalnya kepada toko dengan harga 200 rupiah. Maklum orang Indonesia memang panjang akalnya dan selalu memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan. Alhasil, yang terjadi adalah “cobra effect”.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun