Mohon tunggu...
Gustaaf Kusno
Gustaaf Kusno Mohon Tunggu... profesional -

A language lover, but not a linguist; a music lover, but not a musician; a beauty lover, but not a beautician; a joke lover, but not a joker ! Married with two children, currently reside in Palembang.

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Kasus Fadli Zon, Pentingkah?

29 Juni 2016   10:49 Diperbarui: 29 Juni 2016   11:01 650
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Media. Sumber ilustrasi: PIXABAY/Free-photos

Jagad media sosial dalam beberapa hari ini diramaikan dengan kasus Wakil Ketua DPR-RI yang meminta fasilitas penjemputan dan pendampingan bagi putrinya (18 tahun) yang berkunjung ke New York, AS, kepada KJRI New York. Entah bagaimana ceritanya, surat berkop DPR-RI ditujukan kepada KJRI yang memohon fasilitas penjemputan dan pendampingan ini bisa bocor dan langsung menyebar di dunia maya.

Dan seperti yang diperdugakan, segala sumpah serapah dan perundungan (bullying) langsung menghujani Fadli Zon, karena tokoh ini memang banyak musuh politiknya. Bukan Fadli Zon namanya kalau dia tidak mengadakan perlawanan. Dia merilis statement yang membantah sebagian besar isu “papa minta jemput”. 

Bukan hanya itu saja, ia pun membuat surat resmi berkop DPR-RI kepada Ibu Retno Marsudi, Menteri Luar Negeri RI yang intinya melampirkan uang dua juta rupiah sebagai pengganti uang bensin + tip supir KJRI yang sudah menjemput putrinya. Disertai dengan permintaan kepada Ibu Menlu untuk menyampaikan uang tersebut kepada KJRI.

Sebenarnya kasus minta fasilitas negara untuk urusan pribadi bukan barang baru lagi. Dia sudah menjadi rahasia umum. Kasus Fadli Zon ini menjadi besar karena jelas ada muatan politiknya. Dan memang tambah asyik karena digoreng dengan segala bumbu “framing” yang belakangan ini menjadi tren. Dibandingkan dengan isu kasus vaksin palsu, sebetulnya kasus Fadli Zon hanyalah seujung kuku jari kelingking. Namun, di balik semuanya itu, saya pikir ada hikmah yang bisa dipetik.

Sebelum kasus Fadli Zon mengemuka, sudah ada “skandal” serupa yang terungkap. Akhir Maret lalu, juga ada surat resmi kepada KJRI Sydney, Australia meminta akomodasi dan transportasi bagi anggota DPRD Jakarta dari Partai Hanura, Wahyu Dewanto beserta keluarganya yang berkunjung ke Australia. Juga ada surat resmi kepada Kedutaan RI di Paris pada 18 Maret 2016 untuk memberikan akomodasi dan transportasi kepada anggota DPR dari Partai Gerindra, Rachel Maryam beserta keluarganya yang berlibur di Paris, 20 sampai 24 Maret 2016. Dan pasti masih banyak lagi surat permintaan fasilitas negara untuk keperluan pribadi semacam ini yang tidak sempat terekspos.

Pejabat yang mengadakan kunjungan di dalam negeri atau ke luar negeri, baik secara kedinasan maupun pribadi sudah ada SOP (Standard Operating Procedure)-nya. Tetapi pada prakteknya, hampir seluruhnya dilanggar. Contohnya, tim inspektorat (pengawasan pemeriksaan) seperti BPK dsb, manakala mengadakan kunjungan ke daerah-daerah, selalu menuntut akomodasi (penginapan), transportasi, entertainment ditanggung oleh “tuan rumah” daerah ybs. 

Padahal, mereka sudah mendapatkan lump sum, uang hotel, uang pesawat dan sebagainya. Apakah daerah yang akan diperiksa dan diaudit berani menolak segala permintaan fasilitas yang sebenarnya tidak pada tempatnya ini? Jangan coba-coba, kalau tidak ingin mendapat vonis temuan yang bikin shock, misalnya seperti pada kasus Sumber Waras yang diperintahkan mengembalikan uang 191 miliar rupiah. 

Tim inspektorat ini jumlahnya cukup banyak (bisa 8 sampai 10 orang), durasinya cukup lama (dalam surat tugasnya tertulis bisa sampai 6 hari), dan tinggal dikalikan saja berapa dana yang harus dikeluarkan oleh daerah menampung mereka ini. Dan tidak jarang pula, tim inspektorat ini secara tersirat meminta dibelikan tiket pesawat pulang kembali ke Jakarta.

Bukan cuma pejabat inspektorat yang “menodong” daerah untuk menyediakan fasilitas akomodasi, transportasi dan konsumsi. Pejabat-pejabat pusat dari eksekutif maupun legislatif, entah dalam rangka tugas kedinasan atau pun urusan pribadi selalu menuntut untuk dilayani oleh eselon di bawahnya. Dan atas nama unggah-ungguh dan ewuh pakewuh, eselon bawahan akan melayaninya, meskipun dalam hati menggerundel karena sebenarnya itu memang bukan tugas mereka. 

Untuk Anda yang tidak berkecimpung di dunia birokrasi, saya perlu menggambarkan betapa “rekoso”-nya melayani pejabat-pejabat yang dimuliakan ini. Pertama, kita harus mencari hotel yang representatif sesuai dengan eselon pejabat-pejabat ini, paling tidak yang berbintang. Kedua, kita juga harus mencari kendaraan mobil yang bergengsi untuk dipakai selama beliau-beliau ini menjadi tamu, kalau perlu dengan me-rental mobil mewah. Ketiga, kita harus menemani (dan tentu saja membayari) acara makan siang dan makan malam di resto yang representatif selama mereka di daerah. Dan juga tidak jarang juga menanggung entertainment mereka, misalnya ber-karaokean atau hiburan malam lainnya.

Sebetulnya, kita semua sudah mafhum pejabat mana yang wajib dilayani. Misalnya, presiden dan wakil presiden dan sejumlah pejabat yang masuk kategori VIP. Sekalipun masuk kategori VIP, apabila pejabat ini bepergian untuk urusan pribadi tentu tidak pantas untuk meminta fasilitas negara. Ini yang terjadi misalnya pada kasus Wakil Ketua DPR-RI Fadli Zon, yang meminta fasilitas penjemputan dan pendampingan bagi putrinya kepada KJRI di New York. Dia menyangkal memerintahkan membuat surat tersebut, namun kita orang Indonesia kan selalu berbicara secara tersirat ketimbang tersurat. Jadi tak ada gunanya menyangkal.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun