Mohon tunggu...
Gustaaf Kusno
Gustaaf Kusno Mohon Tunggu... profesional -

A language lover, but not a linguist; a music lover, but not a musician; a beauty lover, but not a beautician; a joke lover, but not a joker ! Married with two children, currently reside in Palembang.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Menyoal Kata "Konde", "Sorban", dan "Jomblo"

4 April 2018   14:33 Diperbarui: 4 April 2018   19:21 1944
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Tangkap gambar dari KBBI Daring, lema

Berita heboh di jagad maya Indonesia, membuat saya tidak pernah kehabisan inspirasi untuk mengulik kata-kata kunci dari kehebohan-kehebohan tersebut dari segi bahasa. Contohnya, yang paling mutakhir kegaduhan karena puisi dari Sukmawati berjudul "Ibu Indonesia" yang menurut persepsi segolongan orang merupakan penistaan agama, karena membandingkan "konde" dengan "cadar". Saya tak ingin berlibat dengan silang-sengketa persoalan ini, karena sudah ada banyak pakarnya yang pandai bersilat lidah. Saya sekadar ingin menelisik kata "konde" yang disebut-sebut dalam puisi tersebut.

Kiranya kita sepakat bahwa kata "konde" adalah kata bahasa Jawa yang diserap masuk ke dalam bahasa Indonesia. Namun ternyata dia bukan asli kata Jawa, melainkan juga serapan dari bahasa Tamil "kondei" (menurut peneliti geografi dan etnografi dari Belanda Pieter Johannes Veth). Yang barangkali tidak kita ketahui dan juga tidak akrabi ejaan yang bakunya adalah "kundai". Dalam KBBI dan Kamus Dewan (Malaysia), lema "kundai" ini ada, dan maknanya ya "konde" itu.

Dirgo Sabariyanto, seorang pemerhati bahasa pada buku terbitan 1993 berjudul "Mengapa Disebut Bentuk Baku dan Tidak Baku" antara lain menyebutkan [ Kata kundai merupakan kata bahasa Indonesia, sedangkan kata konde merupakan kata bahasa Jawa yang penulisannya sudah diindonesiakan. Oleh karena itu, kata yang baku ialah kundai, sedangkan kata yang tidak baku ialah konde. ].

Tak sulit untuk memahami alasan mengapa "konde" bermutasi menjadi "kundai". Sejumlah kata Jawa yang diindonesiakan juga bernasib sama, seperti "pete" menjadi "petai", "kedele" menjadi "kedelai", "sere" menjadi "serai", "bule" menjadi "bulai", "tape" menjadi "tapai" dan sebagainya.

Belum terlalu lama yang silam, ada kegaduhan soal kartun dari majalah Tempo yang menggambarkan seorang pria bersorban duduk semeja berhadapan dengan perempuan sambil berkata "Maaf saya tidak jadi pulang". Kartun ini belakangan diprotes keras (bahkan didemo) sebagai penghinaan terhadap seorang tokoh pemuka agama. Saya tak perlu membahasnya (lagi), karena kita semua sudah sangat paham masalah ini. Yang ingin saya telaah adalah soal ejaan baku dari kata "sorban". Ternyata menurut KBBI, ejaan bakunya bukan "sorban", bukan pula "surban", tetapi "serban".

Apakah alasan KBBI mengatakan bahwa ejaan bakunya adalah "serban". Ini yang masih menjadi teka-teki bagi saya. Hampir dapat dipastikan bahwa kata ini serapan dari bahasa Inggris "turban" atau bahasa Belanda "tulband". Baik kata Inggris maupun Belanda ini bermuara dari bahasa Persia "dulband".

Ejaan baku lain yang mungkin Anda tak menyangka-nyangka adalah kata "jomlo". Ini adalah ejaan baku dari kata "jomblo". Terasa aneh ya, semua orang menuliskannya dengan "jomblo", malah KBBI mengatakan bahwa ejaan yang baku adalah "jomlo". Setahu saya, kata "jomlo" ini serapan dari bahasa Sunda.

Bahasa Jawa serapan dari bahasa Belanda
Kosakata Indonesia yang menyerap dari bahasa Belanda sangat banyak jumlahnya. Kira-kira ada 4500 kata. Ini karena Belanda cukup lama menjajah negeri kita. Menjadi pertanyaan bagi saya, adakah kosakata bahasa Jawa yang juga menyerap dari bahasa Belanda? Ternyata ada. Contoh yang paling gamblang adalah kata Jawa "pit" (berarti 'sepeda') dan "sepur" (berarti 'kereta api). Kedua kata diserap dari bahasa Belanda "fiets" dan "spoor".

Dan ternyata bukan cuma dua kata ini yang merupakan serapan dari bahasa Belanda. Ada sejumlah kata lain yang sempat saya kompilasikan, antara lain "telat" (dari te laat), "tekor" (dari te kort), "kelir" (dari kleur artinya 'warna'), "atret" (dari achteruit), "pol" (dari vol artinya 'penuh'), "oper" (dari over), "setrap" (dari straf artinya 'hukuman'), "persekot" (dari voorschot), "sempel" (dari simpel artinya 'gila'), "boyok" (dari buik), "prei" (dari vrij artinya 'bebas') dan masih ada sejumlah lainnya.

Masih adakah kosakata yang belum tercantum di KBBI edisi 5?

Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi 5 mencantumkan sebanyak 127.000 lema. Suatu peningkatan jumlah lema yang signifikan dibandingkan dengan KBBI edisi sebelumnya.

Apakah ini berarti semua kosakata sudah terinventaris dengan sempurna? Dari penelusuran saya secara amatiran, ternyata masih ada beberapa kata yang sudah lama bercokol dalam wacana bahasa kita, namun "terlupa" dimasukkan ke dalam kosakata di KBBI. Jadi, ini bukan kata baru yang memang memerlukan pengendapan waktu untuk dipertimbangkan oleh pusat bahasa untuk diakomodasikan masuk ke dalam KBBI.

Kata yang pertama yang ingin saya ajukan adalah kata "hambus". Arti kata "hambus" adalah "enyah". Kata ini sudah saya jumpai dari zaman saya masih remaja dulu (sekitar thn 1960an). Saya kutip dari buku "Chairil" tulisan Hasan Aspahani yang mengandung kata "hambus" di bawah ini: [Tahun kelahiran Chairil (1922) adalah tahun ke-58 kekuasaan Belanda di wilayah Kesultanan Deli. Belanda memang tidak berabad-abad lamanya bercokol di Sumatra. Ketika harus berhambus dari kota itu pada tahun 1942, Belanda baru menginjak tahun ke-78 sejak pertama kali berkuasa di sana pada 1858.]

Kata kedua yang juga ingin saya ajukan adalah kata "kesatrian". Makna kata "kesatrian" ini sama dengan "tangsi" yaitu "kompleks di mana markas dan perumahan anggota militer terpusat". Kata "kesatrian" ini sama sekali bukanlah kata usang (obsolete), sehingga tak ada alasan KBBI tidak mencantumkannya sebagai lema.

Kata ketiga yang ingin saya kemukakan adalah kata "shio". Makna "shio" adalah "zodiak menurut penanggalan/almanak china". Misalnya untuk tahun 2018 ini, kita memasuki shio anjing. Saya pikir tak ada alasan KBBI tak memasukkannya sebagai lema, bersama-sama istilah serapan dari bahasa china seperti "angpau", "fengsui", "hoki" yang sudah terakomodasi di situ.

Untuk sementara, ketiga kata ini dulu yakni "hambus", "kesatrian" dan "shio" saya ajukan untuk dipertimbangkan pusat bahasa untuk dimasukkan pada KBBI edisi berikutnya. Semoga tulisan tentang ragam bahasa ini bermanfaat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun