Mohon tunggu...
Gustaaf Kusno
Gustaaf Kusno Mohon Tunggu... profesional -

A language lover, but not a linguist; a music lover, but not a musician; a beauty lover, but not a beautician; a joke lover, but not a joker ! Married with two children, currently reside in Palembang.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Sebuah Anomali pada KBBI: Romo atau Rama? Gono-gini atau Gana-gini?

8 Oktober 2017   17:46 Diperbarui: 8 Oktober 2017   19:20 2482
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber ilustrasi: tribunnews.com

Ada sesuatu yang sudah lama mengganjal di relung benak saya tentang sesuatu pada Kamus Besar Bahasa Indonesia. Sudah cukup lama ingin saya utarakan dalam sebuah tulisan, tetapi selalu tertunda dan akhirnya terbatal. Bermula dari ketidaksengajaan saya mencari rujukan tentang lema "romo" pada KBBI, ternyata saya mendapat kejutan yang tidak mengenakkan. Kosakata "romo" ini tak eksis pada KBBI! Pada KBBI edisi V (termutakhir) disebutkan dengan singkat kata "romo" adalah "bentuk tidak baku dari rama". Dan setelah mencari lema "rama" di situ ada tiga definisi yaitu 1. ayah, 2. padri, pastor, 3. panggilan untuk pastor.

Inilah yang membuat benak saya ingin memprotes. Mengapa sebuah sebutan yang selalu diucapkan dengan "romo" dan demikian pula ikhwalnya pada penulisan di khalayak ramai, justru pada KBBI diaksarakan dengan "rama"? Kita sudah cukup akrab dengan sebutan Romo Mangunwijaya atau Romo Magnis Suseno dan setahu saya tak pernah ditulis dengan Rama Mangun atau Rama Magnis. Pada penelusuran saya lebih lanjut di KBBI, ternyata pengejaan "rama" yang harus dilafalkan "romo" bukan satu-satunya anomali dalam kamus yang menjadi rujukan utama kita ini.

Sekurang-kurangnya saya mendapati kata "bromocorah" yang dieja dengan "bramacorah", "gono-gini" yang dieja dengan "gana-gini", "gondorukem" yang dieja dengan "gandarukem", "tepo seliro" yang dieja dengan "tepa salira" pada KBBI edisi V ini. Secara kasat mata kita bisa berasumsi bahwa kata-kata di atas berasal dari bahasa Jawa. Lalu apa pasalnya pelafalan "o" diubah menjadi pengejaan "a". Saya mengetahui memang ada pedoman penulisan kosakata bahasa Jawa dalam huruf latin, di mana antara lain fonem "o" dieja menjadi "a", misalnya "loro" (sakit) dieja menjadi "lara", "legowo" dieja menjadi "legawa". Namun ini pedoman untuk penulisan bahasa Jawa, bukan untuk bahasa Indonesia.

Sumber ilustrasi: screen capture KBBI daring
Sumber ilustrasi: screen capture KBBI daring
Di masa lampau, pernah terjadi orang menuliskan kata "kuno" dengan "kuna". Seperti kita ketahui bersama kata "kuno" berasal dari bahasa Jawa yang diserap ke dalam bahasa Indonesia. Mungkin para pakar bahasa di Pusat Bahasa akhirnya menyadari bahwa penulisan "kuna" ini kurang tepat, sehingga kini pada KBBI tertera bentuk bakunya adalah "kuno". Demikian pula pada kurun waktu masa lampau, pernah orang menuliskan nama kota Solo dengan Sala. Sekarang, sekalipun masih ada satu dua orang yang masih bertahan dengan pengejaan "Sala", umumnya sudah menuliskan dengan "Solo". Pada literatur yang lebih kuno lagi, saya jumpai penulisan nama pahlawan Pangeran Diponegoro yang ditulis dengan Pangeran Dipanegara.

Kembali pada persoalan "romo" di atas, kalau KBBI tetap bertahan pada pengejaan "rama" dengan sejumlah argumentasi linguistik, maka publik akan dibuat "confused" kata mengandung huruf "a" mana yang seyogianya dilafalkan dengan "o". Tentu tak bisa diharapkan masyarakat pengguna bahasa bisa secanggih pakar-pakar bahasa di dalam memilah mana yang harus diucapkan dengan "a" dan mana yang dengan "o".

Ada satu kata yang relatif merupakan pendatang baru dalam KBBI dan jelas bukan diserap dari kata bahasa Jawa yaitu "mal". Pada KBBI edisi V dia diberi definisi "gedung atau kelompok gedung yang berisi macam-macam toko dihubungkan oleh lorong (jalan penghubung). Kita sekalian mengetahui bahwa kata ini diserap dari bahasa Inggris "mall". Sesuai dengan "kebijakan" pusat bahasa terkini, kata-kata asing yang diserap ke dalam bahasa Indonesia maka akan dinaturalisasi sedekat mungkin dengan ejaan aslinya, bukan dengan cara pelafalannya seperti yang dilakukan pada masa silam. Kebijakan ini membawa beberapa konsekuensi yang agak merepotkan. Bagaimana selayaknya kita harus melafalkan "mal" ini? Dilafalkan dengan "mol" atau dengan "mal"?

Kita endapkan dulu masalah penyerapan kata-kata asing yang mengandung unsur huruf "a" dan dibaca dengan "o" untuk dibahas oleh pakar-pakar bahasa, tetapi untuk kata-kata yang diserap dari bahasa Jawa, saya sangat berharap bahwa KBBI tidak lagi menuliskan sebutan untuk pastor dengan "rama" melainkan "romo, sebutan untuk harta yang dibagikan antara suami isteri yang bercerai dengan "gono-gini" bukan "gana-gini", sebutan untuk seorang residivis dengan "bromocorah", bukan "bramacorah". Bagaimana menurut pendapat Anda sekalian?

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun