Mohon tunggu...
Gustaaf Kusno
Gustaaf Kusno Mohon Tunggu... profesional -

A language lover, but not a linguist; a music lover, but not a musician; a beauty lover, but not a beautician; a joke lover, but not a joker ! Married with two children, currently reside in Palembang.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Pokrol Bambu

24 Juni 2012   09:53 Diperbarui: 25 Juni 2015   03:35 4203
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1340531513446186946

[caption id="attachment_190312" align="aligncenter" width="641" caption="(ilust kranten.kb.nl)"][/caption]

Dalam ungkapan bahasa kita ada istilah ‘berdebat seperti pokrol bambu’ untuk menggambarkan perbantahan antara dua manusia yang tidak ada ujung pangkal atau sering disebut juga dengan debat kusir. Istilah pokrol bambu sudah ada setidak-tidaknya seratus tahun yang lalu mengacu pada profesi pengacara pribumi di zaman pemerintahan Hindia Belanda. Yang menarik untuk ditelusuri adalah mengapa mereka dijuluki dengan ‘pokrol bambu’?

Dari koran kuno Belanda ‘Algemeen Handelsblad’ terbitan tanggal 22 Oktober 1913 (berarti hampir seratus tahun silam) sedikitnya saya mendapat pencerahan mengapa oknum-oknum pengacara yang banyak berseliweran di desa-desa ini disebut dengan ‘pokrol bamboe’. Pokrol adalah pengindonesiaan dari kata ‘procureur’ yang bermakna ‘pengacara’. Lalu harian ini mencoba menjelaskan mengapa ada embel-embel ‘bamboe’ pada kata pokrol ini. Wartawan ini menulis bahwa bambu adalah tanaman yang banyak dijumpai di pulau Jawa dan banyak ragamnya. Ada bambu tali, bambu gombong, bambu bitung, bambu apus. Dari nama jenis bambu yang terakhir disebutkan tadi, profesi pokrol ini diberi julukan.

Apus dalam bahasa Jawa bermakna ‘menipu’ atau ‘memperdaya’. Jadi kata ‘bambu apus’ dikonotasikan dengan ‘oplichter’ (bahasa Belanda yang bermakna ‘penipu’) atau ‘crook’ dalam bahasa Inggris. Jadi nama lengkapnya pengacara ini adalah ‘pokrol bambu apus’, dan dalam perjalanan waktu disingkat saja dengan ‘pokrol bambu’. Jadi nampaknya sudah dari ‘tempo doeloe’ pengacara ini dianggap berlaku culas, pandai membolak-balikkan fakta, yang hitam menjadi putih dan yang putih menjadi hitam. Dengan kepiawaian bersilat lidah ini, mereka menjadi pengacara bagi tuan tanah di desa-desa melawan petani.

Untuk memberikan penampilan yang meyakinkan mereka berpakaian perlente yang terasa aneh di mata penduduk desa waktu itu. Mereka mengenakan jas dari kain laken, blangkon Solo dan scarf, topi Panama, sepatu kanvas lengkap dengan tongkat rotannya (een lakensche jas, Solosche kam en hoofddoek, Panama, zeildoek schoenen en een vervaarlijke wandelsto). Penghasilan pokrol bambu kelas dusun ini tak kalah hebatnya dengan pengacara kondang zaman sekarang ini. Karena tindak tanduknya yang ‘bengkok’ ini, tak jarang pokrol bambu ini justru diseret ke meja hijau. Yang jelas petani miskin tak pernah bersimpati kepada mereka, dan ini terbukti dengan julukan yang disandangkan kepada mereka ini yaitu ‘pokrol bambu’.

Inilah sejarah nama ‘pokrol bambu’ yang saya dapatkan dari koran tua Belanda yang diberi judul ‘De Pokrol Bamboe in de Desa’.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun