"Hujan bunga mangga?"
"Ho. Hujan bunga mangga karena terjadi pada masa mangga-mangga sedang berbunga. Hujan deras hanya satu hari. Hari selanjutnya tidak ada hujan lagi sampai musim hujan nanti."
Mungkin itu pula sebabnya tetangga sebelah memperbaiki atap, pikir saya. Bukan cuma sebagai persiapan menyambut musim hujan, melainkan juga mengantisipasi hujan bunga mangga yang terjadi sewaktu-waktu. Ya, contohnya, mungkin sebentar lagi.
Langit malam bersemu putih-kelabu dengan pantulan lampu-lampu kota. Bulan dan bintang tidak terlihat. Angin menggoyang-goyangkan dahan-ranting pohon marungga, nangka, dan srikaya. Udara basah membelai-belai kulit.
"Beta pulang dolo, Bang Oji. Mo pi jemput maitua dari rumah mamanya," pamit Piter sambil bangkit dari kursi ban bekas, dan bergegas ke ruang utama.
"Ya. Hati-hati o."
Pesan "hati-hati lho" bukanlah basa-basi saya apalagi gelagat cuaca akan hujan. Istri Piter sedang hamil dengan masa delapan bulanan. Cikal-bakal anak pertama mereka sedang memasuki masa penyambutan. Dan, menurut hasil USG, jenis kelaminnya laki-laki.
Setelah Piter pulang, saya beranjak untuk mandi. Sebenarnya saya malas mandi. Selain airnya dingin sekali, udara pun sedang basah. Kalau di rumah saya dan sekitarnya di sebagian wilayah Balikpapan Tengah, air dari jaringan PDAM terasa hangat. Saya tidak tahu, mengapa di sekitar lingkungan tempat tinggal saya  airnya hangat. Barangkali, memang, saya tidak perlu tahu. Yang penting saya bisa rajin mandi.
Tetapi sekarang saya sedang berada di Ibu Kota NTT, dan di antara orang-orang. Mau-tidak mau, saya harus menyesuaikan diri. Mandi. Selagi waktunya memungkinkan untuk mandi, ya, saya harus mandi, meskipun selama satu hari ini saya lebih sering duduk untuk merancang bangunan milik Demun.Â
Sebelum sampai ke kamar mandi, Odang dan dua rekannya keluar dari ruangan. Kebetulan ruangan Odang berdekatan dengan kamar mandi.
"Kami pulang dulu, Bang," pamit Odang.