Mohon tunggu...
Gus Noy
Gus Noy Mohon Tunggu... Administrasi - Penganggur

Warga Balikpapan, Kaltim sejak 2009, asalnya Kampung Sri Pemandang Atas, Sungailiat, Bangka, Babel, dan belasan tahun tinggal di Yogyakarta (Pengok/Langensari, dan Babarsari).

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Pelakorkah?

24 Februari 2018   19:02 Diperbarui: 24 Februari 2018   19:04 172
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Percaya atau tidak, buku tulis merupakan pasangan intim saya. Mengenai hal ini, tentu saja, saya tidak pernah melakukan pertemuan secara sembunyi alias di punggung istri saya, kecuali di balik tembok ketika istri sedang mencuci di kamar mandi.

Terus terang, buku tulis selalu siap-sedia menampung curahan jiwa saya. Eit, jiwa lho, ya? Bukan curahan hati (curhat) atau perasaan saja. Kalau disebut "buku harian" (diary book) dengan coretan celoteh rasa tingkat tinggi dan dalam waktu sesaat, semisal galau, belumlah tentu sebatas itu. Masak, sih, setiap waktu hanya diisi dengan kegalauan?

Saya menyebut buku tulis sebagai pasangan intim karena hanya buku tulis-lah yang selalu siap-sedia menampung pemikiran saya, selain perasaan dalam suasana tertentu. Ia patut saya andalkan karena ia tidak pernah sekalipun protes, "Aduh, Abang, menulis hal-hal yang nggak penting melulu, kayak orang nggak punya kerjaan! Mana tulisan tangan Abang jelek banget, apalagi tulisan kaki! Jenuh aku, Bang! Bisa stres aku, Bang!"

Buku tulis juga pasangan intim saya yang paling aduhai. Dalam keintiman antara saya dan buku tulis, durasi waktunya bisa cukup lama. Mungkin hal inilah 'kelebihan' saya sehingga buku tulis senang sekali menjadi pasangan intim saya, dan selalu siap-sedia untuk saya ajak berintim-intim.

Pasangan saya secara normal alias istri belumlah tentu selalu siap-sedia berbagi dengan saya. Kalau mendadak saya hendak menyampaikan suatu komentar atau desakan dari konspirasi pikiran-perasaan atas situasi atau kabar tertentu tetapi waktunya bersamaan dengan istri saya yang sedang mencuci pakaian, tentu saja saya justru mengganggu keasyikkannya mencuci. Syukur-syukur tidak diguyur air cucian, 'kan?

Sebagai pasangan intim, bahkan tidak rewel-cerewet (semoga istri saya tidak membaca tulisan satu ini!), buku tulis tidak pernah meminta berapa pun pendapatan saya, semisal untuk membeli beras. Bayangkan saja; sudah bertubi-tubi menampung pendapat saya yang begini-begitu, buku tulis tidak pernah menyinggung soal pendapatan untuk persediaan beras atau gincu yang habis.

Saya dan buku tulis tidak pernah terikat dalam suatu janji "sehidup-semati" dalam "suka dan duka". Antara saya dan buku tulis tidaklah terikat dalam status sakral, meskipun hubungan kami justru lebih emosional-intelektual dibanding dengan istri saya.

Dan, jangan lupa, pasangan intim saya ini sangat tidak suka bergosip dengan tetangga, mengungkapkan keresahannya hingga akhirnya hanya menguak kekurangan saya. Ia akan selalu berada di tempatnya tanpa tertarik bertamu ke tetangga dengan alasan arisan atau bersosialisasi sesuai dengan zaman now bermedia sosial begini. Ia pasangan intim sejak zaman old. Sejak saya belajar menulis di bangku SD, ia paling setia menemani, bahkan sampai tidak pernah bersekolah lagi.   

Karena saya sebut "pasangan intim", ya, seterahlah jika kemudian buku tulis saya dituding sebagai selingkuhan saya yang paling setia-serasi-awet, bahkan sudah terbilang sebagai "pelakor". Ah, ada-ada saja, buku tulis dituding sebagai "pelakor".

*******

Panggung Renung -- Balikpapan, 21 Februari 2018

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun