Saya termasuk warganet yang kaget pada kabar bahwa Ahok menggugat cerai istrinya, Vero, pada 7 Januari 2018. Serta-merta kepala saya hanya berisi Ahok-Vero, Kristen, keluarga, tokoh fenomenal berskala nasional-internasional, politik, dan seputar itu. Padahal saya sama sekali tidak memiliki hubungan teman atau saudara dengan keduanya.
Sampai saya menulis lagi (setelah Kabar Minggu dalam Suasana Sisa Natal dan Tahun Baru), kepala bergulat dengan pertanyaan, bagaimana bisa padahal suasana Natal dan Tahun Baru baru satu minggu berlalu. Tidak ada pertanyaan apa pun terhadap berita; palsu (hoaks/fiksi) atau asli (fakta).
Cerai atau bercerai adalah suatu kondisi yang tidak segampang menulis kata-kata itu. Saya juga Kristen dan sudah berkeluarga, tentunya, wajar jika kaget dan mendadak terperangah pada gugatan cerai itu. Walaupun saya bukanlah siapa-siapa, tetaplah bertanya-tanya, "Bagaimana bisa?"
Mau-tidak mau, kabar itu pun mengena pada diri saya sendiri. Bagi saya, bercerai itu berat sekali tanggung jawabnya. Tanggung jawabnya lebih kompleks, apalagi kalau sudah menjadi tokoh sekaliber Ahok. Jangankan bercerai (karena sudah menikah), putus cinta (ketika pacaran belum genap 1 tahun) saja saya sudah merasa remuk-redam nan hancur-lebur.
Siapa, sih, yang sudi memacari orang yang sejak kenal sudah mengancam "seusai jadian kita segera putus"? Untuk menyatakan suka atau cinta (nembak) saja, dalam benak sudah penuh harapan hingga berujung pada pernikahan/berkeluarga apabila pernyataan mendapat sambutan sepadan.
Siapa pula, sih, yang sudi menikahi orang yang sejak pacaran sudah mengancam "selesai akad kita langsung cerai"? Untuk menyatakan komitmen pernikahan di depan banyak saksi, termasuk Tuhan, malaikat, setan, dan kecoak pun, sudah jelas itikad baiknya adalah membentuk sebuah keluarga yang serba sesuai dengan keluarga baik-baik sampai jadi kakek-nenek.
Memang berat bercerai dalam batasan Kristen. Dulu saya berpikir keras untuk menikah karena suka-duka hidup pernikahan menjadi satu paket konsekuensi. Putus pacaran saja sudah membuat saya jera, bagaimana kalau kemudian cerai pernikahan, apalagi saya berasal dari orangtua yang utuh hingga akhirnya ayah saya meninggal dunia.
Dan, jangankan berkaliber Ahok, saya yang bukan siapa-siapa ini selalu dibayangi kecemasan jika muncul kata "cerai" pada perjalanan bahtera rumah tangga saya. Bagaimana dengan... Ah, pokoknya, saya memilih tidak membayangkan apa-apa daripada rambut saya semakin rontok.
Bagaimanapun, kabar 'gugat bubar' itu menjadi 'gugahan mendebarkan' (introspeksi) bagi diri saya sendiri. Semoga saya juga tabah menjalani kehidupan berumah tangga ini pada saat kabar semacam itu berkibar dan berkobar di sekitar saya.
*******
Panggung Renung Balikpapan, 9 Januari 2018