Mohon tunggu...
Gus Noy
Gus Noy Mohon Tunggu... Administrasi - Penganggur

Warga Balikpapan, Kaltim sejak 2009, asalnya Kampung Sri Pemandang Atas, Sungailiat, Bangka, Babel, dan belasan tahun tinggal di Yogyakarta (Pengok/Langensari, dan Babarsari).

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Listrik Mati

25 Oktober 2017   19:40 Diperbarui: 25 Oktober 2017   20:15 529
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Listrik mati dari pagi sampai sore tanpa keterangan mengenai penyebabnya. Yang terang, aku tidak bisa mengerjakan tugas karena komputer jinjingku tidak bisa lagi menggunakan baterainya. Mau-tidak mau aku keluar dari ruang kerja.

Ditemani secangkir kopi hitam yang baru mengepul-ngepul, aku duduk di beranda belakang yang menghadap dapur. Beberapa orang sedang membersihkan isi dapur yang sekian bulan tersimpan bersama debu. Even, Karmelo, Arthur, dan lain-lain.

Ah, mungkin tidak adil. Orang-orang sedang sibuk membereskan dapur, aku malah duduk bersama secangkir kopi, dan menghadap mereka. Pada kesempatan ini aku menyalakan lentera pembenaran : hidup memang tidak adil.

Mungkin benar pembenaran itu ketika Even mencandai kesibukan mencuci seabrek peralatan dapur dengan berkelakar tentang seorang nona. Sebagai seorang nyong, obrolan apalagi kelakaran tentang seorang nona sungguh menghidupkan suasana. Apalah arti dapur bagi seorang nyong jika tanpa ada nona, bukan?

Aku ikut tertawa agar api lentera pembenaranku tetap menyala. Ditambah minyaknya dari Even yang berkisah tentang kebun cabai di samping kantor kami. Even seorang Sarjana Pertanian. Ia dititipi kebuh mini berisi lima pohon cabai, dua pohon tomat, dan beberapa bangkai pohon terung.    

Tertawa berarti hidup. Biarkan listrik mati. Tetapi aku menyarankan Even untuk segera menghubungi seorang pendeta. Untuk apa menghubungi pendeta? Begini. Mungkin pendeta itu bisa berdoa-bersyafaat untuk menghidupkan listrik yang mati.

Jangan mempermainkan doa. Awi, kau serius sekali! Jangan terlalu seriuslah karena bisa meningkatkan tekanan darah, Bu (bukan Ibu). Listrik mati begini saja sudah cukup menjadi persoalan serius, apalagi harus berpikir serius.

Ya, listrik mati begini sama dengan membunuh satu rutinitasku, yaitu merancang bangunan menggunakan komputer. Begitulah akibat terlalu tergantung di tiang listrik dengan seutas tali berteknologi mutakhir. Selain merancang bangunan, mendengarkan dentuman musik pun harus mati, meski sebatas suri.

Tapi kematian listrik bukanlah kedukaan belaka. Tadi Even sudah mencandai sebuah kematian agar kehidupan tetap berlangsung, lantas kedukaan apa lagikah yang layak dinyalakan?

Bahan kelakar tentang listrik mati di Kota Kupang hari ini justru menyambar-nyambarku ketika Dida muncul. Ruang kerjanya panas karena AC tidak berfungsi. Jendela kurang mampu mengantarkan angin sesejuk AC. Dia mau ngadem di sebuah mal.

Bagaimana bisa begitu; listrik mati se-Kota Kupang, listrik di mal malah hidup? Ini jelas diskriminasi energi, Nona. Sebaiknya Nona melakukan demo saja. Dida malah menertawakan aku.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun