Mohon tunggu...
Gus Noy
Gus Noy Mohon Tunggu... Administrasi - Penganggur

Warga Balikpapan, Kaltim sejak 2009, asalnya Kampung Sri Pemandang Atas, Sungailiat, Bangka, Babel, dan belasan tahun tinggal di Yogyakarta (Pengok/Langensari, dan Babarsari).

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Satu Cerita di Balik Artikel tentang Trotoar

3 Agustus 2017   18:12 Diperbarui: 3 Agustus 2017   18:34 426
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Pada 31 Juli 2017 saya membaca berita bahwa Gubernur Djarot Saiful Hidayat mencanangkan "Agustus : Bulan Patuh Trotoar" di DKI Jakarta. Pencanangan ini diucapkan beliau di Balai Kota, Jalan Medan Merdeka Selatan, Jakarta Pusat. Hal ini menyusul peristiwa keributan antara para oknum ojek dan Koalisi Pejalan Kaki di Jalan Kebon Sirih, Jakarta Pusat, pada 15 Juli 2017, yang sempat menjadi viral di media sosial.

Jauh hari sebelumnya, yakni 1 Juli 2017, saya mengunggah artikel "Trotoar untuk Siapa" di blog Kompasiana, dan mendapat predikat "Headline" dari editornya. Kasus yang saya angkat hanyalah kasus lama, yaitu kasus Pedagang Kaki Lima yang kembali beraktivitas di trotoar kawasan Tanah Abang pada Mei 2017.

Untuk menambah fakta seputar persoalan trotoar dalam artikel itu, saya mengangkat kasus lainnya. Tentunya, yang juga pernah viral di media sosial. Apa itu? Kisah seorang anak 9 tahun yang menghadang lalu-lintas motor di sebuah trotoar Jalan Sudirman, Kalibanteng, Semarang, pada 15 April 2016.

Lainnya berupa wawancara sebuah media dengan Training Director Jakarta Defensive Driving Center (JDDC) Jusri Pulubuhu, pada Minggu (29/5/2017). Bukan persoalan PKL dan lalu-lintas motor di trotoar, melainkan disfungsinya menjadi tempat parkir kendaraan.

Tiga fakta yang sering saya jumpai di trotoar, 1. PKL; 2. Parkir Kendaraan; dan 3. Lalu-lintas motor pada saat jalan macet. Dua fakta (1 dan 2) sering saya jumpai di trotoar Jalan Babarsari ketika saya kuliah di kampus sekitar sana. Bahkan, pada fakta ke-1 saya jadikan tugas untuk sebuah mata kuliah, yang akhirnya diganjar nilai A. Sementara fakta ke-2 merupakan pemandangan yang terjadi temporer di sana, dan fakta ke-3 merupakan pemandangan yang saya jumpai ketika tinggal di Jakarta.

Realitas di lapangan (fakta) tidaklah tepat jika ditanggapi hanya berlandaskan "suka-tidak suka" (aspek emosional). Tentunya, harus dilandaskan pasa aspek rasionalitas-intelektualitas, dan legalitas. Oleh sebab buku saya hilang, mau-tidak mau, saya mencari aspek legalitasnya di internet, yaitu berkaitan dengan peraturan atau landasan konstitusionalnya.

Lantas saya pun menuliskan argumentasi menjadi artikel "Trotoar untuk Siapa" itu. Kalau sebagian kebiasaan saya menulis argumentasi berdasarkan pada berita aktual, kali ini tidak. Tujuan saya ketika itu sekadar mengingatkan kembali mengenai esensi, substansi, dan fungsi sebuah trotoar, sebelum suatu waktu muncul lagi berita aktual seputar trotoar.

Selain ganjaran "Headline" oleh editor Kompasiana pada artikel itu, juga saya sama sekali tidak menyangka, setengah bulan kemudian (setelah penayangan artikel itu), tepatnya 15 Juli 2017 terjadi keributan di trotoar Jalan Kebon Sirih sampai menjadi viral di media sosial itu. Demikian juga ketika Gubernur Djarot mencanangkan "Bulan Patuh Trotoar".

Itu saja yang ingin saya sampaikan melalui tulisan sederhana ini. Salam kreatif nan produktif untuk seluruh kontributor (kompasianer) di blog Kompasiana.

*******

Panggung Renung Balikpapan, 2017

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun