Mohon tunggu...
Gusblero Free
Gusblero Free Mohon Tunggu... Administrasi - Penulis Freelance

Ketika semua informasi tak beda Fiksi, hanya Kita menjadi Kisah Nyata

Selanjutnya

Tutup

Politik

Karena Ia Sarumpaet

4 Oktober 2018   10:44 Diperbarui: 4 Oktober 2018   11:10 953
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
hasil olahan pribadi wow.tribunnews.com

Usai sudah derita Ratna Sarumpaet dari tekanan batin yang menderanya. 3 Oktober 2018 hari ketika ia memberikan pernyataan soal kebohongannya, barangkali bisa ditandai sebagai hari deklarasi kemerdekaan untuk perjuangannya yang tak pernah berujung. Plong. Menurut saya begitu.

Orang boleh saja masih berspekulasi dalam banyak hal. Orang boleh saja masih marah karena merasa telah diagitasi dengan kebohongan. Dan sah-sah juga jika hingga hari ini masih banyak orang yang tak habis pikir dengan apa yang telah dilakukannya. Pada akhirnya akan ada beberapa orang marah bukan karena merasa telah dibohongi, tetapi karena keberanian Ratna Sarumpaet membongkar kebohongannya sendiri.

Apalagi ini tahun politik. Seperti kata Fadli Zon, mana ada kejadian yang tidak tertaut dengan hal-hal yang sifatnya politis. Pernyataan Fadli ini ibarat menepuk air didulang terpercik ke muka sendiri. Penganiyaan terhadap Ratna Sarumpaet yang sejatinya tidak pernah terjadi, namun kadung hendak di-setting sebagai propaganda politik buyarlah sudah.

Ini tamparan yang sungguh telak. Namun siapa pula harus mau menanggung resiko berlebih, terlebih hanya untuk urusan politik. Kesadaran ini yang barangkali telah diterima Ratna Sarumpaet pada usianya yang genap 70 tahun. Ia tentu sadar politik hanyalah alat bagi sebuah kepentingan, sementara untuk masa depan yang jauh ia ingin melihat anak cucunya hidup dengan tenang.

Jujur, ini juga baru kali pertama saya ingin menulis tentang Ratna, si Sarumpaet. Saya kurang menyukai aktivitasnya yang terlalu mengurusi sana-sini. Bahkan seandainya saya jadi anaknya, saya akan bilang: sudahlah, Ibu, berapakali engkau akan terus menghantam pada ambisi yang tak bisa diluluhkan.

Sejauh yang saya tahu. Ratna Sarumpaet adalah aktivis yang tak pernah gentar dalam menyikapi hidup. Kurungan pun tak bisa memenjarakan tekadnya. Ia jelas palu yang bisa digunakan untuk apa saja. Tetapi tentu tidak untuk mengkhianati nuraninya sendiri.

Jauh di seberang Palu Sigi Gorontalo berapa banyak korban terdampak bencana alam tak terhitung sedang mempertaruhkan jiwanya pada konsentrasi kemanusiaan kita agar terlindung. Adalah Hidayah dari Allah untuk kita tidak mengotorinya dengan kepentingan lain apalagi propaganda hasad dan kedengkian melalui media massa.

Di titik ini saya menangkap keberanian murni seorang Sarumpaet, idealisme warga Melayu Batak. Ia menyudahi permainan tanpa mengulur-ulur waktu, ia mengakhirinya hanya dalam hitungan hari, walau resikonya tak lepas dari bully.

Perempuan usia 70 tahun merapikan wajah, apa salahnya. Ia ingin tetap nampak cantik bagi cucunya yang manis dan agar betah berlama-lama bermain dengannya. Sekali lagi, apa salahnya.

Yang tak pantas adalah ia menyusun drama untuk bengkak wajar yang diterimanya sebagai wujud kekerasan politik dalam bernegara. Syukurlah tak butuh lama waktu baginya menyadari tindakan yang dilakukannya ini salah, hingga tak perlulah yodium sia-sia tertumpah banyak di mana-mana.

Karena ia Sarumpaet. Warga dari si Paet tua yang mewarisi keberanian moyangnya. Bukan untuk berdusta, tetapi untuk mengambil sikap. Orang bijak tahu kapan saatnya mengibarkan bendera dan tahu kapan waktu harus menurunkannya.

Salam dari gunung, Ibu Ratna.

Wonosobo, 4 Oktober 2018               

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun