hari ini aku senang sekali. Ibuku membelikan sepeda ontel untukku. Sepeda pertamaku.
Dari balik rimbunnya bambu tubuh kecilku berdiri. Mengawasi jalanan di selatan rumahku. Tiap jengkal jalan kutatap jeli. Tetapi masih belum kutemukan yang kucari. Sedari tadi aku memang menunggu ibuku yang berangkat ke pasar yang berjanji pulang dengan membawa sepeda untukku. Hari itu benar benar hari yang membahagiakan.
Tak berapa lama terlihat dari kejauhan dua orang berjalan. Salah satunya terlihat memikul sesuatu dan lebih pendek dari yang lain. Menyadari bahwa itu ibu dan paklekku aku segera berlari dengan luapan kegembiraan yang tak terkira. Mendapati kegembiraanku itu ibuku hanya tersenyum.
Hari-hari setelah hari itu. menjadi hari yang berat dan menyenangkan bagiku. Aku bekerja keras belajar mengendarai sepeda. Mungkin karena masih dalam suasana hati bergembira maka usaha kerasku tidak terasa menyiksa. Bahkan bolak balik jatuh dari sepeda pada ayuhan pedal pertama menjadi hal yang menyenangkan. Ditambah hujan gerimis dan halaman rumah yang berlumpur sungguh mengasyikkan. Setiap kali jatuh setiap kali itu pula aku tertawa. Menertawakan ketidakmampuanku dan luapan kegembiraan yang konyol.
Ketika musim mulai berganti saat itulah aku walaupun dengan goyang-goyang tidak stabil mampu duduk diatas dua roda berputar itu. Sungguh hal yang luar biasa rasanya, hampir seperti mustahil bagiku. Aku penuh yakin sat itu adalah momen besar dalam hidupku. Ya walaupun jika diukur dengan meter belum sampai 20 meter sudah jatuh lagi. Berhenti.
***
Lima belas tahun kemudian ketika saat ini hujan sore desember baru saja berhenti. Entah mengapa aku teringat momen masa kecil yang membahagiakan itu. mungkin gara gara hujan yang romantis ini. aku membayangkan susahnya dulu akau belajar bersepeda. Satu musim baru bisa menaiki sepeda dengan geyal-geyol. Luar biasa aku melakukanya dengan hari-hari yang gembira.
Sekonyong-konyong aku membandingkan proses belajar sepedaku dulu dengan (keinginanku) belajar menulis. Kau tahu aku sudah (berkeinginan) belajar menulis sejak semester kedua kuliahku. Sampai sekarang semester kelima hanya beberapa tulisan yang dapat aku tulis. Yakinlah jumlahnya tidak lebih banyak dari hitungan anak TK yang baru belajar matematika dengan jari-jari kedua tanganya.
Aku tidak tahu setan apa yang membelengguku. Ketika ada waktu longgar aku selalu saja menunda-nunda untuk mulai menulis. “ah sekarang santai dulu saja, menulisnya besok-besok aja”. Setan dalam diriku membujuk mencegahku menulis. Dan mengantinya dengan santai menunda-nunda.
Tetapi yang lebih sering dan berat menghantuiku adalah ketakutan. Ketakutan yang seperti datang dari segara arah masuk ke setiap sel dalam tubuhku dan membuatku seperti patung yang tak bergerak. Diam dalam ketakutan. Ketakutan itu bagiku seperti pisau dengan berbagai macam bentuk. Tetapi mereka semua sama. Menusukku dengn tajam.
Suatu wakttu sesaat sebelum aku menulis aku selalu ketakutan jika tulisanku buruk dan menjadi bahan tertawaan orang lain. aku kawatir jika ejaan yang kugunakan salah. Tidak benar karena aku sungguh tidak paham EYD. Hasratku juga menakut-nakutiku. Ia selalu mendorongku untuk menulis sempurna. Hasrat ini telah mengadili tulisanku bahkan sebelum kata pertama tertintakan.
Ketakutan sungguh membuatku tercekik.