Pria tukang becak itu begitu semringah menerima bingkisan menjelang Lebaran yang saya serahkan beberapa bulan lalu. Berulangkali si Bapak mengucapkan "terimakasih" atas bingkisan yang dia terima. "Matursuwun njih Pak," katanya sambil tersenyum cerah. Â
Saya ikut senang melihat si tukang becak ini bahagia. Padahal bingkisan Lebaran itu isinya sederhana: beras, gula pasir, minyak goreng dan sedikit uang. Bingkisan itu pun bukan dari kantong pribadi saya tapi dari hasil mengumpulkan donasi teman-teman kantor tempat saya bekerja. Saya kebagian menyerahkan kepada mereka yang berhak. Menjelang Lebaran teman-teman kantor selalu mengumpulkan donasi untuk dibelikan bingkisan Lebaran.
Sesuatu yang sederhana ini ternyata bisa membahagiakan orang lain, sekaligus bisa membahagiakan diri saya. Saya bahagia, merasa lebih bermakna karena bisa membahagiakan orang lain. Ini menjadi prinsip hidup saya sejak dulu. Dalam hati saya ingin selalu membahagiakan orang. Entah itu kepada orang-orang terdekat maupun kepada orang lain. Tentu dengan cara-cara saya sendiri. Ini pandangan subjektif saya. Â
Kalau mengacu ke Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), bahagia adalah keadaan atau perasaan senang dan tenteram (bebas dari segala yang menyusahkan). Kalau mengacu kepada kamus ini, bahagia adalah soal perasaan. Sangat subjektif.
Setiap orang bisa membangun persepsi dan menentukan kriteria sesuatu yang bisa membuatnya bahagia. Selama "sesuatu" itu menjadi kebenaran publik, dalam batas-batas kewajaran, tentu itu bisa diterima.
Memberi, berbagi dan menyantuni kepada yang berhak menjadi bagian dari cara untuk memberdayakan orang-orang yang lemah, baik secara ekonomi maupun sosial. Orang yang berdaya, tercukupi kebutuhan dasarnya, seperti kebutuhan sandang (pakaian), papan (rumah) dan pangan (makan dan minum) akan punya peluang untuk lebih bahagia daripada orang yang kekurangan.
Orang-orang yang belum tercukupi sandang, papan dan pangan ini jumlahnya besar di Indonesia. Mereka adalah orang yang dikategorikan sebagai orang miskin. Orang miskin adalah orang yang tidak berharta, orang yang serba kekurangan.
Pada Maret 2020 saja, menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah orang miskin meningkat 9,78 persen menjadi 26,4 juta. Jumlah ini diperkirakan akan terus meningkat seiring Pandemi Covid-19 yang mengakibatkan krisis ekonomi akut.
Banyak orang kehilangan pekerjaan karena pemutusan hubungan kerja (PHK), banyak orang kehilangan pendapatan, daya beli turun sehingga memengaruhi kondisi perekonomian secara nasional.
Saya tidak mengatakan orang yang dikategorikan "miskin" adalah orang yang tidak bahagia. Kalau merujuk KBBI di atas, kebahagiaan menyangkut perasaan subjektif seseorang. Demikian pula saya juga tidak setuju orang yang berharta atau orang kaya selalu bahagia.
Tapi kalau bicara dalam konteks umum, tentu orang miskin lebih kecil peluangnya untuk bahagia. Karena mereka belum selesai dengan kebutuhan dasarnya. Begitu sebaliknya orang yang tercukupi punya peluang lebih besar untuk bahagia.
Nah, bagaimana caranya agar orang-orang yang belum tercukupi kebutuhan dasarnya bisa hidup secara layak? Paling tidak mereka tidak kekurangan pada tiga hal: sandang, papan dan pangan secara wajar.
Pemberdayaan (empowering) terutama secara ekonomi ini sangat penting. Tugas memberdayakan tidak hanya menjadi tugas negara. Bagaimanapun negara (pemerintah) punya keterbasan. Ini menjadi tugas orang yang lebih berdaya secara ekonomi.
Bahagia menjadi aspek penting dalam kehidupan. Kebagiaan akan menentukan kualitas hidup seseorang. Ini yang menjadi perhatian penting semua pihak. Bahkan badan dunia Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pun sangat perhatian terhadap kebahagiaan negara anggotanya dengan mengeluarkan resolusi agar anggota PBB secara terus-menerus mengukur tingkat kebahagiaan warga negaranya. Tingkat kebahagiaan ini yang bisa menjadi landasan untuk membuat kebijakan publik.
Hasil pemeringkatan kebahagiaan (world happiness ranking atau WHR) yang dilakukan PBB, secara rata-rata dari tahun 2017-2019, tingkat kebagiaan Indonesia pada posisi 84. Tertinggal dari negara tetangga seperti Singapura, Filipina, Malaysia dan Vietnam.
Hasil survei pada 2020, negara Finlandia, Denmark, Switzerland, Islandia dan Norwegia menjadi lima negara paling bahagia dari 153 negara yang disurvei. Â Kita tak kaget dengan Findlandia. Negara ini dikenal maju terutama sistem pendidikannya yang sangat berpengaruh terhadap kebahagiaan warganya.
Tidak Buruk
Sesungguhnya BPS 2017 menunjukkan indeks kebahagiaan orang Indonesia tidak buruk. Indeks kebahagiaan orang Indonesia sebesar 70,69 (skala 0--100). Bisa dimaknai rata-rata orang Indonesia "cukup bahagia". Adalah fakta ada kutub yang jauh antara orang yang "sangat tidak bahagia" dengan orang yang "sangat bahagia".
Tentu ini tugas berat semua pihak untuk mendorong agar orang Indonesia menjadi "bahagia" atau bahkan "sangat bahagia". Â BPS mengukur kebahagiaan berdasarkan beberapa variabel, meliputi dimensi kepuasan hidup (personal dan sosial), dimensi perasaan dan dimensi makna hidup. Variabel ini kemudian diturunkan lagi menjadi beberapa indikator ukur kebagiaan.
Saya yakin survei situasi kebahagiaan ini akan berbeda hasilnya kalau dilakukan saat situasi krisis seperti ini. Dalam subjektivitas saya, banyak orang tidak bahagia hidup dalam situasi serba sulit seperti ini. Meski demikian, setiap orang dituntut terus bisa membahagiakan diri dan orang lain dalam situasi kurang menyenanggkan ini. Ini sebagai ikhtiar agar agar kualitas hidup tetap terjaga.
Memberi, berbagi dan menyantuni kepada orang lain sangat penting sebagai cara untuk membahagiakan diri sendiri dan orang lain. Hakikat berbagi ini bukan sekadar bagi-bagi bantuan yang sifatnya sesaat, misalkan bagi-bagi paket sembako yang cepat habis. Setelah itu mereka akan kekurangan lagi.
Akan lebih baik berbagi dan memberi ini dalam arti memberdayakan mereka secara ekonomi sehingga mereka bisa menikmati ketercukupan ini secara berkesinambungan. Tentu konsep berbagi dalam arti pemberdayaan ini diperlukan perencanaan dan sistem yang matang.Â
Kesinambungan kebahagiaan ini penting untuk menjaga agar hidup ini lebih bermakna, punya arti. Seperti kebagiaan yang dirasakan si Bapak tukang becak itu.