Mohon tunggu...
Sholahuddin
Sholahuddin Mohon Tunggu... Jurnalis - Pekerja Media

Laki-laki pencari Tuhan. Lahir di Boyolali, Jateng. Bekerja di sebuah penerbitan pers di Solo.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Dinasti Politik dan Watak Virus Corona

31 Juli 2020   20:26 Diperbarui: 31 Juli 2020   20:49 56
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Calon Wali Kota Solo, Gibran Rakabuming Raka, membantah majunya dalam Pilkada Kota Solo sebagai bentuk dinasti politik. Anak Presiden Joko Widodo ini mengaku majunya dalam pesta demokrasi di Solo pada Desember nanti melalui proses demokrasi secara bertahap dan berjenjang.

"Kalau masih ada yang menanyakan, kalau ada yang berprasangka buruk, Gibran anake presiden mesti dinasti politik. Tolong ditanyakan dinastinya di mana. Wong saya ikut kontestasi bisa menang bisa kalah, bisa dicoblos bisa tidak," katanya seperti dikutip Solopos.com, Minggu (5/1/2020).

Gibran merasa perlu membantah karena majunya Gibran menjadi calon walikota ramai dibicarakan publik. Sebagian menuduh sebagai bagian dari dinasti politik. 

Tidak hanya Gibran yang maju di Pilkada, Siti Nur Azizah, putri Wakil Presiden Ma'ruf Amin) juga maju di Pilkada Tangerang Selatan, Hanindito Himawan Pramana, putra Sekretaris Kabinet Pramono Anung maju di Pilkada Kabupaten Kediri, dan masih banyak calon lainnya. 

Banyaknya kerabat dekat para pejabat dalam kontestasi politik ini menjadi fenomena yang mengiringi pelaksanaan Pilkada serentak mendatang. Sah-sah saja saja Gibran mengatakan dia maju jadi calon walikota melalui mekanisme demokrasi secara bertahap dan berjenjang. 

Secara aturan, memang tidak sesuatu yang dilanggar Gibran dan kandidat lain para kerabat petinggi di negeri ini.  Jadi tidak ada larangan kerabat pejabat ikut bertarung dalam pesta demokrasi. Mereka punya hak sama dengan kandidat lainnya.  Dalih punya hak yang sama dengan individu lain ini menjadi apologi untuk membenarkan mereka maju dalam Pilkada. Meskipun dalih punya hak dan kesempatan yang sama ini bisa diperdebatkan.

Akses Besar

Karena akses mereka yang besar kepada pusat kekuasaan, mereka berada di atas angin untuk mendapatkan tiket maju ke Pilkada. Mereka juga dengan mudah untuk mendapatkan dukungan partai-partai lain karena modal politik yang mereka punya. Persaingan jadi tidak fair. Padahal demokrasi menuntut kompetisi secara fair dan bersaing secara sehat. Klaim mereka berada pada posisi setara dengan kandidat lain bisa dipertanyakan. Gibran, misalnya, siapa bisa melawan di Pilkada Kota Solo? Jelas dia berada di atas angin. Selain putra presiden, dia disokong PDI Perjuangan, partai dominan di Kota Solo.

Dinasti politik bukan hanya fenomena menjelang Pilada serentak Desember mendatang. Sudah lama para tokoh politik menyiapkan putra-putrinya, kerabat dekatnya terlibat dalam urusan politik. Siapa tokoh partai politik di negeri ini yang tidak melibatkan kerabatnya di ranah politik? Realitas ini tidak hanya terjadi di Indonesia, tapi juga di luar negeri.

Dinasti politik sesungguhnya sebuah upaya tokoh-tokoh politik untuk melanjutkan kekuasaannya. Mereka sadar kekuasaan ini menggiurkan, menyenangkan. Begitu banyak kesempatan dan peluang secara politik dan ekonomi saat kekuasaan di tangan. Sayang kan kalau kekuasaan ini hilang begitu saja?

Selagi mereka berkuasa, segala upaya dilakukan agar mereka punya kader yang bisa meneruskan  dominasi kekuasaan melalui kerabatnya. Meneruskan kehidupan politik yang sungguh enak itu.

Tradisi meneruskan kekuasaan ke kerabat dengan ini akan bermasalah secara etika politik. Etika tidak berkaitan dengan hak, tapi menyangkut nilai kepantasaan di masyarakat. 

Kalau saya merujuk buku Etika Politik karya Franz Magnis Suseno, secara praksis etika politik menuntut agar semua klaim atas hak dipertanggungjawabkan kepada prinsip-prinsip moral dasar.  

Jadi, dalam pandangan etika politik , anak-anak pejabat yang punya hak maju dalam Pilkada ini bisa dipertanyakan, apakah pantas mereka ikut bertarung selagi orang tua atau kerabatnya masih menjabat? Ini pertanyaan serius yang perlu dijawab. Bukan dengan dalih bahwa anak pejabat juga punya hak yang sama dengan yang lain.

Dinasti politik sesungguhnya seperti "fitrah" makhluk hidup yang selalu berusaha berkembang biak dan menurunkan generasinya. Siapa pun itu. Jangankan manusia, harimau yang sangar itu, dia akan membela mati-matian anaknya kalau si anak berada dalam bahaya. Karena apa? Dia ingin agar keturunannya aman. Si induk harimau juga ingin agar keturunannya bisa mempertahankan supremasi sebagai raja hutan. Itu memang desan Tuhan seperti itu.

Tidak hanya manusia, hewan dan tumbuhan saja yang punya firah untuk mengembangkan diri. Virus corona (Covid-19) yang heboh karena terus memakan korban ini juga punya watak yang sama untuk mengembangkan diri dan bermutasi. Ini sebagai mekanisme untuk mempertaankan supremasinya. 

Secara fitrah, dia akan mencari mangsa yang bisa menjadi media (inang) untuk berkembang biak. Dampaknya bukan hanya mengancam hak hidup manusia, tapi juga mengancam kehidupan ekonomi secara luas. Kemampuan Covid-19 ini yang merepotkan banyak pihak. Dunia kelimpungan. Apalagi belum ditemukan vaksin dan obatnya. Hidup dengan protokol kesehatan yang ketat hanya bisa menekan mata rantai virus, tapi tidak bisa benar-benar mengenyahkan virus keparat ini dari muka bumi.

Mengapa dinasti politik, politik kekerabatan terus berkembang biak di Indonesia? Karena belum ada obat dan vaksin untuk mematikan watak kekuasaan ini. Persis seperti virus corona.

Bikin heboh, tapi susah untuk dihentikan.

Solo, 31 Juli 2020

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun