Mohon tunggu...
Sholahuddin
Sholahuddin Mohon Tunggu... Jurnalis - Pekerja Media

Laki-laki pencari Tuhan. Lahir di Boyolali, Jateng. Bekerja di sebuah penerbitan pers di Solo.

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Segregasi dan Demokrasi Kaos

11 Mei 2018   13:52 Diperbarui: 11 Mei 2018   17:46 2396
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi. || Seorang bertopeng Jokowi diikuti ratusan warga Cipinang Muara melakukan aksi atraksi di sepanjang Banjir Kanal Timur (BKT), Jakarta Timur, Minggu (11/5/2014). (TRIBUNNEWS/HERUDIN)

Insiden di area Car Free Day (CFD) di Jakarta antara sekelompok orang berkaos #2019 GantiPresiden dengan seorang ibu berkaos #Dia SibukKerja beberapa waktu lalu menunjukkan adanya segregasi sosial di masyarakat. Pemicunya karena perbedaan simbol dan tulisan di kaos. Tulisan di kaos bisa menjadi indikasi ke mana arah aspirasi politik terkait pemilihan presiden 2019 (Pilpres) si pemakainya.

Kelompok #2019 GantiPresiden mewakili oposisi yang menginginkan Pilres 2019 melahirkan presiden baru. Kaos  #Dia Sibuk Bekerja bisa dimaknai sebagai kelompok pro Presiden Joko Widodo melanjutkan periode kedua.

Segregasi dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) merupakan pemisahan (dari satu golongan ke golongan lainnya). Secara sosiologis, segregasi sosial (social segregation) merupakan kecenderungan orang untuk lebih senang berinteraksi dengan orang lain yang sama secara etnik (Blumenstock & Fratamico, 2013). Orang yang berada di luar etniknya dianggap sebagai out group (di luar kelompoknya).  

Tulisan di kaos yang jadi ramai tersebut memang bukan soal etnisitas, melainkan perbedaan pandangan politik terkait sosok presiden mendatang. Meskipun bisa saja itu ditarik ke wilayah perbedaan etnis. Namanya juga politik. Semuanya bisa terjadi. Namun dampak yang diakibatkan sama. Masyarakat menggerombol ke dua kelompok yang saling bersaing, saling serang opini. Keterbelahan sosial. Siapa saya, siapa Anda...

Peristiwa di CFD di Jakarta sekadar letupan kecil dari keterbelahan masyarakat secara politik sejak Pilpres 2014, disusul Pilkada Jakarta 2017 dan kini memanas lagi menjelang Pemilu 2019.   

Segregasi sosial akibat identitas kaos sebenarnya bukan fenomena baru. Pada pemilihan umum era Orde Baru fenomena itu sudah ada. Bedanya,  pada era Soeharto segregasi lebih menonjol akibat warna kaos partai. 

Sedangkan segregasi menjelang Pemilu 2019 karena tulisan bertagar di  kaos.  Pada Orde Baru warnai "hijau" simbol Partai Persatuan Pembangunan (PPP), "merah" simbol Partai Demokasi Indonesia (PDI), serta "kuning" simbol Golongan Karya (Golkar). Tiga warna ini sangat mewakili kelompok dengan aliran politik masing-masing.

Tiga Golongan 

Dalam perspektif antropolog Clifford Geertz,  warna hijau mewakili santri, merah simbol abangan, sedangkan kuning simbol priyayi (birokrat). Tiga warna partai ini sebagai akibat kebijakan fusi atau peleburan partai politik di era itu. 

Fusi partai didasarkan atas kesamaan ideologi dan aliran politik partai. Saat itu warna kaos menunjukkan identitas aliran politik sekaligus preferensi politik.  Masih bagus di era Orde Baru, begitu selesai Pemilu, segregasi hilang. Para pendukung kontestan kembali akur. Sekarang? Jangan tanya deh...

Sebagai negara demokrasi, kompetisi kelompok yang mewakili kontestan Pilpres sebenarnya keniscayaan. Yang patut mendapatkan perhatian justru pada tafsir-tafsir atas keterbelahan yang kian liar itu. Seorang tokoh politik senior mengatakan ada fenomena perebutan pengaruh antara partai Tuhan dan partai setan. Pernyataan tak bijak ini menambah suasana persaingan kian memprihatinkan. 

Segregasi akibat aspirasi politik tapi seolah-olah berdasarkan tingkat keimanan seseorang.  Ditambah lagi soal identitas  "gelang" para pelaku insiden CFD mengundang berbagai spekulasi publik. 

Kita berharap suasana panas Pilpres 2014 tak terulang lagi. Sepertinya harapan itu agaknya sulit terwujud. Pemilu masih kurang satu setengah tahun pun situasi begitu menguras energi. Perang tagar, perang pernyataan, perang kata-kata, perang meme, terus membanjiri dunia maya.  Insiden di CFD di Jakarta sekadar letupan kecil tapi membutuhkan perhatian besar. Tanpa pengelolaan yang baik tentang segregasi sosial itu bisa berakibat destruktif bagi demokrasi dan keutuhan republik ini.  

Sayangnya sikap para politikus tak kalah menggelikan. Pernyataan-pernyataan mereka tidak mendewasakan sama sekali. Opini mereka hanya mencerminkan aspirasi politik, tidak lagi melihat dan mengomentari kasus itu dengan kacamata jernih. 

Kepentingannya sebagai politisi lebih menonjol. Para aktivis partai politik sebenarnya mengemban misi untuk melakukan pendidikan politik kepada rakyat, sebagai implementasi fungsi partai politik. Politisi berkewajiban  memberikan pencerahan kepada publik, terlebih saat terjadi insiden yang berpotensi membahayakan integrasi bangsa. Hasrat sangat besar untuk berkuasa tak perlu mengalahkan akal sehat, apalagi mendekonstruksi nilai-nilai demokrasi.   

Demokrasi tak sekadar mekanisme politik. Dari sisi prosedur, tak ada yang memungkiri proses politik di Indonesia cukup mewakili sebagai negara demokrasi. Pemilu bebas, tanpa intervensi negara. Kebebasan perpendapat di ruang publik sangat terjamin. Mau mengkritik pemerintah tidak ada yang melarang selama dilakukan secara elegan. Tapi demokrasi ternyata tak sekadar prosedur. 

Kualitas demokrasi memerlukan kedewasaan semua pihak, termasuk  kecerdasan warga dalam berinteraksi di ruang publik saat mengemukakan pandangan politiknya. Kualitas, bobot, wacana yang dikembangkan menjadi indikasi penting tentang kualitas demrokasi di Indonesia. Perbedaan saluran politik tak seharusnya dengan memproduksi wacana  tidak mencerdaskan.  Ruang publik tak memerlukan suara asal bunyi para politikus dan buzzer-nya yang tak berkorelasi terhadap kemajuan bangsa ini. Sia-sia...

Perjalanan reformasi selama 20 tahun sepertinya belum memberikan waktu dan proses yang cukup terhadap pendewasaan demokasi bangsa ini. Kualitas demokasi tak jauh berbeda dengan era Orde Baru bila dilihat dari sudut pandang keterbelasan sosial akibat perbedaan identitas kaos yang dipakai. Kaos hanya "aksesori" demokrasi, bukan substansi. Substansi demokrasi pada perilaku menikmati kebebasan segalanya secara elegan dan bertanggungjawab. 

Sayangnya identitas kaos masih dimaknai seolah-olah itulah substansi berdemokrasi. Jadilah demokrasi (sekelas) kaos...

Solo, 11 Mei 2018

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun