Mohon tunggu...
Syabar Suwardiman
Syabar Suwardiman Mohon Tunggu... Guru - Bekerjalah dengan sepenuh hatimu

Saya Guru di BBS, lulusan Antrop UNPAD tinggal di Bogor. Mari berbagi pengetahuan.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Masihkah Pancasila Sakti?

1 Juni 2021   09:00 Diperbarui: 1 Juni 2021   09:29 883
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pancasila: Pemersatu Bangsa / dok. tribunnews

Hari lahir Pancasila jangan hanya diperingati saja.  Tuah Pancasila harus dikedepankan.  Hari-hari ini kesaktian Pancasila yang sebenarnya sedang diuji, harusnya kesaktiannya muncul saat ini, ketika masyarakat sedang terbelah sangat dalam setelah pemilihan presiden selesai.  

Nyatanya tidak.  Ada kelompok yang dlindungi meskipun isi cuitannya berisi fitnah, sementara ada kelompok yang dengan mudah ditahan dengan alasan penghinaan.  Ujian terberat dari sebuah kesaktian adalah menciptakan keadilan.  Berbuat adil itulah yang paling berat.  "Berbuat adillah meskipun terhadap musuh".  Itu ajaran luhung agama. 

Pancasila adalah murni milik bangsa Indonesia yang digali dari filosofis bangsa Indonesia.  Soekarno ada di titik sentral, tapi bukan sebagai perumus tunggal.  Ada nama lain sebagai perumus yaitu Mohammad Yamin dan Soepomo. Rumusan Pancasila yang sah kemudian dimuat dalam Pembukaan UUD 1945 yang disahkan oleh PPKI pada tanggal 18 Agustus 1945.  Isinya seperti yang selalu dibacakan saat upacara bendera di sekolah-sekolah. 

Jadi pemilik asli Pancasila adalah bangsa Indonesia, yang jauh sebelum Indonesia merdeka telah mendeklarasikan diri untuk bersatu.  Ibarat jahitan yang tertunda, Soekarno dan tokoh bangsa lainnya menuntaskan jahitan tadi sehingga menjadi utuh.  Adalah menjadi sebuah pertanyaan sebagai milik bangsa, sebagai milik bersama, tetapi yang berhak menafsirkan hanyalah sekelompok elite tertentu saja.  Bagi saya Pancasila yang terkandung dalam Pembukaan UUD 1945 sudah final, harusnya diperkuat bukan diperas atau saling meniadakan.

Bagaimana memperkuat Pancasila, dengan menegakkan keadilan, yang paling mudah dilihat adalah dilaksanakan dengan keteladanan. Kita sering mengingkari bahwa demokrasi yang berkembang saat ini tidak sesuai dengan Pancasila, tanpa kita sendiri menjalankan isi dari Pancasila.

Contoh penafsiran yang paling masuk akal misalnya sila keempat Pancasila,  "Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan".  Sejarah telah memberikan pelajaran pada saat Soeharto berkuasa, anggota DPR ditunjuk oleh partai pemenang Pemilu. Kemudian jaman berubah.  DPR, DPRD, Kepala Daerah dipilih langsung, apa maknanya?

  • Permusyawaratan perwakilan ada di tangan partai, sudah selayaknya menyiapkan para calon yang terbaik dan amanah sebelum dipilih oleh rakyat secara langsung.  Benar-benar yang terbaik bukan berdasarkan kedekatan, bukan berdasarkan nepotisme, bukan berdasarkan kekerabatan.  Di sini ada kalimat oleh hikmah kebijaksanaan, selalu melibatkan kehadiran yang Maha Kuasa yang tentunya terwakili dalam nurani masing-masing.
  • Dalam kasus persaingan politik yang sedang viral, antara Ganjar dengan Puan, kalau secara objektif dan disertai hikmah kebijaksanaan Ganjar dinilai lebih baik maka apa salahnya Ganjar yang dimajukan.  Sekaligus menepis bahwa PDIP bukan partai milik keturunan Soekarno.
  • Hal ini tentunya berlaku bagi partai lainnya, Demokrat bukan milik Pak SBY, Gerindra bukan milik Pak Prabowo dan seterusnya.  Sehingga orang-orang yang potensial dan cakap dapat terakomodasi dalam upaya dan usaha memajukan bangsa Indonesia

Namun yang terberat adalah mewujudkan keadilan sosial.  Sila ini dengan tepat disimpan di sila kelima.  Inilah tujuan utama berbangsa dan bernegara. Dalam perjalanan sejarah, baik para pemimpin yang diturunkan dari langit (para nabi), maupun pemimpin pilihan rakyat tujuannya mewujudkan keadilan.

Negara-negara maju, di Asia seperti Jepang atau Korea Selatan salah satu modal kemajuannya adalah adil ke dalam diri sendiri, mampu menghukum para penguasa. Jepang ketika baru skandal saja sudah mengundurkan diri, Korea Selatan mampu menghukum pemimpinnya bahkan dengan hukuman mati.  Integritas sangat penting dalam mewujudkan keadilan.

Dalam ajaran Islam Nabi menyatakan dengan tegas, "jika Fatimah yang melakukan pencurian, Aku sendiri yang akan memotong tangannya". Namun di sini, ketika terjadi pencurian dana bansos, yang dihancurkan adalah para penegak hukumnya.

Masihkah Pancasila punya tuah kesaktian?  

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun