Mohon tunggu...
Cak Kartolo
Cak Kartolo Mohon Tunggu... -

Iklan rokok membuat masyarakat kita permisif terhadap asap rokok. Pendukung gerakan anti-JPL (Jaringan Perokok Liberal). Penggagas hash tag #buangsajarokokmu

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Berani Tutup Pabrik Rokok? #‎KamiTidakTakut‬

25 Januari 2016   07:53 Diperbarui: 25 Januari 2016   08:03 40
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ada argumen, kalau pabrik rokok ditutup, buruh-buruh itu kerja dimana? Seakan-akan jika pabrik rokok ditutup, kiamatlah alam semesta beserta segala isinya. Ok, setiap tahun banyak pabrik rokok yang tutup karena kalah bersaing, manajemen kacau, dsb. Buruh-buruh pabrik rokok yang di-PHK, yang mungkin 95% perempuan itu, sampai saat ini belum terdengar berita mereka mati massal gara-gara kelaparan.

Kenapa? Ini jawabannya:

  1. Ada kultur yang beranggapan bahwa pencari nafkah kaum pria. Perempuan tidak wajib. Istilahnya pria bekerja untuk keluarga, perempuan bekerja untuk diri sendiri. Kata orang Jawa, buat beli wedhak pupur.
  2. Perempuan dianggap sebagai makhluk yang lebih tekun, nerimo dan lebih tidak agresif daripada pria. Sehingga pekerjaan melinting rokok yang lebih butuh keuletan (resilience) lebih pas dilakukan oleh perempuan. Resistensi terhadap upah murah pun tidak sebesar pria.
  3. Perempuan sebagai makhluk sosial pada umumnya memiliki kebutuhan untuk berkumpul dengan sesamanya jauh lebih besar daripada pria. Pabrik rokok menyediakan tempat dimana mereka bisa saling bertemu untuk melakukan apa yang lumrahnya dilakukan oleh perempuan, seperti berbagi cerita, gosip, arisan, utang-piutang kebutuhan sehari2, dst. Daripada bengong di rumah.
  4. Perempuan juga lebih adaptable, mudah menyesuaikan diri, berganti pekerjaan bisa dikuasai dengan cepat.
  5. Ada pandangan yang mengatakan bahwa perempuan tidak perlu sekolah tinggi-tinggi, karena toh nanti dikawinkan dan ikut apa kata suami (surgo nunut neroko katut). Sekolah tinggi dianggap membebani ekonomi keluarga.
  6. Jika di lingkungan sekitar kebanyakan perempuan bekerja sebagai buruh pabrik rokok, kemungkinan besar anak perempuannya tidak bercita-cita tinggi atau tidak disekolahkan tinggi-tinggi karena toh nanti bekerja membantu keluarga sebagai buruh pabrik rokok juga sambil nunggu calon suami.

*****

Pandangan di atas menjadi acuan para juragan rokok sehingga keputusan menutup pabrik itu bisa lebih mudah diambil, apalagi jika return dari PHK buruh jauh lebih besar daripada mempertahankannya. Plus apalagi tidak ada kontrak kerja dan hanya kesepakatan saja bahwa pekerja hanya dibayar berdasar jumlah rokok linting yang disetor. Gak ada setoran ya gak bayaran.

Dengan sikon demikian maka layaklah jika dibuat semacam hipotesis bahwa pabrik rokok itu memiskinkan buruh dan lingkungan sekitarnya. Buruh bekerja sekedar cukup makan (kebutuhan minimum kalori) sehingga jauh dari kesejahteraan (sandang dan papan). Semua pandangan di atas menciptakan lingkaran sosial yang menjebak buruh karena mereka tidak pernah benar-benar mampu keluar dari jerat kemiskinan. Pabrik rokok diuntungkan dengan kondisi dmkn karena tidak banyak tuntutan atau kebutuhan dari buruh, sehingga mereka dengan leluasa mampu menekan biaya upah buruhnya.

Mereka juga tidak perlu merasa harus mengentaskan masyarakat di sekitar karena semakin banyak buruh yang berpendidikan semakin banyak tuntutan (gaji). dengan 'mempertahankan' kemiskinan, anak-anak yang dilahirkan juga akan mengalami kekurangan gizi dan perkembangan otaknya juga terhambat sehingga melahirkan keturunan yang bekerja seperti ortunya, ya menjadi buruh lagi. Pendidikan di sekitar masyarakat buruh justru akan membuat suplai buruh murah jadi langka. Ini yang kemudian membuat usaha-usaha outsourcing marak karena pabrik rokok ogah resiko mempekerjakan buruh low skill.

*****

Surgo nunut neroko katut. Jika suami sang pencari nafkah ini ternyata bekerja serabutan dan punya kebiasaan merokok, semakin lengkaplah penderitaan keluarga miskin itu. Maka maha benar BPS dengan segala angka-angka statistiknya, bahwa rokok adalah penyumbang kemiskinan terbesar setelah beras. Industri rokok mempekerjakan orang miskin sembari memiskinkan mereka, keluarganya dan lingkungan sekitarnya.

Jadi kenapa menutup pabrik rokok tidak mengakibatkan buruh mati massal? Karena buruh itu manusia, mereka bisa beralih kerja di sektor lain. Sebagian pandangan di atas ada benarnya, tapi kebenaran itu juga yang kemudian dimanfaatkan oleh industri rokok untuk menggantikan buruh-buruh itu dengan mesin. Karena industri tahu, mem-PHK buruh linting tidak akan membuat mereka mati.

Pemerintah saja yang penakut, karena ditakut-takuti industri. Jadi, berani tidak mengatakan #KamiTidakTakut dengan ancaman industri rokok, pak Jokowi?


Upah Belum Dibayar, Ratusan Buruh Pabrik Rokok Duduki Kantor Disnakertrans Kediri http://www.kspi.or.id/buruh-kediri.html

Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun