Pandemi Covid-19 sejak bulan Maret 2020 memaksa peserta didik belajar dengan daring. Hal itu disebabkan karena belajar tatap muka sangat berisiko tinggi karena  penyebaran Covid-19 sangat cepat. Kini kita sedang pemulihan secara perlahan.Â
Dari pengalaman daring muncul pertanyaan bagaimana dampak belajar cara daring terhadap pemahaman siswa terhadap materi pelajaran dan bagaimana adaptasi siswa terhadap hubungan sosial di sekolah dan kesulitan materi pelajaran mengingat pelajaran sebelumnya tidak tuntas karena kondisi pandemi ditambah masalah fasilitas seperti laptop dan android yang terbatas. Â
Bagaimana mengetahui dampak itu dan bagaimana memulihkannya?
Kebijakan pemerintah untuk melindungi anak-anak dari risiko terpapar Covid-19 dengan cara belajar daring sangatlah tepat karena tugas negara adalah menyelamatkan warga negara dari ancaman apapun.Â
Kebijakan cara belajar daring itu diputuskan dalam kondisi darurat karena keadaan ketika itu sangat mecekam. Kebijakan itu diputuskan tanpa kesiapan fasilitas di kota maupun daerah.Â
Dampak terbesar dari kebijakan ini adalah di daerah daerah terpencil karena minimnya fasilitas seperti ketersediaan laptop, telepon android dan sinyal yang tidak stabil.Â
Di kawasan Danau Toba, ada keluarga memiliki anak 4 bahkan lebih tidak memiliki laptop dan hanya 1 telepon android. Banyak siswa yang sama sekali tidak belajar tetapi naik kelas dua kali selama pandemi.
Siswa yang naik kelas dua kali selama pandemi dan kini belajar tatap muka dalam temuan kami dari Martin Manurung Centre (MMC) sangatlah memprihatinkan.Â
Para ahli pendidikan yang mencoba mengajar mereka mengeluh karena siswa yang mereka didik jauh tertinggal. Misalnya, sebelum pandemi siswa kelas 1 SMP setelah pandemi menjadi kelas 3 SMP.Â
Ketika belajar tatap muka, banyak siswa yang bingung karena pelajaran kelas 3 SMP tidak dapat dipahami. Konsep dasar pelajaran kelas 1 SMP belum dipahami tetapi harus diperhadapkan kepada konsep dasar materi pelajaran kelas 3 SMP.Â
Keprihatinan ini saya kira berlaku di seluruh Indonesia dari Sabang sampai Merauke. Dalam kondisi ini perlu kebijakan khusus untuk mengatasinya dengan berbagai cara. Salah satu cara paling tepat adalah siswa membutuhkan matrikulasi dengan tatap muka.