Mohon tunggu...
Gurgur Manurung
Gurgur Manurung Mohon Tunggu... Konsultan - Lahir di Desa Nalela, sekolah di Toba, kuliah di Bumi Lancang Kuning, Bogor dan Jakarta

Petualangan hidup yang penuh kehangatan

Selanjutnya

Tutup

Nature

Refleksi Hari Lingkungan di Tengah Pemulihan Pandemi

5 Juni 2020   11:24 Diperbarui: 5 Juni 2020   11:29 103
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tanggal 5 Juni  menjadi hari lingkungan hidup sedunia sejak 5 Juni tahun 1974. Hari bersejarah itu berawal dari rapat pertama Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) di bidang lingkungan hidup  tanggal 5-16 Juni 1972. Jepang dan Senegal adalah negara yang pertama mengusulkan bahwa 5 Juni adalah hari lingkungan hidup se dunia.  Ketika pertama kali merayakan hari lingkungan hidup tahun 1974,  kasus minamata yang menyerang syaraf terjadi di Jepang dan kabut asap di Eropa. Hari peringatan sedunia yang pertama kali mirip dengan tahun 2020 ketika dunia dilanda Pandemi Covid 2020.

Kesadaran seluruh bangsa dibawah naungan PBB menyadari  akan menurunnya kualitas lingkungan secara terus menerus membuat PBB mencari jalan keluar untuk menemukan konsep  yang tepat untuk mengatasi pemanasan global (global warming). PBB mencanangkan Millenium Development Goals (MDGs) hingga kini disebut Sustainable Development Goals (SDGs). Inti dari konsep itu adalah pembangunan berkelanjutan (sustainable development).

Indonesia adalah negara yang telah meratifikasi konsep pembangunan berkelanjutan  itu. Tetapi dalam kenyataanya tidak banyak konseptor pembangunan kita yang memahaminya. Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2018 telah membuat panduan indikator pembangunan berkelanjutan (sustainable development) tetapi dalam kenyataanya indikator itu diabaikan begitu saja. Pemerintah masih berorientasi ke pertumbuhan ekonomi an sih angka-angka tanpa pertimbangan fungsi  lingkungan. Padahal, kita tidak dapat hidup di tengah lingkungan yang rusak.

 Otorita Yang Membuat Menderita 

 Sejak diterbitkannya Perpres no 49 tahun 2016 tentang   Badan Otorita Pengelola Kawasan Pariwisata Danau Toba (BOPKPDT) atau diringkas dengan Badan Otorita Danau Toba (BODT) yang terjadi selama ini adalah konflik yang teramat dahsyat.  Penduduk lokal  merasa bahwa tanah ulayatnya, "dirampok" negara. Karena merasa, "dirampok" maka mereka melawan BODT dengan cara membuka pakaian mereka. Penduduk lokal telah kehabisan akal ketika BODT membawa  escapator, polisi, tentara, pamong praja mengusir mereka dari tanah nenek moyang mereka sejak ratusan tahun lalu.

dokpri
dokpri
Dalam peringatan hari lingkungan hidup tahun 2020 di tengah pandemi Covid 19 ini adalah momentum bagi kita untuk merenung, berkontemplasi bahwa nilai uang atau pertumbuhan ekonomi dengan hanya menghitung angka-angka ternyata tanpa makna.  Ketika penduduk lokal harus 'dirampok' tanah ulayatnya, ternyata  akan memunculkan kemiskinan baru. 

Ketika pandemi Covid 19 datang kita melihat seberapa kuat negara memberikan sembako untuk rakyat miskin?. Apakah investor memberikan sembako ke rakyat miskin ketika Covid 19?. Ketika pandemi Covid 19 datang, menteri keuangan yang bersusah payah untuk program relaksasi, realokasi, refocusing untuk menanggulangi Covid 19. Pengusaha dan BUMN meminta  keringanan-keringanan berupa pajak, bunga bank,  penundaan pembayaran kepada negara.

BODT sejatinya hadir ketika 7 Bupati  di Kawasan Danau Toba gagal mengelola wisata karena tidak ada koordinasi.  Kita melihat para Bupati gagal karean ego sektoral dan persoalan intenal Kabupaten masing-masing. Kita menyadari seorang Bupati sulit memajukan Kabupaten masing-masing karena rekruitmen  Aparatur Sipil Negara (ASN)  penuh masalah. Sulit bagi Bupati bergerak karena Sumber Daya  Manusia ASN terbatas.  Keterbatasan itu berlarut-larut sehingga sulit membagi waktu untuk berkoordinasi atau memang ego sektoral.

Ego sektoral Bupati di kawasan Danau Toba sejatinya ditutupi BODT  agar pariwisata  bertumbuh di Sumatera Utara.  BODT memiliki otoritas untuk menegur Bupati yang eksploitatif untuk menjaga kualitas lingkungan Danau Toba. BODT membuat aturan agar setiap rakyat, pejabat atau siapapun yang menabur ikan di danau Toba agar menghindari masuknya spesies predator yang sangat berbahaya ke Danau Toba.  BODT mendorong atau mendirikan Balai Benih Ikan (BBI) untuk pengembangan sepesies lokal Danau Toba.  Intinya BODT sejatinya bertugas menjaga  dan mempromosikan Danau Toba.

Realitanya, BODT berkonflik dengan rakyat lokal. Bagaimana mungkin parawisata di tengah-tengah konflik?.  Bagaimana mungkin rakyat ada rasa memiliki  ketika investor dihadirkan karena paksa?.  

Mengapa BODT tidak menggunakan konsep-konsep wisata yang berkelanjutan?.  Mengapa BODT  mengejar target sesuai harapan investor?.  Mungkinkah kehadiran investor yang dipaksakan akan berhasil?. Bagaimana dengan masa depan rakyat lokal yang menurut konsep pembangunan berkelanjutan (sustainable development) menekankan bahwa penduduk lokal dengan kearifannya yang utama?.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun