Sejarawan Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW) Salatiga Dr. Tri Widiarto Soemarjan, M.A mengatakan, “bahwa nenek moyang kita sejak pra sejarah Pithec Anthropus Erektus membuktikan bahwa kita adalah bangsa petarung, kita adalah bangsa yang kuat dan selalu menang dalam pertarungan hidup”.
Pitechantropus Erektus adalah manusia purba di Pulau Jawa. Mereka bisa bertahan bertahun-tahun dengan tantangan alam yang sangat keras, harimau, singa dan hewan lain yang mengancam kehidupan mereka. Perubahan iklim mereka harus hadapi dengan menciptakan budaya Andong, budaya Pacitan. Pithechanthropus musnah bukan karena meyerah tetapi karena proses evolusi menjadi homo sapiens yaitu manusia yang cerdas seperti kita, sambung sejarah yang juga mengajar teologia itu.
Hal itu disampaikan pak Tri demikian beliau kami panggil mengomentari video di medsos facebook saya tentang video seorang dokter yang menunjukkan, “Indonesia tidak kalah, tenaga medis tidak meyerah, kami rindu keluarga kami, 2 bulan tinggalkan rumah untuk kalian, Indonesia tetap kuat, Indonesia tidak kalah, putar balik jangan mudik, yuk berjuang bersamaku, kita bisa kok”. Video itu merupakan reaksi dari #Indonesiaterserah.
Tagar Indonesia terserah tidak ada dalam sejarah bangsa kita. Dimulai dari sejarah melawan penjajah dengan bambu runcing dan nenek moyang kita bertahan hidup di nusantara. Ketika saya ke pulau Tello di Kabupaten Nias Selatan, Sumatera Utara saya terkaget-kaget dan bertanya-tanya dalam hati bagaimana nenek moyang kita hidup di pulau pulau kecil ratusan tahun atau ribuan tahun lalu?. Naik kapal yang sudah canggih saja berjamjam sampai, bagimana dengan dulu?. Ombaknya luar biasa, apalagi ketika badai.
Bagaimana mereka bertahan hidup menuju pulau?. Dalam pikiran saya, bahwa nenek moyang kita memiliki daya tahan yang luar biasa. Bagaimana pula dengan pulau-pulau seperti Mentawai, pulau We di Aceh, Sibeirut dan pulau-pulau di Indonesia Timur?. Mereka bertahan dan berjuang tanpa obat-obatan. Mereka melawan ombak tanpa makan yang memadai. Mereka bertahan tanpa obat-obatan.
KATA DAN KALIMAT YANG MENGUATKAN/MEMBANGUN
Dalam kondisi banyak orang yang terpapar Covid 19, para medis yang bergerilya merawat terpapar Covid, dan saudara kita yang kesulitan makanan karena dampak Perubahan Sosial Berskala Besar (PSBB) sejatinya kita membuat tagar yang menguatkan mereka, tagar yang membangun semangat mereka. Tagar yang menguatkan dan membangun itulah yang mereka butuhkan. Tagar yang membuat mereka mampu bertahan.
Kritik yang sangat tajam itu sangat baik untuk meminimalisasi kesalahan, tetapi hal yang paling mendesak bagi kita adalah bukan kritik yang melemahkan. Apa yang diharapkan dari tagar Indonesia terserah?. Betul, bahwa kita kecewa dengan banyaknya saudara kita yang tidak mau mematuhi protocol kesehatan, betul, bahwa pemerintah sering tidak konsisten, tetapi harap maklum, semua dunia dalam kondisi gamang.
Dalam kondisi gamang inilah kita saliang membangunkan dan menguatkan. Kita bangunkan/kuatkan yang terpapar Covid 19, kita semangati para medis yang belum pulang dan dapat kita bayangkan lelahnya mereka pakai Alat Pelindung Diri (APD) yang mungkin kesulitan ke toilet berjamjam. Kesulitan yang juga mereka berpotensi terpapar Covid 19. Para medis itu potensi terpapar Covid 19, tidak jumpa keluarga, tidak lepas dari kehidupan sosial sudah 2 bulan lebih.
Dalam kondisi bangsa kita yang seperti ini, hal yang dapat kita kontribusikan adalah doa dan dukungan. Bahasa yang membangun dan menguatkan. Menghadapi Covid 19 adalah dibutuhkan kebersamaan, karena itu dibutuhkan kata, kalimat, tulisan yang menguatkan. Selain itu, kita bangun kesadaran kepada setiap yang kita kenal, maupun ruang public agar kita bersama. Kita menyadari terlalu banyak kekurangan pemerintah, masyarakat dan semua elemen, tetapi dalam kondisi sekarang hal yang mendesak adalah kebersamaan kita.
TELADAN DARI TARUTUNG