Mohon tunggu...
Agnes Hening Ratri
Agnes Hening Ratri Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Penulis, suka traveling dan melakukan aktivitas kemanusiaan.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Nasib Kelompok Patah Hati Pasca Didi Kempot Tiada

27 Mei 2020   14:15 Diperbarui: 27 Mei 2020   14:20 87
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Kesedihan selayaknya dihayati dengan menangis, berduka dan menitikkan air mata. Bahkan kalau perlu kita mengurung diri di kamar, menghabiskan tisu untuk menyeka air mata. Mungkin kita lupa makan, lupa mandi bahkan tidak mau berinteraksi dengan siapapun. Ibaratnya sakit dan perih ini hanya milik kita sendiri bisa jadi kita berfikir orang lain tak akan pernah merasakan apa yang sedang kita ratapi.

Mendengarkan musik pun kemudian harus mencari irama dan syair yang selaras dengan rasa di hati kita. Hal ini akan menambah kesenduan perih yang kita alami, ibaratnya semua hal harus sama dengan yang kita alama, minimal bersolidaritas dengan perasaan kita. Jika itu cocok dengan suasana hati, maka kita akan merasakan bahwa dunia berpihak pada luka-luka kita.

Sejak beberapa tahun terakhir ini, semua itu seolah terpatahkan oleh kehadiran syair-syair melow tetapi membuat jemari kita kemudian bergoyang. Kesedihan yang dibalut dengan irama musik campursari tak membuat kita kemudian mengurng diri, meratapi kepergian atau kehilangan kekasih kita. Kita bisa menumpahkan kemarahan,sakit hati dan kerinduan secara serentak atau berjamaah tanpa merasa orang lain akan mentertawakan kita. Tetapi justru kita menemukan solidaritas dari perasaan kita masing-masing melalui alunan musik campursari yang diramu dengan demikian apik oleh seorang Didi Kempot.

Orang tak perlu risau untuk berteriak untuk menyatakan patah hati dan nelonggo karena ditinggal kekasih, bahkan di lapangan terbuka kita bisa menangis secara serentak tanpa komando hanya dengan alunan musik dan syair yang diramu oleh anak seniman Ranto Gudel asal Solo.

Kita bahkan bisa saling mentertawakan kesedihan kita karena diapusi atau dibohongi pacar tanpa malu di tengah konser The Godfather of Broken Heart. Seperti lirik lagu Cidro, yang berisi pengkhianatan cinta, meskipun  syairnya mendaraskan kepedihan, tetapi kita yang mendengarkan bisa ikut bernyanyi bahkan bergoyang ketika lagu ini berkumandang.

Bisa jadi kita merasakan betapa sakitnya dibohongi, tetapi di sisi lain melalui syairnya Didi Kempot mengajak kita untuk tidak melakukan kebohongan dalam kehidupan ini. Meskipun tentu sakit bagi yang mengalami, tapi lama-lama kepedihan itu tidak layak untuk terus menerus kita ratapi. Maka meskipun dalam suasana duka tetaplah tersenyum karena ternyata banyak orang yang mampu merasakan hal yang sama, dalam arti bukan deritamu sendirian.

Saya sendiri sangat menyukai lagu-lagu Didi Kempot terutama Banyu Langit, karena dalam syair tersebut terdapat kalimat yang mengajak kita untuk menjadi tempat berkeluh kesah atau menawarkan kita menjadi teman bagi orang yang sedang luka.

Saya memaknai begitu dalam syair lagu tersebut, meskipun ada lara, ada kepedihan tapi lihatlah masih ada aku yang bis amenjadi kawan berbagi duka dalam lara. Saya kemudian seperti terhenyak dari situasi pandemi covid ini, apakah saya sudah menjadi tempat orang berkeluh kesah dan membagi dukanya? Apakah saya sudah memberikan hati untuk mengobati rasa perih dan kangen mereka yang terdampak covid 19?

Ah...sangat luas dan dalam syair-syair yang di tulis oleh tangan dingin Didi Kempot. Bahkan saya tak mampu menghafal semua liriknya. Pada 11 April 2020, saya adalah bagian orang yang menyaksikan sampai tuntas konser terakhirnya di stasiun tv swasta. Ia tak hanya mengajak kita ramai-ramai patah hati, menangis, meratap dan mencari kesenangan pribadi, tapi menyiapkan diri untuk berbagi apa yang kita punya bahkan menyiapkan raga kita untuk menjadi sahabat mereka yang membutuhkan. Bahkan dengan suara dan syairnya Didi Kempot telah sukses mengajak masyarakat untuk membagi luka dan dukanya menjadi solidaritas kemanusiaan.

Kepergiannya 5 Mei pagi setelah sukses mengajak kelompok patah hati tak lagi meratapi kesedihannya dengan tangis dan air mata. Anak muda milenial tak malu berdendang dengan syair berbahasa jawa, cafe-cafe telah bergeser genre musiknya menjadi campursari tanpa merasa tersipu ketika ada live musik. Penyanyi tak sungkan melantunkan syiar patah hati versi Campursari ketika live di televisi, radio melantunkan lagu campursari tanpa ragu. Didi Kempot telah memberi warna bagi semua kalangan dan kelompok masyarakat. Konser music Campusari telah sukses mengahdirkan ribuan anak muda di lapangan, hall, stadion dan ruang-ruang publik untuk ambyar bersama, histeris menyatakan luka dengan irama jogetan yang asyik, bahkan ada slogan dari penabuh gendang Dory Harsa, "Nangiso tak kendangi". Maka menangislah nanti saya iringi kendang.

Tentu ia berharap kita tak hanya menangisi kepergiannya dengan patah hati tak henti, saya percaya Didi Kempot ingin kepulangannya ke surga diiringi syair patah hati yang memompa semangat tak henti. Meskipun ada luka/tatu karena kita ditinggalkan oleh sang maestro campursari tapi kita tetap akan mengenangnya sebagai salah satu orang yang sangat berjasa bagi anak muda Indonesia lintas suku, agama dan budaya. Kelompok patah hati berhutang jasa pada Didi Kempot, karena lewat tangan dinginnya aroma lara, luka dan patah hati menjadi begitu menyenangkan untuk dikenang dan bersama-sama dirayakan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun