Mohon tunggu...
Agnes Hening Ratri
Agnes Hening Ratri Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Penulis, suka traveling dan melakukan aktivitas kemanusiaan.

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Agus Ingin Kembali

14 Desember 2014   18:55 Diperbarui: 17 Juni 2015   15:19 60
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1418532801332032614

Lelaki itu tertunduk lesu, wajahnya terpekur menatap tikar yang dipakai alas duduk sejak pagi tadi. Ia tak sanggup melanjutkan ceritanya, meskipun dengan wajah penuh harap saya menunggu. Ia hening sejenak dan menghela nafasnya yang terasa berat. Lelaki itu adalah Agus, ia seorang pendeta yang memimpin sebuah gereja di kaki bukit. Diujung desa, dekat kantor kecamatan dan nyaris berhadapan dengan kantor polisi.

Matanya kemudian menerawang, mencoba mengumpulkan kebenaraniannya untuk melanjutkan cerita. "Sejak tahun 2012 lalu, saya tak diperbolehkan menginjakkan kaki di rumah saya, mereka memaksa saya pergi" ia melanjutkan lagi dan kemudian terdiam. "RT dan lurah turut hadir untuk mengusir saya, membuat saya tak punya pilihan untuk angkat kaki dari rumah saya sendiri, mereka menghibur saya, turuti saja kemauan ormas itu, hanya sementara kok anda pergi" ucap lurah, sambil menyodorkan selembar kertas yang harus saya tanda tangani.

Agus tak punya waktu untuk membaca lebih jauh isi surat itu, karena suara-suara yang memekakkan telinga turut membuat ricuh malam itu. Pak RT pun turut menimpali, " lakukan saja pak, ini untuk kebaikan anda" desakan bertubu-tubi itu menghancurkan nalar kesadaran Agus. Ia tak sanggup berfikir mengapa harus angkat kaki dari rumahnya di samping gereja malam itu. Ia bahkan tak sempat memberi tahu kedua anaknya yang sudah terlelap. Ia bahkan tak punya kesempatan untuk meminta konfirmasi aparat desa kapan ia bisa kembali ke rumahnya itu.

Sebulan, dua bulan, tiga bulan, setahun, dua tahun, atau empat tahun berlalu. Agus dan keluarnya tak punya kesempatan untuk kembali ke rumah itu. Bahkan tak ada kesempatan baginya untuk kembali bersama-sama warga RT melakukan kerja bakti, membersihkan gorong-gorong atau bahkan ningkrong bareng di pos rondo sudut kampung. Ia harus melupakan keinginannya itu. Setiap kali ia ingin kembali ke rumahnya, pak lurah kembali mengatakan, ormas itu masih sering mengitari kampung dan memastikan bahwa Agus tidak kembali ke rumahnya.

Hingga tahun ke empat Agus tak tahu apa yang sebenarnya dipersoalkan oleh ormas itu. Apa yang kemudian ditakuti oleh lurah dan RT. Ia tak juga mengerti tentang keberadaan gereja yang ia pimpin dipersoalkan. Apa masalahnya? Ijin mendirikan bangunan telah ia selesaikan, bahkan sudah dikantongi oleh pihak gereja. Umat juga tak ada yang punya mobil-mobil sehingga dianggap menghalangi jalan menuju kampung. Setiap tujuh belasan ia juga tetap diminta membayar iuran. Ada hal yang membuat Agus nyeri, ketika pungutan untuk kegiatan RT telah ia bayar, tetapi ia tetap tidak diijinkan untuk mengikuti rapat RT, alasan pak RT ada orams yang tidak suka dengan keberadaannya. Ia heran, yang mana ormasnya, siapa orangnya? Pak RT tidak bis amenyebutkan namanya.

Lebih heran lagi, Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) turut membiarkan Agus terlunta-lunta untuk beribadah dan kembali kerumahnya. Mereka beralasan, masih ada ormas yang melarang. Sampai kapan? Sampai ormas-ormas itu mati? Agus tak habis fikir apa kesalahan yang ia perbuat. Jika masalah IMB, bukankah gerejanya telah memenuhi itu semua? Terus apa lagi yang dipersoalkan?

Agus memilih untuk mengalah hampir 4 tahun. Ia memilih menyewa ruang-ruang pertemuan untuk beribadah. sementara gedung gerejanya dibiarkan kososng. Polisi beberapa kali mengingatkan Agus jika ia berencana ibadah di gereja, "pak keamanan bapak siapa yang menjamin?". Agus menjadi heran, polisi kok malah bertanya tentang keamanan warga negara yang sedang beribadah, bukankah itu tanggung jawab mereka? Negara ini telah jungkir balik.

Agus mengungkapkan pada saya tentang kerinduannya merayakan Natal di gereja, menyanyikan puji pujian dengan leluasa tanpa khawatir mendapat ancaman dan tekanan. Tahun ini ia sudah tak sanggup membayar sewa gedung lagi, ia sudah pasrah seandainya ibadahnya kali ini di demo dan diserang. Agus sadar bahwa hak dia untuk beribadah tak dapat dikurangi dalam kondisi apapun. Ia mengatakan kerinduannya untuk kembali menggunakan gereja itu.

Gereja Agus adalah puluhan gereja yang tersandera oleh oknum, ormas yang merasa memiliki kapling di negeri ini untuk menutup dan mengatakan bahwa tempat ini boleh dan tidak digunakan oleh umat beragama. Alhasil, peraturan bersama menteri yang mengatur rumah ibadah pun telah dipatuhi oleh penggunanya, tetapi ada saja alasan untuk melarang pengunaannya. Berbagai dalih dibenarkan seolah-olah. Bahkan campur tangan lurah, aparat yang saya yakin tidak paham betul tentang peraturan bersama menteri no 8 dan 9 tahun 2006. Mereka seolah -olah sangat paham, padahal tak dapat dipungkiri mereka berada pada tekanan kelompok intoleran. Lilin Adven :http://www.parokimbk.or.id/images2/small/2014111605195660786.jpg

Agus kini telah berani membuka komunikasi, ia makin mantap mengatakan bahwa hak saya sebagai warga negara selama ini telah dirampas. Kemerdekaan untuk beribadah yang dijamin Undang-Undang telah dirampok. Harusnya negara berdiri dipihak yang benar, menegakkan jaminan konstitusi. Di tengah diamnya pemerintah dan lembaga-lembaga agama, Agus berharap apa yang diharapkan itu bukan sesuatu yang melanggar hukum, maka ia harus dapatkan lagi. Natal sebentar lagi, ia rindu anak-anak mengjias gua natal di dalam gereja, menyalakan lilin dengan diiringi lagu malam kudus. Agus menitikkan air matanya....

Gunungkidul, 14 Desember 2014

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun