Menjadi negara dengan sistem demokrasi terbesar ketiga di dunia setelah Amerika Serikat dan India tidak menjadikan sistem demokrasi Indonesia sebagai salah satu negara dengan sistem demokrasi terbaik di dunia. Pada Asia Tenggara saja, Indonesia menduduki posisi keempat pada Indeks demokrasi di Asia Tenggara pada tahun 2019 dengan 6, 48 poin.
Posisi keempat Indonesia menempatkan Indonesia dibawah Timor Leste yang berada diperingkat pertama dengan skor 7,19 poin, kemudian Malaysia dengan skor 7,16, dan terakhir disusul oleh Filipina dengan skor yang hampir sama yaitu 6,48 poin.Â
Secara global, Indonesia menempati peringkat ke-64 dari 167 negara. Peringkat ini menempatkan Indonesia pada label "demokrasi tidak sempurna", dibawah peringkat Lesotho, Republik Dominika, dan Rumania.Â
Data statistik menunjukkan keadaan demokrasi di Indonesia sedang terpuruk dan terus terpuruk, dengan skor terendah dalam 14 tahun terakhir, yang menempatkan Indonesia semakin jauh dibawah negara Malaysia.
Untuk sebagian besar periode demokrasi Indonesia, yang dimulai sejak pengunduran diri presiden otoriter Suharto pada tahun 1998, para analis telah menekankan dan sering menyesali kurangnya persaingan ideologis dalam politik Indonesia.Â
Di dalam sistem kepartaian di negara ini, perpecahan ideologis tertentu telah lama ada antara partai-partai Islam yang mencari peran yang lebih besar untuk ajaran Islam dalam kehidupan publik dan partai-partai pluralis yang mempromosikan visi multireligius negara Indonesia.
Namun kampanye politik biasanya inklusif. Partai dan politisi juga secara rutin berkolaborasi melintasi kesenjangan ideologis karena tujuan utama mereka adalah memasuki pemerintahan dan mendapatkan akses ke sumber daya patronase negara.Â
Akibatnya, beberapa analis menyimpulkan bahwa Indonesia adalah "salah satu negara demokrasi yang paling tidak terpolarisasi di Asia." Namun, sejak 2014, Indonesia menjadi lebih terpolarisasi secara politik.Â
Tiga pemilihan umum besar telah membuat negara ini lebih terpecah daripada yang telah terjadi dalam beberapa dekade: pemilihan presiden 2014, pemilihan gubernur 2017 di Jakarta, dan pemilihan presiden 2019.Â
Persaingan antara Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan mantan lawannya, Prabowo Subianto, memicu perpecahan politik yang sebelumnya tersembunyi antara Islamis dan pluralis.
Berbagai kekuatan politik dan masyarakat telah bersatu sejak 2014 untuk memecah-belah politik Indonesia, dan polarisasi berikutnya mengancam institusi demokrasi dan tatanan sosial negara.Â