Mungkin, kita yang teramat kerdil memahami perjalanan waktu. Membiarkannya berjalan sendiri, tanpa pernah mengucap sekedar ucapan terima kasih atas pemberiannya pada sebuah penyebutan yang dinamakan kesempatan.Â
Kita selalu beranggapan dangkal. Bahwa ruang setiap detik dan menitnya yang ia persembahkan hanyalah sebuah keharusan siklus. Kemudian kerap abai menghargainya, bahkan barangkali untuk menyadari kemunculannya pun terkadang lalai.
Dengan alasan sibuk dan sejumlah argumen klise, kita lantas membela diri atas kekeliruan pemikiran dalam memaknai keberadaannya, tanpa pernah berani sekali pun mengakui kekhilafan, bahwa memang selama ini kita sudah terlalu jauh terseret dan terjebak asumsi sesat melupakannya.
Waktu, bukanlah sekedar ketentuan kejadian semata, yang hadir sebagai pengiring kegelisahan hidup, lalu bertugas menulis setiap cerita dan menyimpannya secara detail di buku-buku kenangan setiap manusia.Â
Waktu juga, bukanlah hanya perintang perkara, yang setelah bekerja lalu diam, seakan linglung pada semua catatan peristiwa yang telah manusia lakukan.
Ia adalah kesetiaan, bukti peradaban yang tak pernah tahu kata mundur atau maju. Ia adalah keadilan, fakta sebuah kultur yang tak pernah sepihak dan berpihak. Ia adalah kepastian, bahwa suatu saat nanti akan datang meminta tanggung jawab setiap insan, pada semua hal tentang apa dinamakan perbuatan.
Sinjai, 02 Juli 2019