Mohon tunggu...
Guntur Saragih
Guntur Saragih Mohon Tunggu... -

Saya adalah orang yang bermimpi menjadi Guru, bukan sekedar Dosen atau Trainer.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Pembunuhan SMA Taruna dan Nyali Anak Mileneal

4 April 2017   06:22 Diperbarui: 4 April 2017   21:07 89
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Berita miris kita dengar dalam minggu ini tentang pembunuhan dari seorang siswa SMA kepada sesama teman. Pembunuhan dilakukan dengan cara-cara pengecut, yaitu membunuh dalam keadaan korban tertidur. Saya teringat dengan kemarahan Krisna terhadap Aswatama, karena membunuh seluruh anak pandawa yang sedang tertidur. Krisna bahkan menganggap Aswatama lebih rendah dibandingkan dengan Duryodana, karena Duryodana berani berhadapan langsung bukan dibelakang.

Fenomena pembunuhan satu dari banyak masalah anak-anak kita. Masalah yang mirip tetapi dengan intensitas yang tinggi adalah tawuran, baik antar sekolah maupun antar geng.dua masalah tersebut bagi saya memiliki akar masalah yang sama, yaitu sifat pengecut pelakunya. Pelaku jelas tidak punya nyali untuk berhadap-hadapan secara jantan.

Berani Tampak Muka

Pelajaran penting yang dahulu telah menjadi keyakinan dan nilai-nilai yang pernah Saya alami adalah sifat kejantanan seorang anak laki-laki dengan berani menghadapi masalah di depan, bukan sembunyi, apalagi diam-diam pukul curi.

Bagi Saya, masalah ini bukan semata urusan kriminal atau kejahatan. Anak-anak seperti ini punya masalah dalam konteks metakognisi tentang apa yang menjadi nilai, apa yang ia yakini sehingga memotivasi dan akhirnya punya regulasi diri. 

Anak yang diam-diam membunuh menunjukkan rendahnya nilai-nilai ksatria. Ajaran agar menyelesaikan di depan sepertinya mulai pudar. Berani menyelesaikan tanpa harus keroyokab, jagoab dengan cara-cara laki-laki. 

Saat media sosial begitu dahsyatnya menunjukkan kepengecutan, saat buzzer dibayar untuk memojokkan seseorang dengan akun palsu, saat orang tua tidak lagi langsung menegur anaknya, saat pejabat sibuk menikam dari belakang, berkhianat, ngomong di depan iya dibelakang tidak. Saat pemimpin mengucapkan siang tempe malam tahu. Maka saat itu juga jiwa pengecut itu terinternalisasi dalam anak-anak kita.

Event Tanding Versus Lomba

Sekolah saat ini, lebih ganjen untuk berlomba olyimpiade, lomba hapalan A, hapalan B. Saat kegiatan fisik ala laki-laki begitu minimnya. Maka anak-anak kita tidak berani tinju lawannya di depan. Tidak berani tendang temannya secara langsung di depan. Anak-anak kita juga tidak terbiasa menjawab langsung masalah yang dihadapi. 

Kita lebih menghargai lomba dibandingkan tanding. Kita lebih banyak mengajak lomba anak-anak kita menggerutu sendiri dalam kekesalan pertandingan. Saya masih ingat betapa sakitnya dismash lawan main bulutangkis. Saya harus berani menatapnya langsung saat bola keras ditujukan ke Saya.

Mental ngumpet begitu leluasa atas nama perlombaan. Bayangkan, lomba-lomba yang menjadi harga diri anak-anak kita dicederai oleh keputusan hantu dibelakangnya. Akibatnya anak-anak menjadi cengeng dan menyusu ke orang tuanya memohon perlindungan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun