Mohon tunggu...
Guntur Saragih
Guntur Saragih Mohon Tunggu... -

Saya adalah orang yang bermimpi menjadi Guru, bukan sekedar Dosen atau Trainer.

Selanjutnya

Tutup

Bola Pilihan

Naturalisasi Pemain Timnas yang Tidak Natural

18 Maret 2017   01:47 Diperbarui: 18 Maret 2017   02:36 779
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bola. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Minimnya prestasi sepakbola nasional dalam laga internasional sudah pada tahap kritis. Dapat dibayangkan, terakhir kali timnas senior merebut juara pada tahun 1991 di Sea Games Philipina. Padahal, olahraga ini paling digemari baik sebagai penonton maupun pemain   oleh masyarakat Indonesia. Lantas, jalan pintas pun dilakukan, yaitu melakukan naturalisasi pemain yang  dianggap lebih baik dari pemain Indonesia demi asa merebut juara.

Hasilnya, sampai kinipun kita belum pernah menjadi juara dalam ajang internasional, kalaupun pernah dilakukan oleh  tim U-19 di tahun 2013 dalam ajang AFF U-19. Meskipun saat ada pemain naturalisasi, seperti Gonzales, Indonesia meraih tempat di Final AFF 2010. Benarkah Indonesia harus merekrut pemain naturalisasi untuk meraih sukses, atau ini sebagai bentuk kehilangan perca diri PSSI terhadap tim nasional.

Dalam berbagai kondisi rekrutmen naturalisasi sangat memperhatikan kedekatan dengan aktifitas sepakbola pemain yang akan dinaturalisasi. Jerman contohnya, timnas mereka menaturalisasi pemain seperti Ozil, Khedira, Klose, Boateng yang kesemuanya pernah berkiprah di Bundes Liga (Liga Jerman). Pada awalnya naturalisasi di Indonesia mengikuti pola seperti itu. Kita mengenal Gonzales telah lama merumput di Liga Indonesia, Victor Ikbonefo, David Laly. Namun, PSSI pernah juga langsung menggunakan pemain asing langsung tanpa pernah sang pemain pernah bermain di Liga Indonesia.

Naturalisasi  Akal Bisnis FIFA

Kita semua tahum FIFA sudah menjelma menjadi EO dari perhelatan industri sepakbola. Nilai kontrak TV dan berbagai sponsor menuntut FIFA menghadirkan tontonan yang  memiliki rating tinggi. Jika, dalam piala dunia terdahulu, partai antara tim unggulan melawan tim non unggulan begitu kontras skornya, maka melalui naturalisasi pertandingan akan lebih enak ditonton. Karena meskipun negara yang bersangkutan tidak memiliki squad dalam negeri yang mumpuni, maka negara tersebut dapat menggunakan jasa pemain lain.

Dengan banyaknya pemain top bermain dalam ajang internasional, maka fulus bagi FIFA semakin mengalir. Pemain-pemain bagus yang  tidak memiliki kesempatan karena negaranya tidak kompetitif, atau karena sang pemain kalah bersaing di timnas yang sangat kompetitif seperti Brazil atau Argentina.

Naturalisasi Mengisi Gap Bukan  Membuat Gap

Jika pun naturalisasi pemain dibenarkan, seyogianya hal tersebut dilakukan  dalam rangka mengisi Gap dari komposisi pemain. Jerman tidak memiliki striker handal, karenanya mereka menaturalisasi Miroslaf Klose dan Gomez. Jerman masih kurang mumpuni untuk posisi  palang pintu, karenanya Jerome Boateng diundang. Bandingkan naturalisasi saat ini dilakukan secara ugal-ugalan. Kita sudah menaturalisasi Gonzales dan Irfan Bachdim untuk posisi striker, namun masih saja ditambah dengan greg Nwokolo, Sergio Van Dick. Bahkan, saat ini masih berburu striker bernama Ezra, salah satu pemain akademi Ajak.

Bahkan, Menpora dengan intensif memperjuangkan pemain Ini mendapatkan kewarganegaraan. Demi memuluskan jalan, surat permohonan sudah ditangan presiden Jokowi. Yang lebih unik Menpora dengan intensif mengejar pemain-pemain berdarah Indonesia untuk di naturalisasi. Cara ini sangatlah tidak natural. Pemain diincar oleh timnas melalui kedutaan. Sungguh ironis, kewarganegaraan yang  dianggap sangat mahal  diobral untuk ditukar berkiprah di timnas.

Langkah menpora menaturalisasi memiliki kesan kuat apatis dengan pencapaian anak bangsa. Kita masih ingat bagaimana seorang pemain cilik berbakat bernama Alif kesulitan pendanaan saat mengikuti pelatihan di Belanda. Menpora tidak menganggap seorang Alif dapat menjadi seseorang pemain besar, mungkin juga karena panen dari membesarkan Alif tidak akan terjadi dalam periode kemenpora yang sampai 2019.

Biar bagaimanapun naturalisasi harus dijalankan secara natural bukan ugal-ugalan. Bayangkan Indonesia menaturalisasi pemain yang sudah berusia kepala tiga. Menaturalisasi pemain yang  sebenarnya tidak berkiprah baik di klubnya. Atau menaturalisasi pemain yang sedang cedera. Meskipun sudah begitu lama, suporter Indonesi amasih tetap setia mendukung timnas. Jadi, tak perlu grasak grusuk, apalagi membentuk tim pencari bakat naturalisasi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun