Mohon tunggu...
Guntur Subagja Mahardika
Guntur Subagja Mahardika Mohon Tunggu... -

Suka menulis dan menikmati yang indah-indah.... Email: guntur@globalmahardika.com, www.guntursubagja.com

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Negeri Tanpa Pemimpin (Catatan 65 Tahun Indonesia Merdeka)

17 Agustus 2010   16:32 Diperbarui: 26 Juni 2015   13:56 1068
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Kalau saja para pejuang negeri ini masih hidup, boleh jadi mereka menangis melihat perkembangan bangsa ini. Apa yang mereka korbankan: harta, darah, dan nyawa, selama puluhan dan ratusan tahun untuk kedaulatan Indonesia yang merdeka, seakan sia-sia.

Kedaulatan negara kini sudah terkoyak. Persatuan bangsa mulai retak. Dan tujuan kemerdekaan untuk mewujudkan masyarakat adil, makmur dan sejahtera semakin jauh panggang dari api.

Coba lihat penderitaan rakyat. Meski pemerintah mengklaim indikator-indikator ekonomi dan kesejahteraan mengalami banyak perbaikan, namun realitanya justru kemiskinan semakin memenjara mereka.

Angka-angka penurunan kemiskinan dan peningkatan kesejahteraan yang dipublikasikan selama ini seakan-akan hanya sekadar angka matematika dari hasil simulasi di atas kertas, dengan rasio dan asumsi yang bisa ditentukan hasilnya ingin seperti apa. Mau dibuat jumlah penduduk miskin berkurang bisa, mau dibuat penduduk miskin bertambah bisa. Tinggal geser-geser garis kemiskinan dan mengubah indikator dan asumsi-asumsinya. Bukan dengan meningkatkan kesejahteraan rakyatnya.

Pendidikan gratis bagi anak usia SD dan SMP juga sekadar retorika belaka. Pemerintah memang mengalokasikan dana cukup besar untuk sektor pendidikan, sekitar 20 persen dari APBN pada 2010, atau senilai Rp 220 triliun. Namun, kenyataanya masih banyak anak yang tidak mampu bersekolah karena orang tuanya tidak sanggup membayar “itu ini” – dengan istilah sumbangan pendidikan atau pungutan yang beragam – yang ditetapkan sekolah.

Anggaran pendidikan itu tidak menetes seutuhnya ke masyarakat yang dituju. Padahal, bila dana Rp 220 triliun itu dibagikan saja kepada sekitar 40 juta rakyat Indonesia yang miskin, masing-masing akan menerima Rp 5,5 juta per orang. Atau bila dibagikan kepada keluarga miskinyang sekitar 12 juta jiwa, maka masing-masing keluarga akan memperoleh dana hampir Rp 20 juta rupiah. Otomatis dengan pendapatan sebesar itu, si miskin bakal lolos dari garis kemiskinan dan akan mampu menyekolahkan anak-anaknya dan hidup yang layak.

Di bidang ekonomi, sangat memprihatinkan. Kekayaan alam negeri ini sebagian sudah digadai ke asing. Korporasi-korporasi asing menguasai sumber-sumber alam, seperti minyak, emas, tembaga, batubara, bahkan air. Dengan dalih mereka membawa teknologi tinggi dan investasi, pemerintah negeri ini cukup senang hanya memperoleh royalti sebesar lima atau sepuluh persen dari hasil yang diperoleh perusahaan-perusahaan asing tersebut. Dan mengherankan , kehadiran perusahaan asing itu dibanggakan pemerintah sebagai indikator kuatnya kepercayaan asing terhadap Indonesia.

Realita yang ironis ini juga terjadi di sektor keuangan. Hampir seluruh bank besar di Indonesia dikuasai asing. Bank-bank swasta yang pada krisis finansial 1998 lalu ambruk dan disuntik negara hampir Rp 900 triliun, diobral murah kepada asing, dan kini menjadi milik mereka.

Sektor perdagangan juga sama. Pemerintah dengan bangga dan senang membuka selebar-lebarnya untuk produk asing dengan bendera globalisasi perdagangan. Sementara produk dalam negeri tergerus oleh produk asing yang seringkali memberikan harga murah karena disubsidi oleh pemerintah negara mereka.

Perusahaan lokal, UKM, apalagi usaha mikro dibiarkan, bahkan mungkin dikondisikan, tergusur dan mati. Pasar-pasar tradisional merana, terpental pasar modern yang “super” dan “hyper”, seperti Carefur, Giant, Hypermart, dan lainnya. Warung-warung rumahan juga mati lantaran pemerintah dengan mudahnya mengijinkan minimarket yang kini masuk ke pemukiman-pemukiman.

Pemerintah tampaknya senang rakyatnya hanya sekadar menjadi konsumen. Apalagi pemerintah berdalih konsumsi masyarakat juga menjadi indikator utama pertumbuhan ekonomi. Tak peduli sebagian besar yang dikonsumsi itu adalah barang-barang asing, yang sebenarnya bisa diproduksi sendiri bila pemerintah memiliki political will mendukung usaha lokal, UKM, dan usaha mikro.

Lebih parah lagi kedaulatan negara dan pertahanan negeri yang dipermainkan bangsa lain. Militer kita, sejak belasan tahun dikebiri negeri Adidaya, polisi dunia, dengan mengusung isu hak asasi manusia (HAM). Indonesia sebagai negeri yang berdaulat, “dilarang” memiliki militer yang kuat. Negeri itu memboikot bangsa ini untuk melengkapi alat-alat perangnya. Bahkan perangkat perang yang dibeli dari mereka pun, seperti pesawat tempur F-16, kemudian tidak diperbolehkan untuk mendapatkan suku cadangnya. Maka, satu per satu pesawat tempur itu jatuh saat latihan dan menewaskan putra-putra terbaik bangsa ini yang mengemudikannya.

Bukan hanya pesawat, perlengkapan militer lainnya juga minim. Anehnya pemerintah “nunut” saja pada tekanan asing, sampai-sampai anggaran untuk pertahanan pun – khususnya pengadaan alat-alat pertahanan (alusista) – terus menciut. Jadinya, militer kita menjadi “macan ompong” yang berusaha tampil gagah dengan senjata tua dan terbatas.

Maka, ketika negeri kecil dari jiran mempermainkan kita dengan show of force menembaki orang Indonesia di wilayah laut Indonesia, atau mengklaim pulau dan perbatasan, pemerintah Republik Indonesia hanya bisa berucap dengan santun dengan tatapan mata tertunduk -- kalo tidak ingin dibilang tidak percaya diri – dan bilang “mari kita bicarakan melalui jalur diplomasi”. Bisa-bisa moncong senjata negeri lain sudah di depan Istana Negara pun hanya bisa berucap “sabar… kita diskusi ya!” Menyedihkan.

Di sisi lain persatuan bangsa ini juga mulai retak. Bila menonton televisi atau membaca berita, hampir setiap hari terjadi sejumlah bentrokan massa, kerusuhan, perkehalian. Persoalannya macam-macam, mulai dari masalah pemilihan kepala daerah, sengketa tanah, perkelahian mahasiswa, hingga masalah perbedaan agama.

Pemerintah dan aparat keamanan – khususnya polisi – tampak diam saja. Sejumlah pelaku kerusuhan, pembakar kendaraan, perusak rumah warga dan fasilitas publk – baik yang menamakan dirinya kelompok /pendukung pihak tertentu atau organisasi massa (ormas) – dibiarkan saja. Kalo pun ada yang diproses hukum, hanya kroco-kroco-nya. Sementara petingginya tak tersentuh. Tak ada efek jera bagi mereka, dan terus mengulang begitu.

Masih banyak realita dan peristiwa yang membuat kita miris, prihatin, dan memilukan. Justru semua terjadi ketika Indonesia sudah berusia dewasa, 65 tahun. Ironisnya, kondisi ini semakin parah sejak pasca gerakan reformasi tahun 1998. Sudah berganti empat presiden, situasi masih belum bisa diatasi dan kecenderungannya semakin memburuk.

Mengapa semua itu terjadi? Persoalannya sebenarnya hanya satu hal. Saat ini kita tidak memiliki pemimpin. Kita memang punya presiden dipilih rakyat, punya wakil rakyat yang juga langsung dipilih rakyat, punya pimpinan lembaga tinggi negara, tapi kita tidak punya Pemimpin.

Negeri ini membutuhkan pemimpin yang memiliki visi dan leadership yang kuat. Bukan pemimpin yang cengeng. Bukan pemimpin yang hanya senang beretorika. Bukan pemimpin yang hanya mampu membuat “kesan” dengan citranya. Bukan pemimpin yang hanya ingin berfoto bersama – bahkan mengidolakan – pemimpin negara lain. Juga bukan pemimpin yang hanya berani menangkapi rakyatnya, sementara kepada negara lain yang berulah hanya bisa bilang “kita tempuh jalur dialog”.

Pemimpin yang diperlukan adalah pemimpin yang berjuang untuk rakyatnya. Pemimpin yang mampu mewujudkan cita-cita para founding fathers dan harapan bangsa ini, mewujudkan masyarakat adil, makmur, dan sejahtera.

Dulu, dengan visi dan leadership yang kuat, para pahlawan kita mampu menumbangkan penjajah yang bersenjata lengkap, hanya dengan sebilah bambu runcing. Dengan visi dan leadership yang kuat, Bung Karno dan Bung Hatta bersama para tokoh pendiri negeri ini, mampu memproklamasikan negara merdeka dan mempersatukan bangsa Indonesia, dengan sejumlah keterbatasan saat itu.

Sekarang kita masih punya waktu. Pemimpin yang sudah mendapat amanah dari rakyat, saatnya untuk bekerja. Dengan visi yang jelas dan leadership yang kuat. Pemilihan Umum sudah lewat, bukan saatnya lagi beretorika, apalagi hanya sekadar menjaga citra. Mari bekerja, bekerja, bekerja… untuk mensejahterakan rakyat Indonesia. Bukan yang lain!

Dan para pejuang bangsa ini pun akan tersenyum.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun