Mohon tunggu...
Guntur Subagja Mahardika
Guntur Subagja Mahardika Mohon Tunggu... -

Suka menulis dan menikmati yang indah-indah.... Email: guntur@globalmahardika.com, www.guntursubagja.com

Selanjutnya

Tutup

Money

Kisruh Freeport dan Momentum Renegosiasi Kontrak Karya

25 November 2011   07:53 Diperbarui: 25 Juni 2015   23:13 444
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bisnis. Sumber ilustrasi: PEXELS/Nappy

Kisruh PT Freeport Indonesia telah menyedot perhatian banyak pihak. Pemogokan karyawan yang didasari oleh tuntutan kenaikan gaji, kini melebar ke masalah-masalah strategis lainnya. Perusahaan pertambangan milik Amerika Serikat itu terpaksa menghentikan operasinya. Mereka pun harus bernegosiasi dengan mitra kerjanya karena tidak mampu memenuhi kewajibannya, lantaran hanya mengoperasikan kapasitas produksi sebesar lima persen saja. Sudah berminggu-minggu permasalahan ini belum membuahkan hasil. Negosiasi antara pekerja dan perusahaan sedang berjalan. Kali ini difasilitasi pemerintah, untuk memeroleh titik temu antara tuntutan pegawai yang meminta upah 4 dolar AS (setara Rp 35 ribuan) per jam dengan keinginan perusahaan yang hanya mau membayar 3,09 dolar AS (setara Rp 27 ribuan) per jam. Perusahaan yang mayoritas sahamnya dimiliki Freeport – Mc MoRan Copper & Gold Inc itu, memiliki 22.000 karyawan, yang menurut Freeport 98 persen adalah warga negara Indonesia. Dari sejumlah itu 28 persennya adalah warga Papua.  Perusahaan ini menambang, memproses, dan melakukan eksplorasi bijih emas, perak, dan  tembaga. Freeport yang beroperasi di dataran tinggi Kabupaten Mimika Provinsi Papua ini memasarkan konsentrat bijih emas, perak, tembaga tersebut ke berbagai penjuru dunia. Tuntutan kenaikan upah oleh buruh sebenarnya hal yang sering terjadi di perusahaan-perusahaan di Indonesia. Demonstrasi dan pemogokan buruh besar-besaran juga kerap dilakukan di banyak daerah. Namun, kasus Freeport ini tentu berbeda dengan pabrik-pabrik lainnya. Kasus ini menyedot perhatian besar pemerintah Indonesia dan juga pemerintah Amerika Serikat. Freeport bukanlah sekedar perusahaan biasa. Ia merupakan perusahaan strategis Amerika yang sudah puluhan tahun menancapkan kakinya di Bumi Pertiwi. Freeport mengeruk perut bumi Papua dan menggondol jutaan ton emas dan tembaga. Di pulau yang kaya sumber daya alam dan mineral itu secara kasat mata tampak terjadi kesenjangan secara kontras antara kawasan yang dikelola dan dihuni Freeport – yang tampak mewah dan gemerlap — dengan wilayah yang dimukim warga Papua pada umumnya. Freeport meraup untung banyak, sementara sebagian besar masyarakat Papua hidup miskin. Pemogokan masal buruh Freeport boleh jadi merupakan sebuah puncak dari sebuah gunung es, yang menyelimuti banyak persoalan sosial dan ekonomi di Tanah Papua. Sudah lama, kehadiran Freeport menyedot perhatian masyarakat, menuai kritik. Salah satunya  lantaran tidak adanya transparansi kepada masyarakat Indonesia ihwal sumber daya alam dan mineral yang dikeruknya dari pulau kaya di ujung timur Indonesia itu. Persoalan mendasar lainnya adalah porsi yang diterima pemerintah Indonesia yang dinilai tidak seimbang dengan hasil produksi yang diperoleh Freeport. Indonesia hanya menerima royalty dan kepemilikan saham yang kurang dari 10 persen. Ditambah penghasilan pajak. Nilai itu tidak seberapa dibandingkan dengan “harta karun” yang dikeruk Freeport ke AS dan dipasarkan ke penjuru dunia. Pihak Freeport berulangkali menepis tudingan sedikitnya manfaat yang diberikan terhadap Indonesia tersebut. Dalam keterangan resminya, tertanggal 2 November 2011, Freeport menyampaikan telah membayar 2 miliar dolar AS kepada Indonesia selama 2011. Dana itu dari pajak, royalti, dan dividen selama 9 bulan pertama di tahun ini.  Sejak 1992, Freeport sudah memberikan manfaat kepada Indonesia sebesar  13,4 miliar dolar AS. Wow, sekilas memang itu angka yang fantastis. Tapi, bayangkan, bila Indonesia yang memiliki saham kurang dari sepuluh persen saja (plus pajak) memperoleh  pendapatan  2 miliar dolar AS setahun, berapa pendapatan dan keuntungan Freeport? Inilah yang kerap mengundang pertanyaan dan kecemburuan rakyat terhadap perusahaan Amerika Serikat tersebut. Perlu diketahui, kompleks tambang Freeport di Grasberg Papua merupakan salah satu penghasil emas dan tembaga terbesar di dunia. Gasberg yang berada di jantung wilayah mineral yang sangat melimpah ini, memiliki cadangan emas dan tembaga sangat besar. Sebuah catatan dari Wikipedia yang bersumber dari Mining Technology – Grasberg Open Pit – Specifications, mengungkapkan bahwa tambang Grasberg, Papua,  adalah tambang emas terbesar di dunia dan tambang tembaga ketiga terbesar di dunia. Tambang  ini dimiliki  Freeport yang berbasis di AS (67.3%), Rio Tinto Group (13%), Pemerintah Indonesia (9.3%) dan PT Indocopper Investama Corporation (9%). Operator tambang ini adalah PT Freeport Indonesia , anak perusahaan dari Freeport McMoran Copper and Gold. Biaya membangun tambang di atas gunung sebesar 3 miliar dolar AS. Pada 2004, tambang ini diperkirakan memiliki cadangan 46 juta ons emas. Pada 2006 produksi Grasberg adalah 610.800 ton tembaga; 58.474.392 gram emas dan 174.458.971 gram perak. Hasil tambang Grasberg tahun sebelumnya adalah produksi tembaga sebesar 515.400 ton pada 2004 dan 793.000 ton pada 2005. Produksi emas meningkat dari 1,58 juta ons menjadi 3,55 juta ons. Freeport-McMoRan Copper & Gold Inc yang bermarkas di Phoenix, Arizone, Amerika Serikat itu,  merupakan perusahaan tambang  emas dan tembaga terbesar di dunia. Dengan begitu, sebagian besar produksi Freeport dunia adalah dikeruk dari Tanah Papua. Operasi Freeport lainnya di AS, Peru, Chili, dan Kongo. Melihat produksi emas dan tembaga yang sangat besar ini, menunjukkan bahwa kontribusi yang diberkan kepada pemerintah Indonesia melalui dividen dan pajak, termasuk program-program kepedulian lindungan serta pembangunan daerah di Papua, tidak seberapa dibandingkan dengan pendapatan yang diperoleh Freeport. Kisruh Freeport saat ini dapat menjadi momentum bagi pemerintah untuk merenegosiasikan ulang kontrak karya (KK) antara pemerintah dan Freeport. Dalam KK sebelumnya, dimana pemerintah hanya memiliki 9,3 persen saham, tentunya harus memiliki porsi yang lebih besar lagi. Bahkan, semestinya pemerintah yang harus menjadi principal dari tambang emas dan tembaga tersebut, sehingga pemerintah cukup memberikan hasil kepada Freeport sebagai ongkos operasi saja. Sayang, mungkin karena kekuatan besar negeri Adidaya di belakangnya, pemerintah Indonesia sendiri tampaknya sangat berhati-hati untuk melakukan renegosiasi kontrak karya dengan Freeport. Ini antara lain terlihat pada pernyataan pemerintah, melalui Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Jero Wacik, yang menyatakan renegosiasi akan difokuskan pada royalti yang diterima pemerintah, dengan mengedepankan prinsip saling menguntungkan (win-win solution). Dengan fokus hanya membahas royalti, bisa jadi renegosiasi yang dilakukan pemerintah tidak menyentuh hal-hal prinsip yang subtansial terkait dengan kontrak karya tersebut dan kepemilikan mineral di perut Papua. Padahal, semestinya momentum – kisruh dan permasalahan perburuhan yang penyelesaiannya difasilitasi pemerintah dan persoalan sosial lainnya – dapat dijadikan posisi tawar yang tinggi oleh pemerintah untuk bernegosiasi dengan Freeport. Sayang, bila momentum ini tidak dimanfaatkan dengan baik. (Guntur Subagja, Managing Director IndoStrategic, www.indostrategic.com) (Artikel ini dipubikasikan oleh Jaringan Kantor Berita Antara, 21 November 2011)

Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun