Mohon tunggu...
Guntur Subagja Mahardika
Guntur Subagja Mahardika Mohon Tunggu... -

Suka menulis dan menikmati yang indah-indah.... Email: guntur@globalmahardika.com, www.guntursubagja.com

Selanjutnya

Tutup

Money

Imporialisme

31 Maret 2013   20:33 Diperbarui: 24 Juni 2015   15:56 79
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bisnis. Sumber ilustrasi: PEXELS/Nappy

Siapa mengira bawang bakal menjadi “barang mewah”. Realitanya, hasil pertanian yang digunakan bumbu masak tersebut, dalam sebulan terakhir, harganya tidak terjangkau masyarakat. Bawang merah dan bawang putih harganya melangit. Bahkan, lebih mahal dari harga daging sapi di pasar. Barangnya langka.

Bawang tampaknya mengikuti komoditas pertanian lainnya, yang dalam beberapa waktu lalu sempat langka yang melambung harganya. Diantaranya, cabe merah, kedelai, dan beras pernah tidak menentu harganya. Dan beberapa bulan sebelumnya, komoditas peternakan, daging sapi harganya naik.

Kontan, masyarakat resah, marah, dan gelisah. Maklum saja, komoditas tersebut merupakan bahan konsumsi sehari-hari. Meski bawang atau cabe sekadar pelengkap dari satu masakan, namun dampak sosial dari kenaikan harga komiditas tersebut sangat besar.

Solusinya? Lagi-lagi pemerintah memutuskan impor. Bahkan, bawang impor illegal (tidak berdokumen lengkap) yang tertumpuk di sejumlah pelabuhan Indonesia diijinkan untuk masuk, dan menjadi komoditas impor resmi. Dan harga bawang mulai terkendali ketika barang-barang impor “illegal” yang jadi “resmi” itu didistribusikan ke pasar-pasar.

Realita ini mengundang sejumlah tanya. Adakah kelangkaan bawang di pasar-pasar ini merupakan permainan mafia impor agar bisa memasukkan barang-barang impor yang tidak berijin lengkap? Mungkinkah ini merupakan sebuah modus disaat Indonesia mulai mengurangi keran impor? Yang pasti, modus yang terjadi selama ini hampir sama. Dan solusinya pun begitu. Komoditas langka, solusinya impor.

Ironis memang bila negeri agraris yang pemerintahnya mengklaim sudah swasembada pangan, masih harus impor beras dan komoditas-komoditas lainnya. Tidak hanya komoditas pertanian, negeri bahari dengan hamparan laut yang sangat luas ini pun mengimpor garam.

Tanah yang subur, sumber daya laut yang kaya, dan iklim tropis yang dianugrahi musim hujan dan musim kemarau yang seimbang, seakan-akan tidak ada artinya. Semua kekayaan yang dimiliki Indonesia itu seperti tidak berguna.

Petani dan peternak yang menghasilkan komoditas-komoditas kebutuhan hidup sehari-hari itu juga nasibnya tidak pernah menjadi lebih baik. Kencenderungan para petani hidupnya lebih miskin, dan ujung-ujungnya. Mereka pun dengan berat hati harus melepas sawah, ladang, dan lahan pertaniannya kepada investor untuk dijadikan pabrik, mal, atau perumahan. Mereka terpaksa  melakukannya, karena terdesak kebutuhan ekonomi akibat komoditas pertanian yang dikembangkan di lahannya tak mampu memenuhi kebutuhan hidupnya.

Anehnya, pemerintah tidak melakukan kebijakan mendasar untuk mengatasi persoalan ini. Indonesia memiliki sumber daya (resources) yang besar. Dan mestinya mampu menjadi negeri agraris yang mandiri, bahkan bisa menjadi pengekspor komoditas pertanian terbesar di dunia.

Namun, itu dapat terwujud bila kebijakan ekonomi dan politik ekonomi nasional Indonesia berorientasi pada kepentingan rakyat. Bukan lagi berorientasi kepada kepentingan investor, negara besar, atau kepentingan-kepentingan lainnya. Seringkali pemimpin negeri  lebih peduli terhadap kondisi dan kepentingan asing, ketimbang pada rakyatnya sendiri. Seringkali pula kebijakan itu hanya untuk memperoleh pujian dunia atau penghargaan beruba award dari lembaga-lembaga internasional.

Perlu disadari kebijakan ekonomi Indonesia saat ini telah memakmurkan imperialisme ekonomi. Indonesia memang sudah merdeka secara negara sejak tahun 1945. Namun, secara politik kerapkali juga dipengaruhi asing. Dan secara ekonomi, dengan kasat mata dan dirasakan langsung masyarakat negeri ini tidak memiliki kebijakan kemandirian yang jelas.

Nyatanya, imperialisme ekonomi di negeri ini makin mengakar. Salah satu bentuk penjajah ekonomi itu adalah imporialisme, yaitu ketergantungan terhadap impor, bahkan untuk komoditas komoditas yang sebenarnya dapat dan mampu diproduksi sendiri bangsa ini.

(guntursubagja.com)

Link: http://inafinance.com/2013/03/31/imporialisme/

Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun